Senin, 30 Juni 2008

EDISI 09 Tahun 2008

MEMINTA PERTOLONGAN
Aku berkata kepadamu "Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalam." Lalu Ia memeluk anak-anak itu ...memberkati mereka. * Mrk. 10:15-16

"Mama betulkan ini !" Mateo berseru sambil menyodorkan mobil-mobilannya dan potongan kecil plastik berwarna kuning kepadaku.

Aku memeriksa mobil kecil itu dan melihat bahwa kemudinya lepas. Aku memasang potongan plastik itu kembali ke tempatnya lalu mengembalikan mainan itu kepada Mateo.

"Nah, ini" kataku; "ternyata kemudinya lepas, ya?" "Ya," jawabnya Tanpa melepaskan pandangan pada mobil itu, Mateo mengambilnya dariku dan meletakkannya di ntara mainan yang lain.

Peristiwa itu membuat aku merenung. Mateo, yang belum genap berusia dua tahun, sudah mempunyai iman yang kuat akan kemampuanku memperbaiki sesuatu. Meskipun sudah mengerahkan segenap kemampuan dan tidak berhasil, ia tetap tidak putus asa mencari solusi. la kemudian mencari cara lain. Permintaan Mateo sederhana dan penuh kepercayaan. Hal ini mengingatkanku betapa pentingnya mempertahankan cara pandang seperti seorang anak, yang murni, rendah hati dan penuh kepercayaan. Betapa indahnya jika kita mampu menyingkirkan kesombongan. Kita dapat menyerahkan serpihan kehidupan kita yang retak kepada Allah Bapa, dan berkata, "Bapa, tolong betulkan ini!"

~ Lembar ke-1 ~

BETAPA SERIUS DUSTA, TERNYATA
Oleh : Eka Darmaputera

MENGAPA Hukum Allah ada sepuluh pasalnya? Dengan perkataan lain, mengapa "dasa"? Mengapa bukan, misalnya "panca" atau "sapta"? Orang Yahudi punya semacam legenda yang cukup populer menjawab pertanyaan ini.

Mengapa jumlahnya "sepuluh", itu pasti bukanlah karena angka itu angka keramat. Bagi orang Yahudi, angka "tujuh" secara simbolis lebih bermakna. Atau "duabelas".

Kata yang empunya cerita, konon Allah tiba pada angka "sepuluh" itu, setelah proses tawar-menawar yang cukup panjang dengan Musa. Semula Yahweh menghendaki angka yang jauh lebih tinggi.

Alasan-Nya, hukum itu 'kan mesti dibuat sejelas mungkin. Agar tidak disalah-tafsiri. Karena itu, mesti dibuat amat rinci.

Tapi Musa keberatan. Pada satu pihak, ia mengakui, semakin spesifik sebuah perintah, semakin jelaslah ia.

Dan semakin jelas sebuah perintah, orang tidak lagi punya dalih, kecuali mematuhinya. Orang, misalnya, tidak bisa mengulur-ulur waktu dengan, misalnya, mengatakan "menunggu keputusan kasasi Mahkamah Agung".

Perintah agar "jangan sering-sering jajan dari gerai cepat saji", tentu lebih jelas ketimbang perintah "jangan terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh atau zat-zat kimiawi".

Sebab yang disebut "terlalu banyak" itu seberapa banyak? Dan yang mengandung "lemak jenuh" atau "zat-zat kimiawi" itu apa saja?

Namun di lain pihak, bila hukum dibuat terlalu rinci, maka sudah pasti daftarnya akan amat panjang. Orang akan sulit mengingatnya. Lha kalau untuk mengingatnya saja sudah sulit, betapa lagi untuk menjalankannya, bukan? Sebab itu Musa memohon, agar hukum Tuhan dibuat seringkas mungkin. "Cukup yang pokok-pokok saja, Tuhan, satu atau dua pasal saja kalau bisa".

ALLAH memahami keberatan tersebut. Hukum yang ringkas memang gampang diingat.Tapi bahayanya adalah, bila ia hanya menjadi slogan. Diucap-ucapkan, tapi tidak dijiwai.Diingat-ingat, tapi tidak dihayati. Disebut-sebut, tapi tidak ditindaki. Seperti kisah tragis "pancasila" kita.

Karena itu Musa menaikkan tawarannya, dan Allah menurunkan tuntutan-Nya. Sampai ketika tiba di angka "sepuluh", Allah berkata, "Stop! Aku sudah tidak bisa membuatnya lebih rendah lagi. Take it or leave it". "Sepuluh" dipandang cukup ringkas untuk bisa diingat, sekaligus cukup rinci untuk tidak gampang disalah-mengerti.

Tapi lebih dari itu, yang pasti adalah, apa pun yang termasuk yang "sepuluh" itu, ia pasti adalah dosa yang dianggap Allah adalah dosa yang amat serius.

Pertanyaan kita adalah, mengapa "dusta" sampai bisa menerobos ke "sepuluh besar"? Kalau membunuh, mencuri, berzina, menyembah berhala - okelah -- kita sedikit banyak dapat memahaminya. Tapi "dusta"? Apakah ia tidak terlalu remeh dan kecil?

Kita mempertanyakannya karena dalam kehidupan nyata, lihatlah, alangkah "biasa"nya dan betapa "lumrah"nya dusta itu! Mana mungkin sukses berdagang, berpolitik, bahkan menyiarkan agama, tanpa sedikit banyak berdusta? Salah satu dosa yang paling awal yang dilakukan oleh setiap orang sejak dini adalah dosa ini. Anak-anak tak perlu belajar dari siapa pun untuk mahir berdusta.

Yang membedakan antara manusia yang satu dan lainnya, bukanlah bahwa yang satu berdusta sedang yang lain tidak.

Setiap orang adalah "pendusta"! Bedanya cuma, yang satu lebih pintar bohongnya ketimbang yang lain. Atau, yang satu berusaha melawannya mati-matian, sedang yang lain justru memanfaatkannya habis-habisan.

Namun, apa pun yang kita katakan, dusta yang bagi manusia dianggap "tidak serius-serius amat" itu, oleh Allah dipandang sebagai sesuatu yang amat serius. Sekali lagi, pertanyaan kita, adalah: mengapa?

DUSTA, menurut Allah, adalah dosa utama, pertama, karena KEBENARAN adalah utama. Sedangkan dusta? Apa lagi, bila bukan "lawan" dari kebenaran! Ia menyembunyikan kebenaran, memutar-balikkan kebenaran, memalsukan kebenaran.

Menyajikan ketidak-benaran sedemikian rupa seolah-olah itulah kebenaran.

Padahal kebenaran itu "apa"? Atau lebih tepat, "siapa"? Tidak lain adalah Allah sendiri!

"Akulah jalan, kebenaran, dan kehidupan", begitu bukan kata Yesus (Yohanes 14:6)? Sebab itu, tak ada pilihan lain, kecuali, "Berkatalah benar seorang kepada yang lain dan laksanakanlah hukum yang benar . Janganlah merancang kejahatan dalam hatimu seorang terhadap yang lain, dan janganlah mencintai sumpah palsu.

Sebab semuanya itu Kubenci, demikianlah firman Tuhan" (Zakharia 8:16) "Cintailah kebenaran dan damai!" (Zakharia 8:18). Jadi bagaimana sesuatu yang melawan Allah dan melawan Kristus bukan sesuatu yang serius?

Anda ingat tatkala masyarakat Amerika Serikat dilanda heboh perselingkuhan antara Bill Clinton dan Monica Lewinsky.

Kehebohan itu, konon, bukan terutama karena tindak perselingkuhan itu sendiri. Tindakan itu, walau tidak terpuji, namun bagi masyarakat Amerika, itu lebih banyak adalah urusan Hillary -- urusan pribadi.

Yang tidak mungkin mereka tolerir adalah -- dan inilah yang hampir-hampir menjungkalkan sang presiden dari kekuasaan --, adalah bila ia - sebagai pejabat - telah melakukan kebohongan publik.

Membohongi rakyat. Sebab di sinilah terletak legitimitas seorang pejabat publik: pada kredibilitasnya. Bahwa ia dapat dipercaya!

Ini berbeda sekali dibandingkan yang di negeri kita, bukan? Hampir setiap saat, kita tahu, pemimpin-pemimpin kita berbohong. Namun demikian, mereka tetap aman-aman saja di takhta mereka, kalau tidak malah semakin aman. Di negeri kita, "legalitas" lebih menentukan ketimbang "legitimitas" .

KEDUA, dusta adalah dosa utama, karena KATA-KATA adalah utama. Dengan perantaraan kata-kata -- Firman Allah -- segala sesuatu dari "tiada" menjadi "ada" - ex nihilo! (Kejadian 1). Kemudian, dengan bersenjatakan kata-kata, Iblis menyeret segenap ciptaan ke pusaran kebinasaan kekal; "ditaklukkan kepada kesia-siaan" (Roma 8:20).

Namun, dengan perantaraan kata-kata juga, Allah - melalui utusan-utusan- Nya - dengan tanpa henti-hentinya memanggil manusia untuk kembali, seraya mengaruniakan Firman-Nya sebagai "pedang Roh", untuk melawan Iblis dengan segala tipu dayanya (Efesus 6:16).

Dan puncaknya adalah, bahwa melalui SANG KATA-LOGOS-Allah menyelamatkan segenap umat manusia, bahkan seluruh ciptaan, dari kebinasaan yang kekal untuk dibimbing kepada kehidupan yang kekal (Yohanes 1).

Bila kata-kata begitu vital dalam seluruh karya Allah, bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa dusta yang melecehkan kata-kata, tidak layak disebut sebagai dosa utama?

ALASAN ketiga mengapa Allah menggolongkan dusta sebagai salah satu dari sepuluh dosa utama adalah, karena SESAMA MANUSIA kita itu utama.

Sebab itu, titah-Nya, "Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu".

"Sesama" adalah utama, karena sejak awal penciptaan Allah melihat, "Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja" (Kejadian 2:18). Untuk sekadar hidup atau sekadar eksis, sih, mungkin orang bisa hidup sendiri.

Sedang predikat "sepadan", artinya adalah sembabat, sederajat, setara. Memang berbeda, sebab bila cuma sama, bagaimana bisa saling menolong? Namun begitu, perbedaan ini bukan perbedaan tinggi rendah.

Yang mengulurkan tangan tidak boleh merasa "super", sedang yang menadahkan tangan tidak perlu merasa "minder". Karena pada satu saat, yang sekarang menolong boleh jadi justru perlu ditolong.

SEBAB itu dalam hubungan antar manusia berlaku prinsip "saling menghargai". Ojo dumeh. Jangan mentang-mentang. Dan bila itu adalah paradigma yang seharusnya, maka "bersaksi dusta tentang sesama" adalah anti-tesisnya.

Sebab yang terjadi di sini bukanlah saling menolong, tapi saling memotong. Bukan saling memberdayakan, tapi saling memperdayakan. Di mana yang pintar mengeksploitasi kebodohan sesamanya Yang kuat menindas yang lemah. Dan lengkaplah penderitaan manusia!

Itulah konsekuensinya, ketika "dusta" dibiarkan. Ketika kebenaran dipalsukan. Ketika kata-kata dibuat tak berharga. Ketika sesama menjadi "subyek" yang menindas atau "obyek" yang diperas. Mengingat semua ini, masihkah Anda bertanya: mengapa dusta bisa masuk ke "sepuluh besar"?

~ Lembar ke-2 ~

BEBAS DARI TANGAN LUCIFER
Oleh : Ludi Hasibuan

Nama saya Ludi Hasibuan. Melalui tulisan ini saya ingin bersaksi tentang pengalaman "pelepasan" yang dialami oleh saudaraku Ryan (17). Kisah ini diangkat berdasarkan kesaksian yang dialami, dirasakan, dilihat oleh Ryan. Semua ditulis berdasarkan cerita apa adanya. Tidak ada penambahan atau pengurangan.

Sabtu, 9 Januari 2004 saya bersama saudara-saudara berkumpul disebuah rumah dikawasan Pondok Kopi, Jakarta Timur untuk melakukan kebaktian "pelepasan" (melepaskan seseorang dari belunggu kuasa kegelapan). Kebaktian ini dipimpin oleh Pendeta Joshua Tumakaka dari Gereja Tiberias Indonesia.

Kebaktian dimulai pukul 17.00 WIB dengan mengangkat puji-pujian kepada Tuhan Yesus. Setelah itu dilanjutkan dengan doa dan mendengarkan firman Tuhan. Pendeta Joshua Tumakaka, meminta Ryan untuk membaca firman Tuhan dari Yohanes 10 : 10. Awalnya Ryan ngedumel dan melontarkan makian kenapa dirinya yang disuruh membaca firman Tuhan. Kenapa tidak orang lain yang disuruh membaca? Setelah dibujuk, ia mau membacanya tapi ia tidak bisa membaca firman tersebut melalui Alkitab yang diberikan ibunya. Setelah memakai Alkitab dari pendeta Johua Tumakaka, ia baru bisa membacanya. Ketika pendeta menjelaskan keselamatan ada pada diri Yesus Kristus, Ryan memperlihatkan tingkah laku yang melecehkan dan menghina pendeta.

Pendeta Joshua Tumakaka meminta Ryan untuk membaca kembali firman Tuhan. Ryan dengan nada marah dan menghina pendeta menolak permintaan tersebut. Tapi setelah dibujuk untuk membaca kembali, ia pun mau tapi ini untuk yang terakhir kalinya.

Pendeta Joshua Tumakaka mengakui kalau Ryan berada dibawah pengaruh kuasa gelap. Ia harus diselamatkan tapi sebelum itu dilakukan ia ingin agar kedua orang tua Ryan terlebih dahulu melakukan pertobatan dan pelepasan. Saat itu juga berlangsung pelepasan dan pertobatan dari kedua orang tua Ryan dan adik-adiknya. Setelah itu baru dilakukan pelepasan terhadap Ryan.

Ketika pendeta mendoakan dan memberikan minyak urapan kepada diri Ryan, Ryan pun menjerit-jerit kesakitan, memberontak dan marah. Padahal saat itu kondisi Ryan dalam keadaan sakit. Kaki kirinya patah dan belum pulih tapi ia mempunyai kekuatan yang luar biasa. Ia bisa memberontak melawan 5 orang dewasa yang berbadan besar. Ryan berubah menjadi liar, sorot matanya merah dan melotot. Ia memandang orang sekitarnya dengan sorot mata mengancam. Ia pun mengeluarkan kata-kata cacian, makian dan mengancam untuk membunuh orang-orang yang ada disekitarnya.

Saat itu diri Ryan berada di dalam dua dimensi atau dua kepribadian. Dimensi pertama adalah Ryan yang berteriak minta tolong diselamatkan oleh Yesus Kristus. Dimensi kedua adalah Ryan yang berada dibawah kendali kuasa gelap (ditangan Lucifer).

Ketika Ryan ada dalam dimensi pertama, ia memberitahu pendeta bahwa disekitar itu ada "Lucifer". Ia mengatakan kalau "Lucifer" lah yang mengikat dirinya. Ia meminta tolong untuk diselamatkan.

Dalam dimensi kedua, Lucifer mengatakan kalau Ryan telah diangkat sebagai salah seorang panglima kuasa kegelapan. Ia telah menjadi salah satu orang kepercayaan "Lucifer". Tugas Ryan adalah menjadi pengatur (operator) program computer yang bisa membuat semua manusia patuh dan menurut. Ryan yang akan bertugas mengatur manusia dengan memakai symbol 666.

Kamipun berdoa dan mengangkat puji-pijian kepada Tuhan Yesus untuk membebaskan Ryan dari tangan Lucifer. Dalam kondisi dimensi kedua, Ryan mulai memaki, mencaci, menghina, meludahi pendeta, memukul dan menendang orang-orang yang mendoakannya. Ryan bahkan dengan angkuhnya duduk seperti seorang raja yang sombong dengan mulut yang menyeringai (mungkin ini yang dimaksud senyuman sombong si iblis) serta tangan seolah-olah memegang tongkat. Ia memerintahkan para legion (setan yang diusir Yesus Kristus masuk ke dalam tubuh babi) untuk membunuh kami. Ia juga memerintahkan "Balthazor" (salah satu setan lainnya) untuk membinasakan kami semua yang ada disana. Disamping itu ia pun menghina dengan kata-kata bahwa keselamatan hanya ada ditangan Lucifer. Yesus tidak menyelamatkan, Roh Kudus bohong belaka. Bahkan Lucifer mengatakan bahwa Yesus tidak berhak lagi atas hidup Ryan karena Ryan telah menjadi milik Lucifer.

Kami tidak memperdulikan ocehan itu. Kami semua berdoa dan memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan Yesus agar segera membebaskan Ryan dari Lucifer. Tiba-tiba Ryan memasuki dimensi pertama. Ia memberitahu pendeta dan semua orang yang ada disana bahwa dibelakang Lucifer terlihat ada cahaya putih terang penuh kemuliaan. Tuhan Yesus telah datang.

Tapi dalam sekejap Ryan masuk dalam dimensi kedua. Ryan yang berada ditangan Lucifer memaki Ryan yang memohon pertolongan Tuhan Yesus. “Untuk apa berteriak-teriak minta tolong dan memanggil Yesus. Ia tidak memiliki keselamatan!”

Kami lebih bersemangat lagi berdoa dan memanjatkan puji-pujian karena bala tentara surga sudah dekat untuk menolong dan menyelamatkan Ryan. Sementara Ryan dalam dimensi kedua bertambah marah, menghina, mencaci maki karena dirinya merasa semakin kepanasan.

Pendeta Joshua Tumakaka, mengajak seluruh orang yang ada diruangan ini untuk memasuki ruangan kudus karena akan diadakan perjamuan kudus. Yaitu untuk menerima tubuh dan darah Yesus Kristus. Kamipun berdoa dan menyanyikan pujian kepada Yesus Kristus. Ryan dalam dimensi pertama menerima perjamuan kudus berupa tubuh Yesus. Ketika ia memakan hosti, ia pun bergetar dan merasakan kesakitan yang luar biasa. Ryan berteriak kesakitan dan meronta-ronta. Saat hosti itu tertelan dalam mulutnya, Lucifer terpental dari dirinya. Ryan telah menjadi Ryan yang memohon perlindungan Tuhan Yesus. Ryan disuruh pendeta untuk mengaku percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan meminta agar Tuhan Yesus menolong dirinya. Awalnya Ryan kesulitan tapi akhirnya ia bisa mengucapkan hal tersebut. Akibatnya Lucifer bertambah lemah dan kalah.

Tak lama kemudian Ryan berteriak " Ada salib turun dari langit". Ia pun mengatakan kepada kami semua kalau "Lucifer, Legion dan Balthazor tengah berlarian karena diserang oleh malaikat dari surga". Ryan mengatakan kepada pendeta Joshua Tumakaka kalau dirinya melihat di sebelah kiri-kanan pendeta telah berdiri Malaikat Gabriel dan Malaikat Michael. Ia pun memberitahukan kalau dalam ruangan dan rumah ini telah dipenuhi oleh para malaikat untuk menjaga dan mengusir para setan.

Ketika akan memasuki tahap penerimaan darah Yesus dalam perjamuan ini, Ryan melihat ada darah tercurah dari langit. Saat itulah dirinya merasa terbebas seratus persen dari ikatan Lucifer. Ryan pun menangis tersedu-sedu bahkan ia meminta maaf kepada pendeta atas hinaan, cacian dan kata-kata kotor lainnya yang dilakukan oleh Lucifer. Ryan memberitahu kalau rumah ini telah dibentengi dengan kokoh. Di benteng itu terdapat pintu gerbang. Sekarang pintu gerbang itu terbuka dan masuklah dua merpati putih ke dalam rumah ini. Ryan juga memberitahukan kepada semua yang ada di dalam ruangan ini. Ia mendengar suara yang keras dan berdentam dengan wibawa. "Akan dating harinya dimana Aku akan menjemput umatKu."

Kami semua menangis penuh sukacita serta menaikkan ucapan syukur karena Ryan telah diselamatkan dan Tuhan Yesus telah memberitahu bahwa kedatanganNya yang ke dua kali sudah semakin dekat.

Ketika Ryan sadar kembali dalam kondisi normal, ia menceritakan awal mulanya ia terjerat oleh Lucifer. Beberapa tahun yang lalu sebelum tinggal di Jakarta ia berdomisili di Manado, Sulut. Suatu hari bersama ketiga temannya ia bermain perang-perangan disebuah bangunan tua. Ia melihat disekitar bangunan tersebut banyak mobil mewah yang sedang parkir. Hal ini membuat ia bersama temannya penasaran. Ada apa digedung tua itu? Merekapun mengintip. Ternyata disana sedang berlangsung sebuah upacara keagamaan, dimana semua orang memakai jubah hitam dengan tudung kepala. Di dalam gudang itu terdapat pentagram (symbol setan) dan ditengah ruangan itu terdapat upacara pemotongan bayi. Ternyata yang dilihat Ryan adalah sebuah upacara gereja setan. Ia melihat secara langsung sementara temannya lari dan yang satunya jatuh pingsan.

Setelah kejadian tersebut dirinya mengalami sakit yang sangat parah. Ia nyaris meninggal dunia. Pada saat dalam kondisi kritis tersebut ia merasa didatangi oleh sesosok pria yang luar biasa gantengnya. Ia mengaku bernama Lucifer dan akan memberikan keselamatan pada Ryan jika ia mau menerimanya. Ryan yang saat itu berusia sekitar 12 tahun, mau menerimanya. Sejak saat itulah ia terikat oleh Lucifer.

Lucifer akan mengangkat Ryan sebagai salah satu panglimanya. Ryan diberi pengetahuan dan kepandaian mengenai computer. Ini terbukti dengan kemampuannya meng'hacker' ( masuk ke situs pribadi secara ilegal ) situs orang atau membobol pertahanan orang. Kemampuan Ryan dibidang komputer melebihi kemampuan yang dimiliki anak seusianya dibidang komputer. Selain itu Ryan akan menjadi pengatur / operator agar manusia menjadi penurut pada Lucifer dengan memakai symbol 666.

Ia diberitahu oleh Lucifer bahwa saatnya semakin dekat dan Ryan akan menjadi salah satu yang berkuasa didunia selama 3.5 tahun. Tetapi Ryan harus membunuh seseorang dengan panggilan Mongol. Mongol adalah salah seorang pengikut Lucifer yang telah berpaling. Ia kini menjadi pengikut setia Yesus Kristus.

Ketika Ryan diminta membaca Alkitab, ia melihat tulisan yang ada di Alkitab tersebut menjadi terbalik susunan katanya sehingga ia kesulitan membacanya. Setelah memegang Alkitab milik pendeta, ia baru bisa membacanya.

Ketika menyadari bahwa dirinya telah terikat oleh Lucifer, Ryan mencoba melakukan perlawanan. Ia melawan setiap kata Lucifer dengan kata-kata Tuhan Yesus Kristus. Tapi Lucifer pandai bersilat lidah. Ia memutar balikkan omongan dan fakta. Hal inilah yang membuat iman Ryan jadi bertambah lemah. Ia berhadapan dengan Lucifer si penghujat Tuhan. Iman Ryan yang masih berusia belasan tahun masih sangat lemah dan mudah terombang-ambing. Hal ini semakin memudahkan dirinya terjerat.

Dari pengalaman ini dapat ditarik kesimpulan : Ibilis / Lucifer tengah mempersiapkan diri menyongsong akhir jaman dimana manusia akan memakai tanda 666 melalui program komputer. Tuhan Yesus Kristus akan segera datang kembali ke dunia untuk yang ke dua kalinya karena akhir jaman sudah semakin dekat. Bertobatlah!

~ Lembar ke-3 ~

POJOK NAKAL
Selalu ada ruang pujian bagi diri kita namun kadang tak tersedia ruang untuk segala kesalahan kita

Ada sebuah materi menarik ketika saya menonton talk show Oprah Winfrey di television, pada suatu pagi di saat saya sedang suntuk dengan kelakuan adik bungsu saya yang masih berusia 3 tahun. Dalam talk show tersebut, Oprah menghadiran seorang bintang tamu yaitu Super Nanny, dia adalah pengasuh anak paling laris di Amerika. Konon katanya sudah ratusan kali Nanny berhasil menghadapi tingkah laku anak - anak yang 'nyeleneh' dalam arti hyperactive, kasar, nakal & susah diatur. Nanny hanya mengajarkan satu hal pada anak-anak itu, yaitu: Minta maaf & mengakui kesalahan serta berjanji tidak akan mengulanginya kembali.

Super Nanny tidak menggunakan kekerasan fisik, yang sering kita temui pada masyarakat umumnya, dalam mendidik anak-anak 'nakal' itu. Tapi dia menggunakan method, 'tempat nakal'.

Tempat Nakal bisa berupa carpet nakal, bangku nakal, atau kolong nakal. Di sekitar tempat nakal itu tidak dibangun 'benteng' berupa apapun. Jadi sebenarnya anak-anak itu bisa saja kabur namun mereka tidak bisa pergi karena Nanny mengawasi gerak-gerik mereka. Anak-anak yang bertingkah kelewat batas akan dimasukkan dalam tempat nakal itu. Mereka tidak boleh dipukul, tidak boleh dimaki kasar apalagi dibentak-bentak. Yang Nanny lakukan hanya meletakkan mereka di tempat nakal itu & diam!

Nanny tidak menghiraukan bila anak -anak itu menangis meraung, memukul-mukulnya bahkan berkata kasar padanya. Nanny hanya berkata, "kamu harus diam di sini sampai kamu sadar apa kesalahan kamu." setelah itu Nanny pergi. Dia akan kembali menghampiri anak-anak itu bila mereka berhenti menangis. Dia akan mengeluarkan mereka dari tempat nakal bila sudah meminta maaf pada orang yang telah mereka jahati.

Setelah itu, Nanny akan memeluk mereka, mengelus punggung mereka penuh kasih sayang lalu memuji tindakan mereka yang mau meminta maaf. Setelah situasi sudah sedikit membaik, Nanny mulai memberikan pengertian apa kesalahan yang telah mereka perbuat.

Aku mencoba untuk menerapkannya pada adik bungsuku yang memang sudah mulai terlihat bandel. Aku meletakkannya ke pojok nakal yang ada di dalam kamar mamaku.Aku melakukan itu karena ia memukul wajah mama dengan sangat keras ketika tidak dibelikan mobil-mobilan. Saat aku meletakkan dia di pojok nakal, ia memukulku, aku mencoba diam, meniru sikap Nanny. Adikku berontak, ia berlari keluar kamar & aku menariknya kembali ke pojok nakal. Sampai empat kali seperti itu & adikku capek sendiri.

Dia bilang aku jahat! Dia menangis sedih, sebenarnya hatiku pilu mendengar itu semua. Tapi aku tetap pada pendirianku. Setelah adikku diam dari tangis, aku menghampirinya & berspeculation, "apa Ucha tahu apa kesalahan Ucha? Ucha tahu kenapa Ucha masuk ke pojok nakal?" tanyaku dengan keyakinan kalau anak umur 3 tahun sudah paham apa yang kita katakan. Dan adikku menggeleng. Perlahan aku menjelaskan kesalahan yang ia
perbuat, aku lakukan berulang-ulang sampai aku bilang, "Ucha ngerti kalau Ucha salah?"Ia mengangguk. Aku melanjutkan kalimatku, "kalau begitu, Ucha harus minta maaf, ya, sama mama." "Iya... mama... maafin Ucha, ya," ujar adikku masih dengan isak tangis. Mamaku sedang ada di ruang tamu. Aku memeluk adikku erat & membimbing dia keluar dari pojok nakal. Aku menggendongnya & membawanya ke hadapan mama. Saat melihat mama, adikku langsung memeluk mama & berpindah tempat gendongan. Ia tidak menangis meraung lagi, hanya air matanya saja masih menitik. "Ayo Ucha, minta maaf lagi di depan mama," ulangku. "Ma... ma... Uchanya minta maaf..." ujar adikku yang membuat gemas. Aku & mama menciumi pipinya. Diam-diam aku salut juga dengan caranya Nanny mendidik anak nakal. Terbukti setelah beberapa kali aku memasukkan adikku ke pojok nakal, adikku jadi lebih mudah diatur & bisa dinasehati dengan baik.

Ia tidak perlu dibentak lagi. Secara tidak langsung sikap ini bisa menimbulkan jiwa lembut pada anak serta mengajarkan anak untuk terus instropeksi diri. Yang lebih hebat lagi, adikku sama sekali tidak takut kalau dia duduk sendirian di pojok ruangan manapun kecuali bila aku bilang, "itu adalah ojok nakal. Tempat anak nakal berada." Sejak saat itu aku selalu memberikan ia pilihan ketika ia susah sekali disuruh makan sayur, "Mau menjadi anak baik atau anak nakal? Kalau anak baik harus rajin makan sayur. Ucha anak baik atau anak nakal?" Dan adikku selalu menjawab, "Ucha anak baik!"

Malam ini kulihat Ucha tidur terlelap setelah aku mendongenginya sebuah kisah tentang Pangeran Ucha, ya, namanya sendiri. Aku ingin ia bangga pada dirinya namun ia juga sadar pada kelemahan & kesalahannya. Mataku terpejam. Terbersit tanya yang mengiris hati. "Apakah aku sudah seperti Ucha? Yang mampu mengakui kesalahanku sendiri? Yang berdiam diri di pojok nakal untuk introspeksi? Nampaknya aku juga butuh duduk sendirian di pojok nakal & kita semua sebagai manusia dewasa memang butuh sesekali untuk duduk di pojok nakal. Menemukan kesalahan kita & segeralah meminta maaf. Jadi teringat sebuah syair sebelum aku terlelap malam ini :

"Setiap manusia di dunia pasti punya kesalahan hanya yang berjiwa pemberani yang mau mengakui... Betapa bahagianya punya banyak teman betapa indahnya. Betapa bahagianya bisa saling menyayangi…" (mengutip lagu Sherina) - Achi TM.

~ Lembar ke-4 ~

TUKANG LEDENG
Suatu hari bos Mercedez Benz mempunyai masalah dengan kran air dirumahnya. Kran itu selalu bocor hingga dia kawatir anaknya terpeleset jatuh.

Atas rekomendasi seorang temannya , Mr. Benz menelpon seorang tukang ledeng untuk memperbaiki kran miliknya. Perjanjian perbaikan ditentukan 2 hari kemudian karena si tukang ledeng rupanya cukup sibuk.

Si tukang ledeng sama sekali tidak tahu bahwa si penelpon adalah bos pemilik perusahaan mobil terbesar di Jerman. Satu hari setelah ditelpon Mr.Benz , pak tukang ledeng menghubungi Mr. Benz untuk menyampaikan terima kasih karena sudah bersedia menunggu satu hari lagi. Bos Mercy-pun kagum atas pelayanan dan cara berbicara pak tukang ledeng.

Pada hari yang telah disepakati , si tukang ledeng datang ke rumah Mr.Benz untuk memperbaiki kran yang bocor. Setelah kutak sana kutak sini , kranpun selesai diperbaiki dan pak tukang ledeng pulang setelah menerima pembayaran atas jasanya.

Sekitar 2 minggu setelah hari itu , si tukang ledeng menghubungi Mr.Benz untuk menanyakan apakah kran yang diperbaiki sudah benar-benar beres atau masih timbul masalah?

Mr.Benz berpikir pasti orang ini orang hebat walaupun cuma tukang ledeng. Mr. Benz menjawab di telepon bahwa kran dirumahnya sudah benar-benar beres dan mengucapkan terima kasih atas pelayanan pak tukang ledeng.

Tahukah anda bahwa beberapa bulan kemudian mr. Benz merekrut si tukang ledeng untuk bekerja di perusahaannya ? Ya , namanya Christopher L.Jr. Saat ini beliau adalah General manager Customer Satisfaction and Public Relation di Mercedez Benz !

Jangan lupa dan aplikasikan dalam tingkah laku sehari hari :
1. Masukkan hanya informasi dan nasehat bergizi untuk otak kita. Jangan pernah memberinya sampah.
2. Jangan sampai rasa takut mengalahkan kita . Hadapi dia face to face!
3. Tersenyumlah dengan tulus hingga gigi kita terlihat dan Jadilah orang yang menyenangkan
4. Selalu tambahkan keju dan pelayanan terbaik walaupun itu tidak diminta.

~ Lembar ke-5 ~

Jumat, 20 Juni 2008

EDISI 08 Tahun 2008

MISTERI JAWABAN DOA

"Kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu." ( Yakobus 4:3 ; Baca Yakobus 4:1-10 )

Kebudayaan Yunani kuno percaya bahwa dewa-dewa mampu menjawab doa tepat seperti yang mereka inginkan. Suatu hari seorang dewa bernama Aurora jatuh cinta kepada

seorang manusia bernama Titonius. Melihat kondisi Aurora yang tertekan karena berbeda dunia dengan Titonius, Zeus, sang pimpinan para dewa pun jatuh iba. Ia berkata, "Apa pun yang kau inginkan akan kupenuhi. Apakah yang kau minta?" Aurora tanpa pikir panjang berkata, "Aku mau supaya Titonius hidup selamanya!" Zeus mengabulkannya. Dan begitulah! Titonius memang tidak pernah bisa mati. Tapi dia bertambah tua setiap hari. Sampai akhirnya Aurora merasa Titonius kini hanya menjadi beban bagi dirinya. Aurora lupa meminta agar Titonius tidak menjadi tua.

Tidak selamanya kita mendapatkan jawaban doa seperti yang kita inginkan. Adakalanya, jawaban itu berupa penolakan TUHAN. Berbeda dengan Zeus yang diyakini selalu memberikan semua yang kita inginkan, TUHAN punya aturan berbeda. Tidak semua yang kita inginkan akan kita dapatkan. Hal ini memang tampak mengecewakan. Tapi kebenarannya justru kadangkala kita tidak mengerti apa yang kita minta. Tepat seperti Aurora.

Bagian kita adalah tetap berdoa. Bagian TUHAN adalah menjawabnya. Namun, jika jawaban yang kita terima tidak sesuai dengan keinginan kita, janganlah lantas kecewa. Percayalah, meski kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, kita akan selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, kita akan selalu mendapatkan apa yang kita butuhkan. Dan Untuk hal yang satu ini, TUHAN tidak pernah bertindak lalai!

TUHAN TIDAK SELALU MENJAWAB KEINGINAN KITA, TAPI IA PASTI SELALU MAMPU MEMENUHI KEBUTUHAN KITA.

(By : Epha, Blessing Enriching Your Family)

~ Lembar ke-1 ~

PERUMPAMAAN BENIH YANG DITABUR
Oleh : Ev. Ir. Baju Widjotomo
Nats: Markus 4:26-29

Sepintas kalau kita membaca dari Alkitab bahasa Indonesia dalam bagian perumpamaan dalam Injil Markus 4:26-29 maka kita akan beranggapan bahwa penabur ini orang yang malas sebab ia tidur pada malam hari dan bangun ketika hari sudah siang. Tetapi lebih tepat terjemahaan dalam NIV Mark 4:27 mengatakan: Night and day, whether he sleeps or gets up, the seed sprouts and grows, though he does not know how. (dari New International Version)

Perumpamaan tentang benih yang tumbuh ini sangat unik sebab hanya ditulis dalam Injil Markus. Perumpamaan merupakan salah satu cara dari pengajaran Tuhan Yesus maka janganlah kita menafsirkan perumpamaan secara sembarangan. Dalam perumpamaan, ada bagian-bagian tertentu yang Tuhan hendak bukakan yang menjadi focus pengajaran-Nya. Beberapa hal yang harus diperhatikan ketika menafsirkan Firman khususnya perumpamaan, diantaranya: 1) dalam Perumpamaan hanya mengandung satu tujuan utama atau fokus utama yang hendak Tuhan ajarkan melalui perumpamaan itu, 2) biarkanlah Alkitab menafsirkan dirinya sendiri, 3) perhatikan konteks secara keseluruhan.

Tuhan Yesus menegaskan perumpamaan diberikan bukan supaya orang mengerti sebab sekalipun melihat, mereka tidak menanggap, sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti, supaya mereka jangan berbalik dan mendapat ampun (Mrk. 4:12). Terkadang, Tuhan Yesus tidak menjelaskan arti dari perumpamaan yang Ia ajarkan dan membiarkan para pendengarnya berada dalam kebingungan namun kepada para murid, Ia menjelas
kannya secara tersendiri (Mrk. 4:10-20).

Istilah “benih” ini seringkali kita temui dalam Alkitab. Tuhan Yesus pernah Mengungkapkan suatu perumpamaan tentang orang yang menabur benih baik tetapi musuh datang pada malam hari dan menabur benih ilalang. Benih yang baik dan buruk dibiarkan bertumbuh bersama sampai tiba waktunya, barulah dipisahkan sebab dari buahnyalah akan kelihatan bedanya. Dalam Perjanjian Lama, kitab Yesaya 61:11 dituliskan, “Sebab seperti bumi memancarkan tumbuh-tumbuhan, dan seperti kebun menumbuhkan benih yang ditaburkan, demikianlah Tuhan ALLAH akan menumbuhkan kebenaran dan puji-pujian di depan semua bangsa-bangsa.” Istilah benih juga dipakai oleh Paulus dalam 2 Kor. 9:10: Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu. Perenungan kita hari ini adalah perumpamaan tentang benih yang ditabur (Mrk. 4:26-29) dan benih yang dimaksud adalah Firman Tuhan.

Konteks perumpamaan ini berbicara tentang hal Kerajaan Sorga. Yohanes Pembaptis jauh sebelumnya juga menyerukan tentang hal Kerajaan Allah dan tentang hal itu tergenapkan dengan kedatangan Tuhan Yesus dimana Dia adalah Raja atas Kerajaan-Nya. Tuhan Yesus menegaskan hal Kerajaan Allah itu seumpama seorang penabur yang menabur benih; benih itu terus tumbuh, bertunas, dan berbulir. Pada perumpamaan lain Tuhan Yesus menegaskan hal Kerajaan Sorga itu seperti biji sesawi yang kecil dan kemudian bertumbuh menjadi sebuah pohon besar. Namun ketika misi Kerajaan Sorga itu dikerjakan banyak tantangan yang harus dihadapi, apakah mungkin missi kerajaan Allah dapat didapat digenapkan?? Maka Tuhan Yesus memberikan pengajaran ini bahwa hal Kerajaan Sorga itu bersifat spiritual bukan bersifat duniawi seperti yang para murid dan kebanyakan orang pikirkan bahkan hingga detik ini.

Kerajaan Sorga seperti seorang penabur yang menaburkan benih, setelah selesai menabur, tidur, bangun keesokannya harinya menabur lagi namun perhatikan yang menjadi fokus pada perumpamaan dalam Mrk. 4:26-29 ini adalah benih yang bertumbuh.

Dalam bagian ini kita melihat 2 bagian besar, yaitu: 1) Peranan Penabur yang hanya sebagai menabur benih, dan 2) Peranan Allah yang menumbuhkan benih yang ditaburkan.

I. Beberapa Aspek yang Perlu Kita Pahami Berkaitan Dengan Peranan dan Tugas Penabur, yaitu:

1. Penabur mengerjakan tugas yang menjadi bagiannya yaitu: Menaburkan benih yang disediakan oleh Tuhan.
Penabur harus menabur benih di ladang yang telah disiapkan sebelumnya kalau ia ingin mendapatkan hasil panen dan sukacita di hari penuaian. Namun ingat, tugas kita hanyalah menabur benih Firman dan benih itu asalnya dari Tuhan maka jangan seorang pun bermegah dan menganggap hasil tuaian itu sebagai hasil kerja keras kita. Tidak! Seorang penabur hanya mengerjakan apa yang menjadi bagiannya saja, yakni menabur. Celakanya, hari ini banyak pendeta yang merasa diri penting dan berjasa karena gerejanya bertumbuh secara kuantitas. Pertumbuhan benih itu dilakukan oleh Allah bukan kita dan tugas kita hanya menabur saja. Mari kita kerjakan bagian kita, jangan ambil bagian apa yang seharusnya dikerjakan oleh Allah.

2. Bekerja dengan sekuat daya sampai batas kemampuan
Seorang penabur juga memiliki keterbatasan kemampuan. Tuhan menghargai kita setiap usaha dan kerja yang kita lakukan. Musa pernah merasakan sampai di titik batas kelelahan, dia tidak kuat menahan beban ketika ia memimpin bangsa Israel menuju tanah perjanjian. Berulang kali bangsa Israel ini mengeluh dan mendesak Musa. Allah tahu sampai dimana batas kemampuan dan kekuatan kita maka Dia akan datang menolong. Tuhan Yesus memberikan teladan indah pada kita, Dia bekerja dengan sangat keras namun Kristus juga adalah manusia yang juga merasa lelah; Dia tertidur bahkan badai dan ombak yang besar tidak dapat membangunkan-Nya. Teladan Kristus ini harusnya memacu kita untuk lebih bersemangat dalam mengerjakan pekerjaan Tuhan dengan sekuat tenaga sampai titik batas kemampuan kita. Sudahkah kita mengerjakan sampai titik batas kemampuan kita? Tuhan kita adalah Tuan yang baik, Dia tidak pernah membiarkan kita sendiri. Dia memberikan Roh Kudus untuk kita dengan demikian kita dimampukan untuk mengerjakan semua tugas kita sampai akhir.

3. Bekerja dengan ketekunan, kesabaran dan ketabahan
Ada waktu menabur maka akan ada waktu untuk menuai. Dibutuhkan suatu ketekunan, kesabaran dan ketabahan dari seorang penabur untuk melihat hasil tuaian di masa depan Ketekunan dan kesabaran mempunyai arti yang sama dengan bahasa ibrani, yakni memikul beban namun beban disini dibedakan 2 hal: 1) beban yang berat. Seorang yang beratnya 50 kg memikul beras 50 kg beban yang sama berat, 2) beban yang ringan, kertas
merupakan beban yang ringan namun kalau kita bawa selama 50 tahun maka beban yang kelihatan ringan akan menjadi sangat berat. Hendaklah kita mengevaluasi diri, Tuhan telah memberikan pada setiap kita beban yang pas, pertanyaannya adalah seberapa jauhkan kita akan tetap bersetia mengerjakannya?

4. Bekerja dengan pengharapan yang pasti
Hari penuaian itu pasti akan tiba. Celakalah orang yang tidak sadar akan tibanya hari penuaian, ia akan pergi meninggalkan ladang pelayanan hanya karena masalah sepele, misalnya tidak ada listrik atau jemaat yang dilayani hanya ibu-ibu dan anak-anak. Orang seperti ini tidak mungkin dipakai oleh Tuhan, ia tidak melihat panen di depan. Marilah kita bekerja di ladang-Nya Tuhan dengan sungguh-sungguh sebab hari penuaian itu akan tiba.

II. Peranan Allah yang Mempertumbuhkan Benih

Mempertumbuhkan itu merupakan bagian yang paling sulit dan paling berat dan hanya Allah yang dapat mempertumbuhkannya. Bertumbuh disini berakar ke dalam, bertunas dan berbuah. Pekerjaan yang diberikan pada kita sangatlah ringan dan sungguh merupakan suatu anugerah kalau dapat melayani di ladang Tuhan. Itu merupakan hak istimewa. Bagaimana kita bisa bertumbuh? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, seharusnya kita bertanya terlebih dahulu sudahkah kita menabur? Jangan harap ada pertumbuhan kalau tidak ada benih yang ditabur. Tuhan terus bekerja tidak pernah berhenti. Jemaat di Korintus ketika mengalami perpecahan, dimana masing-masing merasa diri paling unggul, ada yang menyebut dari golongan Paulus, golongan Apolos, golonggan Petrus bahkan yang merasa lebih rohani, berani menyebut sebagai golongan Yesus Kristus maka Paulus menegaskan satu hal : Yang penting bukan yang menanam atau yang menyiram tetapi yang penting adalah Allah yang memberi pertumbuhan (1 Kor.3:6-8). Kita hanyalah alat di tangan Tuhan; kita hanyalah hamba. Tuhan sendirilah yang akan memelihara dan mempertumbuhkan benih itu.

Dalam bagian ini ada 5 karakteristik pertumbuhan yang dikerjakan Allah yang perlu kita perhatikan:

1. Pertumbuhan dijamin kepastian keberlangsungan
Proses pertumbuhan pasti berjalan, tidak ada kuasa apapun dapat menghambat pekerjaan Allah. Allah adalah Allah yang berdaulat maka pertumbuhan itu akan terus menerus sampai kekekalan. Inilah sifat kerajaan Allah. Sungguh merupakan suatu anugerah kalau terlibat dalam pekerjaan Tuhan. Tidak ada pekerjaan di tengah dunia ini seperti yang dijanjikan Allah. Di tengah dunia ini, apakah yang menjadi kebanggaan kita?

Kepandaian? Kekayaan? Kekuasaan? Semua itu hanya bersifat sementara dan hilang dalam dalam sekejap mata. Marilah kita mengerjakan pekerjaan Tuhan yang bersifat kekal adanya. Tuhan memberikan kepastian bahwa hari panen itu pasti akan tiba.

2. Pertumbuhan bersifat bertahap
Pertumbuhan itu sifatnya bertahap, tidak instant; berakar, bertumbuh makin lama makin besar, mengeluarkan tangkai, berbuah dan siap dituai. Demikian juga halnya dengan kerohanian kita. Paulus membutuhkan waktu selama 13 tahun untuk membangun pengertian akan kebenaran Firman sebelum dia melayani Tuhan. Hendaklah kita memacu diri untuk mau bertumbuh secara bertahap dengan belajar Firman dengan sungguh.

Celakanya, hari ini banyak orang yang ingin instant, belajar Firman belum tuntas sudah berani berkhotbah akibatnya semua ajarannya sesat, theologi kemakmuran yang ditonjolkan. Kerajaan Allah dibangun bertahap. Mari kita belajar dari setiap kesulitan menjadi batu loncatan untuk menuju ke depan yang lebih baik.

3. Pertumbuhan akan mencapai sampai tahap kematangan
Ketika Tuhan mengerjakan pertumbuhan maka hal itu akan diselesaikan sampai akhir yakni sampai pada proses kematangan.Tuhan Yssus pada waktu menjalankan pekerjaan di dunia, Dia mengerjakannya sampai tuntas, yakni mati di salib dan semua itu sudah genap. Kita harus mencapai satu kematangan dan kita menghasilkan buah-buah di dalam pelayanan. Seorang yang sudah renta baru menyadari kalau ia telah menyia-nyiakan masa mudanya namun terlambat, waktu tidak dapat diulang kembali. Seorang muda yang bertalenta, menerjemahkan khotbah tetapi dia lari ketika Tuhan mau pakai dia menjadi pengkhotbah dan terlambat menyadari ketika sudah renta. Sebelum terlambat, hendaklah kita kerjakan tugas kita sampai tuntas seperti yang Tuhan inginkan, yakni sampai pada proses kematangan.

4. Pertumbuhan akan menghasilkan buah berlipat ganda (Prinsip multiplikasi)
Dari satu benih yang ditaburkan akan menghasilkan buah yang berlipat ganda. Pertumbuhan secara kualitas dan kuantitas pasti terjadi di dalam perkembangan misi kerajaan Allah. Sudahkah kita mempersiapkan anak-anak kita menjadi anak Tuhan dan berbuah? Tuhan menegaskan orang berdosa akan terus berbuah dosa tapi orang yang diselamatkan akan menuai buah kekekalan artinya meskipun dia sudah mati, dia akan terus berbuah. Sebagai contoh, Calvin telah tiada tetapi orang diberkati melalui semua tulisannya dan menghasilkan buah yang baik. Dosa akan menghasilkan buah pula tetapi buah yang busuk. Benih kebenaran yang asalnya dari Tuhan adalah benih yang baik dan pasti akan menghasilkan buah kebenaran berlipat ganda.

5. Pertumbuhan akan mencapai tahap akhir yaitu masa panen/masa penuaian.
Masa panen merupakan akhir dari seluruh kerja keras yang dilakukan, ada sukacita yang penuh melimpah pada waktu itu. Seluruh jerih lelah, air mata dan keringat yang pernah dicurahkan, semuanya terlupakan saat melihat panen tiba. Inilah keindahan yang luar biasa di dalam pekerjaan Tuhan. Hal Kerajaan Alalh seperti seorang penabur, malam ganti siang, siang ganti malam, penabur menabur dan merasa letih dan tidur, tetapi benih yang ditabur terus bertumbuh. Dia tidak tahu bagaimana itu bertumbuh, tetapi pasti akan terjadi masa penuaian itu. Marilah kita terus mengerjakan pekerjaan Tuhan sebab orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai; orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya (Mazmur 126:5-6).

Untuk menutup seluruh perenungan kita hari ini, ada suatu kesaksian seorang bapak tua yang setiap hari dengan setia sambil mengayuh sepedanya mengunjungi jemaat dan hal itu dilakukan selama tiga tahun dengan setia. Seorang bertanya, “Bapak tidak lelah setiap hari mengayuh sepeda hanya untuk mengunjungi jemaat?” Sungguh di luar dugaan, si Bapak menjawab, “Sungguh saya sangat bersyukur kalau masih bisa melayani Tuhan.”

Biarlah kita mengevaluasi diri kita, sudahkan kita bersyukur kalau kita masih dipakai Tuhan menjadi alat di tangan-Nya? Sudahkah kita melakukan pekerjaan yang Tuhan percayakan kita berada di dalam-Nya dengan seluruh daya kekuatan kita? Amin

~ Lembar ke-2 ~

MISIONARIS KECIL DENGAN MIMPI BESAR

Ryan Hreljac adalah seorang anak laki-laki berumur duabelas tahun. Ryan tinggal bersama keluarganya di sebuah desa, di perbatasan kota Kemptville. Kota Kemptville terletak di sebelah selatan Ottawa , ibu kota Kanada. Jarak Kemptville dan Ottawa dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih setengah jam.

Meskipun usianya masih sangat muda. Ryan kecil punya sebuah mimpi yang sangat besar.

Ryan ingin melihat semua orang Afrika bisa minum air bersih! Sejak berumur enam tahun dan masih duduk di kelas satu SD, Ryan sudah bekerja keras agar mimpinya dapat menjadi kenyataan. Karena kerja kerasnya itu, Ryan terpilih untuk menerima hadiah istimewa:pada tanggal 16 Oktober 2003 ia menerima Komuni Kudus langsung dari tangan Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II dalam Misa Peringatan 25 tahun masa kepausan beliau! Yuk, kita simak obrolan Kak Dewi dengan Ryan dan Susan (mamanya Ryan).

D : Hai, Ryan! Bagaimana perasaanmu ketika terpilih untuk menerima Komuni Kudus dari Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam Yubileum Perak Kepausan beliau?

R : Wah! Saya merasa mendapat kehormatan yang luar biasa! Sampai sekarang, saya kadang-kadang masih merasa tidak percaya bahwa saya terpilih!

D : Bagaimana ceritanya sampai kamu bisa terpilih?

R : Romo Alvaro Correa memintakan izin dari Vatikan agar saya boleh menerima Komuni tersebut. Romo Alvaro adalah pastor yang berasal dari Meksiko dan bekerja di Roma. Beliau mengajar di seminari-seminari. Bulan Februari yang lalu, beliau membaca sebuah tulisan tentang kegiatan saya dalam majalah Italia bernama "Familiar Christiana" dan sejak itu kami berteman.

D : Apa saja kegiatanmu selama di Roma?

R : Saya bersama Papa dan Mama melewatkan beberapa hari yang sangat menyenangkan bersama Romo Alvaro. Saya juga berbicara di beberapa sekolah dan gereja di utara Italia sebelum ke Roma. Perjalanan kami kali ini diatur oleh sekelompok anak muda dari kota Cremona . Saya bertemu dengan banyak orang yang mengagumkan dan menyimpan banyak kenangan.

D : Bisa ceritakan, sejak kapan kamu mempunyai mimpi yang begitu hebat?

R : Waktu itu, tahun 1997, umur saya masih 6 tahun dan duduk di kelas satu SD. Suatu ari, bu guru Prest bercerita tentang orang-orang di Afrika yang sangat miskin dan menderita. Saya sangat iba mendengar bahwa ada orang-orang yang tidak bisa minum air bersih. Mereka minum air kotor dari rawa dan sungai yang membuat mereka sakit dan mati. Kata bu guru, kalau saya punya uang 70 dolar, saya bisa menolong mereka. Jadi,sepulang sekolah, saya minta uang pada Papa dan Mama.

D : (Bertanya kepada Susan) Lalu, bagaimana reaksi Papa dan Mama?

S : Kami bangga dengan ketulusan hati Ryan, tapi bingung juga. Kami tidak bisa membayangkan bagaimana caranya seorang anak kelas satu SD dari Kanada mau menggali sebuah sumur untuk orang-orang di Afrika! Tapi saya dan Mark, suami saya, sangat percaya bahwa keinginan Ryan itu adalah panggilan Tuhan dan kami sepakat untuk mendukungnya. Kami beri dia semangat untuk melakukan pekerjaan tambahan di luar tugas rutinnya memberi makan anjing dan merapikan tempat tidur pada saat itu. Untuk semua pekerjaannya, dia akan mendapat upah.

D : Kemudian, apa yang kamu lakukan, Ryan?

R : Setiap malam saya berdoa, "Tolonglah, Tuhan, berkati Papa dan Mama serta abang dan adik saya. Dan tolonglah agar semua orang di Afrika bisa minum air bersih." Saya percaya, doa seorang anak kecil bisa mendatangkan rahmat Tuhan yang membuat mimpi menjadi kenyataan! Tapi saya juga tahu bahwa supaya mimpi menjadi nyata, saya harus bekerja keras dengan sepenuh hati. Jadi, selama beberapa minggu saya membantu membersihkan perabotan rumah, memberi makan anjing dan merapikan tempat tidur. Saya juga membersihkan jendela, menyapu garasi, membantu tetangga membersihkan halaman rumah, memunguti ranting-ranting pohon yang berserakan di jalan setelah badai es, mengumpulkan pucuk pinus untuk nenek yang suka membuat kerajinan tangan. Setiap sen upah yang saya terima, saya tabung. Setiap malam, saya selalu mengakhiri doa dengan kalimat, "Tuhan, tolonglah saya agar bisa mendapatkan air bersih untuk orang-orang miskin di Afrika."

D : Lalu, apa yang terjadi?

R : Empat bulan kemudian, Papa dan Mama mengantar saya ke kantor WaterCan, sebuah organisasi di Ottawa yang menangani penggalian sumur-sumur di Afrika. Saya perlihatkan seluruh uang tabungan saya kepada Nicole Bosley, direktur organisasi tersebut. Eh, dia bilang, "Terima kasih, Ryan. Tapi 70 dolar hanya cukup untuk membeli sebuah pompa. Untuk menggali sebuah sumur, kamu perlu 2.000 dolar". Jadi saya jawab,"Baiklah, saya
akan bekerja lebih keras lagi."

D: Apa yang kamu lakukan sesudah itu?

R : Saya kerja keras dari musim semi, musim panas hingga musim gugur. Setiap minggu, saya mendapat beberapa dolar dan saya tabung. Brenda, teman Mama yang bekerja di koran "the Kemptville Advance", menulis sebuah cerita tentang proyek saya. Beberapa pembaca yang tergerak hatinya mulai memberikan sumbangan. Kemudian, koran "the Ottawa Citizen" juga menerbitkan cerita tentang "Sumur Ryan". Ketika saya berumur 7 tahun, sebuah stasiun televisi menayangkan cerita tentang mimpi saya. Sumbangan mulai membanjir dan saya berhasil mengumpulkan 1.000 dolar. Kemudian, The Canadian International Development Agency yang bekerja sama dengan WaterCan, menghadiahkan program penggandaan. Untuk setiap dolar yang berhasil saya kumpulkan, mereka akan menyumbangkan sejumlah yang sama, sehingga menjadikannya dua kali lipat.

D : Wah, berarti, pada umur 7 tahun, kamu sudah mengumpulkan 2.000 dolar, dana yang cukup untuk menggali sebuah sumur di Afrika!

R: Begitulah. Syukur kepada Tuhan. Saya dan Mama lalu diundang ke pertemuan khusus dengan WaterCan. Dalam pertemuan itu, saya bertemu Gizaw Shibru, direktur the Canadian Physicians for Aid and Relief (CPAR) untuk Uganda . Kami berdua memilih tempat untuk sumur yang akan digali, sumur pertama saya. Kami memilih Angolo Primary School . Shibru menjelaskan bahwa sumur itu akan digali dengan tangan karena biaya untuk pengeboran sangat mahal. Untuk mengebor sebuah sumur kecil saja diperlukan 25.000 dolar. Spontan saya berkata, "Mungkin saya bisa mulai mengumpulkan uang untuk pengeboran supaya Anda bisa menggali lebih banyak sumur."

D : Luar biasa. Jadi, kamu semakin giat menggalang dana lagi sesudah itu?

R : Ya, dengan dukungan seluruh keluarga. Keegan, adik saya, membantu menempelkan perangko pada surat-surat yang akan saya kirim. Jordan , abang saya, membantu membuat peralatan audio visual supaya saya bisa memberi presentasi yang meyakinkan tentang proyek saya.

D : Bagaimana caramu membagi waktu untuk studi dan untuk semua kegiatanmu?

R : Setiap hari, setelah mengerjakan PR, saya mengunjungi sejumlah klub untuk menyampaikan presentasi tentang proyek saya. Semakin banyak saya memberi presentasi, semakin banyak sumbangan yang datang. Teman-teman sekelas saya di kelas dua menempatkan sebuah kotak sumbangan di ruang kelas dan memulai kampanye sahabat
pena dengan murid-murid Angolo Primary School . Sahabat pena saya yang pertama adalah Jimmy Akana, seorang anak yatim piatu yang pada waktu itu berumur 8 tahun.

BULAN Januari 1999, keluarga Hreljac menerima kabar bahwa Sumur Ryan telah menjadi berkat bagi banyak orang kampung yang kehausan. Malam itu, Ryan menambahkan satu permohonan dalam doanya, "Tuhan, jagalah sahabat-sahabat saya, Jimmy dan Gizaw, dan izinkan saya melihat sumur saya suatu hari nanti." Orangtua Ryan mengatakan bahwa mereka bisa mulai menabung supaya dapat pergi ke Uganda , tetapi mungkin Ryan perlu menunggu sampai umur 12 tahun agar tabungan mereka cukup untuk biaya perjalanan itu.

Tetangga sebelah rumah keluarga Hreljac, Beverly dan Bruce Paynter, sering melakukan perjalanan dengan pesawat terbang dan memperoleh point penerbangan gratis yang diberikan perusahaan penerbangan sebagai ungkapan terima kasih untuk perjalanan mereka. Pada tanggal 1 Januari 2000, suami isteri tersebut menghadiahkan semua point yang mereka kumpulkan kepada keluarga Hreljac.

Bulan Juli 2000, Mark, Susan dan Ryan terbang ke Afrika menggunakan sumbangan dari tetangga sebelah, ditambah sumbangan dari beberapa donatur lain. Gizaw Shibru menjemput mereka dengan sebuah truk. Ketika mereka tiba di Angolo, ratusan orang berdiri di sepanjang jalan sambil bersorak, "Rayan! Rayan! Rayan!" Anak-anak sekolah berseragam putih biru berdiri di sepanjang jalan dan bertepuk tangan ketika Ryan berjalan menuju sumurnya. Sumur itu dihiasi bunga-bunga dan diukir dengan tulisan: Sumur Ryan, dibangun oleh Ryan H. Di sanalah Ryan berjumpa dengan Jimmy untuk pertama kalinya. Mereka. memompa bersama dan memancarlah air bening dari saluran pompa tersebut. Kedua anak laki-Iaki itu bersama-sama menadah air dengan tangan ereka dan meminumnya. Air yang telah mereka mimpikan bersama sejak lama!

Di bawah ini adalah cerita Susan tentang Jimmy Akana:
Jimmy Akana lahir di desa Otara, wilayah Abela, negara bagian Otwal pada tahun 1989. Dalam usia sangat muda, dia sudah ditinggal mati oleh ayahnya. Pada saat ayahnya meninggal, ibunya diculik oleh sekelompok orang bersenjata yang membenci umat Katholik dan diperkirakan sudah terbunuh. Pada tahun 1994, Sophia Ameny, tantenya yang tinggal di Otwal mengadopsi Jimmy. la tinggal bersama tantenya hingga musim panas tahun 2002 ketika kegiatan pemberontakan di daerah tersebut semakin menjadi-jadi dan keluarga Sophia Ameny terpaksa mengungsi.

Jimmy mulai bersekolah pada tahun 1996. Nilainya selalu berada di peringkat atas. Itulah sebabnya kami memilih Jimmy untuk menjadi sahabat pena Ryan pada tahun 1999, setelah sumur Ryan yang pertama di samping Angolo Primary School di utara Uganda diresmikan. Ketika kami mengunjungi Uganda , Jimmy menyatakan kerinduannya untuk dapat bersekolah di Kanada.

Saat kami di Uganda , Jimmy dan Ryan sering main bersama. Mereka sangat menikmati Persahabatan mereka. Ryan tahu bahwa Jimmy adalah seorang anak laki-Iaki biasa seperti dirinya meskipun Jimmy terkenal sebagai pemain sepak bola yang hebat. Setelah mendapat izin dari Sophia Ameny, wali Jimmy pada saat itu, dan Jimmy sendiri, pada musim gugur 2000, kami mulai mempelajari kemungkinan untuk mengadopsi Jimmy.

Ternyata, ada larangan untuk mengadopsi anak di atas usia 3 tahun kecuali ada hubungan darah atau kondisi lain yang meringankan. Banyak orang mengatakan bahwa kami tidak akan diperbolehkan mengadopsi Jimmy. Maka, selama beberapa tahun, kami hanya mengirimkan uang ke Uganda supaya Jimmy dapat tetap bersekolah.

Pada tanggal 25 Oktober 2002, teman kami dari The Canadian Physicians for Aid and Relief (sebuah lembaga sosial yang berkantor pusat di Toronto ) pergi mengunjungi Otwal. Mereka memperoleh informasi bahwa Jimmy Akana pernah diculik namun berhasil melarikan diri. Tetapi, dua orang sepupunya terbunuh dan dua lagi diculik lalu dinyatakan hilang. Akhirnya, suami dan saya sepakat bahwa kami harus mengadopsi Jimmy. Kami meminjam uang dan membayar seorang penasehat hukum. Jimmy memohon status sebagai pengungsi dari pemerintah Kanada pada bulan Juli 2003 dan memperolehnya pada bulan September 2003. Kami sungguh terharu! Sekarang anak kami bertambah satu.Jimmy dan Jordan saat ini menjadi teman sekelas di St. Michael Catholic High School di kelas 9. Ryan juga bersekolah di sana . Saat ini, Ryan kelas 7. Keegan, anak bungsu kami, masih kelas 4 di Holy Cross School .

D : Terima kasih, Susan dan Ryan, untuk semua cerita kalian. Susan, dengan semua kesibukan Ryan, bagaimana caramu dan suami membagi waktu untuk pekerjaan, untuk keluarga dan untuk mendampingi anak-anak?

S : Suami saya, Mark adalah seorang detektif dan saat ini ditugaskan untuk mendampingi kaum muda. Saya sendiri bekerja sebagai konsultan untuk pemerintah Ontario. Pekerjaan untuk Ryan's Well Foundation, kami lakukan setelah saya dan suami pulang kerja dan anak-anak selesai mengerjakan PR. Ryan's Well Foundation adalah yayasan yang didirikan Ryan di bulan April 2001 untuk menggalang dana bagi penggalian sumur di Afrika. Hingga saat ini, Ryan's Well Foundation sudah membangun lebih dari 70 buah sumur di Afrika. Sebagai orang Katholik, kami berusaha untuk sebisa mungkin berkumpul bersama seluruh keluarga pada jam makan di mana kami juga berdoa untuk orang-orang yang kurang beruntung dibanding kami. Kalau Ryan tidak ada acara perjalanan, kami juga berusaha menghadiri misa akhir minggu bersama seluruh keluarga.

D: Dan, kamu, Ryan, dengan kesibukanmu di sekolah dan di Ryan's Well Foundation, apakah kamu masih punya waktu untuk melakukan kegiatan lain?

R : Ya, saya selalu punya waktu untuk berdoa. Saya juga menjadi asisten kapten dalam sebuah ice hockey team. Saya suka main basket, saya suka membaca dan saya suka tertawa. Saya suka bermain dengan Riley, anjing saya; dengan Jimmy, sahabat yang sekarang menjadi abang saya; dengan Jordan dan Keegan, abang dan adik saya.

D : Hebat, Ryan! Kamu memang anak yang luar biasa!

R : Oh, jangan katakan itu! Saya adalah anak laki-laki yang biasa-biasa saja. Tuhan memberi saya orangtua yang sangat mendukung anak-anak mereka; sebuah keluarga yang bahagia. Saya pergi ke sekolah dan saya menikmati hobi, melewatkan banyak waktu bersama teman-teman. Satu hal yang saya percaya, Tuhan mempunyai maksud tertentu ketika la menciptakan kita sebagai makhluk yang tidak sempurna. Seandainya kita semua diciptakan menjadi makhluk yang sempurna, kita tidak dapat berbuat apa-apa untuk menjadikan dunia ini menjadi sebuah tempat yang lebih baik. Dan saya juga percaya, jika kita semua, tua-muda, orang dewasa maupun anak-anak, bekerja sama memperbaiki dunia, maka mimpi kita akan menjadi nyata. Suatu hari nanti, semua orang di muka bumi ini akan bisa minum air bersih! Yang perlu kita lakukan adalah bekerja keras dengan sepenuh hati, melakukan segala sesuatu dengan hati yang penuh kasih dan senantiasa berdoa mohon bantuan rahmat Tuhan".

~ Lembar ke-3 ~

Kamis, 19 Juni 2008

Edisi 01 Tahun 2009

KOMPROMI
Hakim-Hakim 1:21-36

Banyak orang memulai dengan baik, tetapi tidak sanggup menyelesaikan dengan tuntas. Sungguh menyedihkan karena hal itu terjadi pada suku-suku Israel. Perikop ini mengungkapkan ketidakberhasilan mereka menduduki tanah Kanaan sepenuhnya dan mengenyahkan suku-suku asli musuh mereka tersebut. Apa penyebab kegagalan Israel?

Salah satu penyebab utama kegagalan mereka adalah kompromi. Hal itu yang dilakukan oleh keturunan Yusuf. Mereka menjanjikan keselamatan bagi satu kelompok orang dari pihak musuh sebagai upah membocorkan kelemahan kota yang hendak ditaklukkan itu (ayat 21-26). Sepintas mungkin terlihat sama dengan strategi kedua pengintai yang diutus Yosua menyelidiki Yerikho (bc. Yos 2), tetapi sangat berbeda. Dalam kasus Yosua, Rahab sudah terlebih dahulu menyatakan imannya, yang kemudian direspons dengan janji keselamatan oleh utusan Yosua (Yos. 2:8-14).

Demikian juga suku-suku lainnya. Mereka tidak menghiraukan perintah Tuhan untuk membinasakan suku-suku musuh demi mendapatkan tenaga rodi (ayat 28, 30, 33, 35). Tindakan yang dilakukan suku-suku Israel memang merupakan suatu kebodohan. Betul, mereka seolah mendapatkan keuntungan sesaat secara ekonomi dari pihak musuh, yaitu buruh yang harganya murah. Namun harga yang harus dibayar akan menjadi bumerang yang berbalik menyerang diri mereka sendiri, terutama secara rohani. Seperti yang akan nyata pada perikop-perikop sesudah ini, kompromi seperti itu berdampak serius sekali pada kesetiaan mereka kepada Tuhan.

Apa kompromi iman yang paling sering dilakukan pada masa kini? Berapa banyak orang Kristen yang mengompromikan imannya dengan dosa-dosa moral tertentu, atau dalam menjalankan perusahaannya membuat pembukuan ganda. Tidak jarang gereja menyuap pejabat setempat agar izin pembangunan gereja dapat keluar padahal surat-surat tidak lengkap. Sepertinya sepele, tetapi iman dan kredibilitas Kristen dipertaruhkan.

~ Lembar ke-1 ~

Sukacita Dalam Tuhan
oleh: Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.
Nats: Filipi 4:4

Ya, benar. Ayat ini memang mengatakan Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan. Senantiasa, dan bukan kadang-kadang atau pas lagi in the good mood. Terdengar irrealistik? Terlalu idealis? Tidak membumi? Namun ini adalah ajakan dari firman Tuhan sendiri. Bukankah kita mendapati pada umumnya manusia ada kalanya bersukacita, ada kalanya berdukacita? Bahkan tampaknya ini bukan hanya kenyataan hidup, bahkan didukung juga oleh ayat firman Tuhan (Pkh. 3:4). Lalu mengapa ayat ini mengajarkan agar kita bersukacita senantiasa? Bagaimana kita mengharmoniskan ayat ini dengan yang terdapat pada Kitab Pengkhotbah atau bahkan terhadap hidup kita sendiri yang dalam kenyataan mungkin seringkali berbeda dengan ayat ini?

Saudara, kita tidak dipanggil untuk mengharmoniskan Alkitab dengan kenyataan hidup kita, melainkan untuk mengharmoniskan hidup kita dengan apa yang dikatakan oleh Alkitab. Alkitab tidak akan menjadi sesuatu ajaran yang idealis hanya gara-gara kita kurang mampu menaati bagian tersebut dan mengalaminya dalam hidup kita. Kita harus kembali kepada Alkitab, betapapun itu merupakan sesuatu yang tampaknya sulit dan bahkan mustahil. Kitab Pengkhotbah sendiri mengajarkan sesuatu kenyataan dalam hidup manusia. Kitab ini banyak menceritakan hidup manusia apa adanya. Bagian-bagian tulisan deskriptif (penggambaran) tersebut tidak boleh kita artikan sebagai preskriptif (ajaran yang harus dijalankan). Ayat dalam Filipi ini bahkan juga tidak berbentur dengan apa yang tertulis dalam Mat. 5:4: Berbahagialah orang yang berdukacita … Karena yang dimaksud di sini adalah suatu dukacita rohani, dukacita menurut kehendak Tuhan, dukacita yang alkitabiah. Sementara yang dimaksud oleh Paulus dalam surat ini adalah sukacita yang dikontraskan dengan kesedihan yang berasal dari dunia ini. Dukacita rohani yang dari Tuhan justru mendatangkan penghiburan menurut Mat. 5:4, namun kesedihan yang ditimbulkan oleh dunia dan segala keinginannya membawa ke dalam kemiskinan hidup, yaitu ketidaksanggupan untuk mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama manusia.

Penderitaan adalah sesuatu yang akrab dalam hidup manusia. Kita meragukan apakah pernah ada seorang manusia yang hidupnya tidak pernah menderita sekalipun. Penderitaan adalah sesuatu yang wajar, sesuatu yang lumrah. Kita mengalami baik penderitaan yang bersifat pribadi dan individual, maupun kesulitan yang terjadi dalam hubungan sesama manusia, bahkan sesama orang beriman, dan juga penderitaan dalam skala yang lebih global (seperti resesi ekonomi, ketidakadilan yang terjadi di sana sini, semakin rusaknya ekologi dsb). Ini semua merupakan kenyataan hidup yang kita tidak dapat (dan tidak boleh serta tidak perlu) melarikan diri daripadanya. Paulus sendiri ketika ia menulis surat ini sedang berada dalam penderitaan. Namun ia berespon dengan benar. Responnya bukanlah terhadap penderitaan itu sendiri (atau orang yang menimbulkan penderitaan tersebut), melainkan respon di hadapan Allah. Dan inilah yang seharusnya menjadi keunikan orang percaya ketika berada di tengah penderitaan: dia tetap bisa bersukacita. Mengapa justru bersukacita di tengah penderitaan? Karena kita percaya Allah adalah Allah yang berdaulat. Our God is sovereign God. Seringkali pembahasan Kedaulatan Allah selalu dikaitkan dengan persoalan kehendak bebas manusia (suatu persoalan klassik yang terus dibicarakan sampai saat ini). Namun Kedaulatan Allah tidak hanya berhubungan dengan persoalan kehendak bebas manusia saja. Kedaulatan Allah justru menjadi dasar mengapa kita bisa bersukacita senantiasa.

Mengutip Jonathan Edwards, Allah yang senantiasa bersukacita adalah dasar mengapa orang percaya dapat bersukacita senantiasa. Allah bukan pemurung dan tidak mau diganggu oleh siapapun karena Dia begitu kecewa melihat kehendak-Nya seringkali tidak ditaati di dunia ini. Alkitab mengajarkan kehendak umum Allah (yaitu apa yang diajarkan oleh firman Tuhan) dan kehendak kedaulatan Allah (yaitu segala sesuatu yang terjadi dalam dunia ini dalam kuasa dan kendali Allah). Ini bukan berarti dua kehendak Allah, melainkan satu kehendak Allah dengan dua perspektif. Tanpa mengerti kedua perspektif ini sulit bagi kita untuk bisa bersukacita. Untuk sederhananya, Allah melihat suatu kejadian (katakanlah penderitaan misalnya) dengan dua sudut pandang. Ketika Petrus menyangkal Yesus, Allah berduka karena melihat Petrus jatuh (kehendak umum Allah), namun dalam perspektif yang lain, yaitu perspektif global, keseluruhan rencana Allah (kehendak kedaulatan Allah) Ia melihat semua rancangan-Nya adalah baik adanya (Petrus justru lebih mengasihi Allah setelah kejatuhannya tersebut). Mengutip John Piper, berdasarkan perspektif lensa yang sempit (kehendak umum Allah) kejatuhan itu adalah sesuatu yang menyedihkan. Namun berdasarkan perspektif lensa yang lebar (kehendak kedaulatan Allah) semua yang terjadi dalam hidup kita, bahkan dalam dunia ini pada akhirnya akan menggenapi rencana Allah yang tidak mungkin gagal (Ayb. 42:2).

Demikian dalam kehidupan kita, jika kita hanya melihat kejadian demi kejadian berdasarkan perspektif yang sempit saja, kita tidak akan sanggup untuk bersukacita, bahkan tidak sanggup untuk beriman. Namun ketika kita mengingat bahwa Allah yang kita percaya adalah Allah yang berdaulat, yang mengontrol jalannya sejarah, kita memiliki kekuatan pengharapan di dalam sukacita Tuhan. Tanpa pengharapan akan Allah yang berdaulat, tidak ada sukacita senantiasa, yang ada adalah tenggelam dalam penderitaan demi penderitaan. Tentu ketika kita berbuat dosa dan kesalahan kita harus mengintrospeksi diri dan menyesali tindakan tersebut. Namun, bukankah memang penderitaan juga dapat diakibatkan oleh kesalahan orang lain? Dalam hal ini, sekali lagi kita harus berespon dan percaya kepada Allah yang berdaulat. Kepercayaan kepada Allah yang berdaulat sepenuhnya akan menolong kita untuk berpengharapan akan rencana Allah terhadap hidup kita, terhadap Gereja-Nya, terhadap seluruh alam semesta. Kita dapat belajar untuk bersukacita senantiasa dengan tidak melihat kepingan-kepingan hidup yang seringkali lebih merupakan nada sumbang dalam hidup ini, melainkan dengan percaya akan tenunan rencana Allah yang berdaulat yang menjadikan segala sesuatu indah pada waktu-Nya. Itu yang pertama.

Yang kedua, kita bisa mengerti apa itu sukacita yang sejati, sukacita yang tertinggi dengan memikirkan apakah kesengsaraan yang tertinggi dalam hidup manusia. Konsep sukacita atau kebahagiaan seseorang akan sangat bergantung dengan apa yang dia anggap paling sengsara dalam hidup ini (the deepest misery in our life). Jika kita mengatakan hidup paling sengsara adalah tidak memiliki cukup uang, maka bersamaan dengan itu kita akan menilai hidup yang paling bahagia adalah hidup yang memiliki banyak uang. Jika kita berpendapat hidup yang paling sengsara adalah tidak diterima oleh orang lain, maka seumur hidup mungkin kita akan mengejar penerimaan manusia (daripada penerimaan Tuhan). Jika kita berpikir yang paling menderita adalah tidak memiliki keturunan, maka kita akan meletakkan harapan kebahagiaan kita sepenuhnya pada anak-anak kita (yang nanti mungkin suatu saat akan mengecewakan kita). Jika kita berpikir tidak bisa beribadah dalam suatu gedung yang tetap adalah kecelakaan paling besar, maka kita akan meletakkan seluruh harapan untuk membangun gedung gereja yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Betulkah di situ letak sukacita yang sejati, yang paling tinggi?

Alkitab mengatakan bahwa kecelakaan paling besar dalam hidup manusia adalah manusia telah jatuh dalam dosa, ia hidup melawan Allah. Itulah kesengsaraan yang terdalam yang dialami oleh manusia. Bukan kurang uang, bukan tidak ada keturunan, bukan gelar kurang tinggi, jabatan kurang baik, tidak ada gedung ibadah, BBM naik, sekolah tidak cepat lulus, sakit yang tidak kunjung sembuh, tidak menjadi orang yang diterima oleh banyak orang dlsb. Bukan. Itu semua memang bisa merupakan penderitaan yang nyata terjadi di sekitar kita, namun itu bukan penderitaan yang terbesar. Penderitaan terbesar dalam hidup manusia adalah ia hidup berdosa melawan Allah. Jika demikian, maka sukacita yang sejati, yang tertinggi dalam hidup manusia adalah jika dosa-dosanya telah diampuni. Berita pengampunan, berita keselamatan dalam Injil adalah THE good news, ya, bahkan the best news. Apakah kita masih bisa mengagumi berita Injil ketika kita mendengarnya kembali? Atau hati kita sudah tidak tergerak lagi karena kita sudah tahu? Jika kita mengerti kehidupan yang paling menyusahkan adalah jatuh dalam dosa, maka kita pasti senantiasa bersukacita ketika menyadari kembali bahwa kita telah memiliki kemerdekaan atas kuasa dosa yang mengikat hidup manusia. Banyak orang-orang saleh yang diberkati Tuhan dengan heran memiliki kesamaan yang satu ini, mereka hanya takut satu hal saja, takut berbuat dosa di hadapan Tuhan. Mereka begitu serius menghadapi dosa. Dan bagi mereka tidak ada yang lebih menimbulkan kepedihan daripada hidup yang berdosa. Orang-orang seperti ini hidupnya pasti dikuasai oleh sukacita Injil. Injil yang bukan hanya mereka terima saat mereka bertobat dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, melainkan Injil yang mereka hidupi dalam hidup sehari-hari. Penderitaan apapun yang mereka alami senantiasa dianggap lebih kecil dan tidak dapat dibandingkan dengan sukacita yang mereka miliki karena Yesus Kristus telah membebaskan mereka dari dosa.

Yang ketiga, kita dapat senantiasa bersukacita dengan melatih diri mengucap syukur (Fil. 4:6). Kita bukan hanya bersyukur ketika doa kita dikabulkan, melainkan dengan ucapan syukur kita menyatakan segala keinginan kita kepada Allah dalam doa. Kita sudah bersyukur saat kita berdoa. Mengapa? Karena kita percaya bahwa Tuhan adalah Allah yang Mahatahu, Mahabaik dan Mahabijaksana. Dia tahu segala kebutuhan kita sebelum kita memohonkannya, Dia rindu untuk memberikan yang terbaik bagi kita, dan Dia mengetahui saat yang terbaik. Karena itu saya sudah dapat bersyukur sekalipun saya belum mengetahui jawaban doa yang akan diberikan Tuhan. Orang yang terus-menerus bersyukur hidupnya pasti penuh sukacita. Sementara orang yang selalu mengasihani diri, selalu mengharapkan orang lain mengerti, memperhatikan, mempedulikan dia, akan kehilangan kekuatan untuk melayani Tuhan. Seorang pianis terkenal, Arthur Rubinstein pernah berkata tentang dirinya: Saya adalah orang yang paling beruntung yang saya pernah kenal di dunia ini. Kita mungkin berpikir Orang ini GR, memuji-muji dirinya sendiri. Namun saya ingin membaca dan mengerti kalimat yang dia ucapkan secara positif: ia pasti adalah seseorang yang puas (content) dengan keberadaan dirinya. Dapatkah kita mengatakan kalimat yang serupa tentang diri kita sendiri: I am one of the most blessed person in this world? Atau kita justru lebih sering berpikir: Aku ini orang yang paling kasihan, paling menderita, paling sengsara, pokoknya paling-paling deh! Orang yang bersyukur hidupnya melimpah dengan sukacita dan dari situ ia siap untuk mengalirkan berkat bagi orang lain. Dalam peristiwa mujizat memberi makan lima ribu orang, Yesus Kristus mengucap syukur, mengucap berkat terlebih dahulu sebelum Ia memecah-mecahkan roti. Ia bersyukur, sekalipun hanya ada 5 roti dan 2 ikan. Dia menerimanya sebagai berkat dari Allah Bapa yang di sorga. Dan ucapan syukur itulah yang mengubah 5 roti dan 2 ikan menjadi berkat yang berkelimpahan yang siap untuk dibagi-bagikan mengenyangkan banyak orang. Itulah yang seharusnya terjadi dalam hidup kita sebagai orang percaya. Inilah kesaksian hidup orang percaya yang sekaligus merupakan salah satu keunikan: sukacita yang sejati. Dunia ini tidak mengenal sukacita itu, meskipun banyak orang yang tampaknya berbahagia (baca: bersenang-senang) dalam kehidupan yang berdosa. Jauh di lubuk hati mereka, ada suatu kekosongan, kehampaan yang menjerit untuk mengalami kebahagiaan yang sejati. Kita sebagai orang percaya dipanggil untuk menyaksikan kehidupan sukacita ini, justru di dalam kondisi jaman di mana semakin banyak penderitaan terjadi. Biarlah dunia mengenal bahwa Allah yang kita percaya adalah Allah yang sejati, yang berada dalam sukacita yang penuh, yang sanggup untuk membagikan sukacita tersebut kepada mereka yang percaya dalam nama-Nya. Kiranya Tuhan mengaruniakan kepada kita kehidupan yang sedemikian!

~ Lembar ke-2 ~

IF I WALK WITH THEE....
Kesaksian yang indah dari Diana, Jakarta.

Sejak di PHK dari perusahaan asing tempat saya bekerja, saya mencari nafkah dengan menjadi guru bhs Inggris di rumah. Murid saya dari bermacam-macam latar belakang, ada anak SMU, mahasiswa bahkan karyawan.

Salah satu murid saya, namanya Daniel. Dia termasuk anak yang tidak pandai. Nilainya selalu paling jelek. Tetapi dia anak yang rajin, tidak pernah putus asa. Kehidupan rohaninya pun cukup baik, dia rajin ke gereja dan rajin berdoa. Daniel belajar bhs Inggris karena dia ingin sekali bekerja di luar negeri. Walapun sebetulnya keluarganya sudah menganggap dia gila, karena keluarganya tahu bahwa dia bukan seorang anak yang pandai. Dan untuk bekerja diluar negeri pada perusahaan yang akan dilamar oleh Daniel, standar bhs Inggrisnya harus excellent. Jadi keluarganya selalu menyuruhnya untuk melupakan impiannya dan menyuruhnya bekerja di Indonesia saja. Apalagi biaya yg harus dikeluarkan oleh keluarganya lumayan besar untuk membiayai keberangkatannya. Tetapi Daniel tetap berusaha keras dengan belajar dan berdoa.

Kalau pada anak normal 3-5 bulan saya mengajar sudah terlihat kemajuannya, ibaratnya seekor burung, maka sudah bisa berkicau walaupun belum sempurna. Tapi Daniel ini, sudah 3-5 bulan kondisinya tetap saja "bisu", tidak ada satu katapun yang bisa dia katakan, yang membuat saya sukacita. Saya tetap dengan sabar mengajar dia, tapi sesudah 7 bulan tidak ada kemajuan yang berarti saya akhirnya mulai putus asa.

Saya mencoba berbicara dengan dia dari hati ke hati. Maksud saya supaya dia melupakan impiannya untuk bekerja di luar negeri karena kemampuannya belajar bhs Inggris sangat kurang, dan saya juga akan meminta dia untuk berhenti les dari saya, karena saya sungguh2 sudah putus asa. Saya kan juga tidak mau dibilang menerima uang les dengan cuma2 tanpa ada kemajuan dari sang murid.

Setelah saya utarakan semua uneg2 saya, saya melihat raut muka Daniel yang sedih, saya pun sedih ... bagaimana tidak, 7 bulan sudah menjadi murid saya dan saya minta dia untuk berhenti belajar karena saya putus asa. Tetapi jawaban Daniel sungguh "menampar" iman kepercayaan saya sebagai seorang Katolik yang percaya dan bergantung pada Yesus. Daniel berkata:"Ibu, kalau saya berjalan dengan Tuhan, saya percaya saya akan mendapatkan pekerjaan ini".

Saya sungguh malu, bagaimana tidak, Daniel seorang muda dan sudah mempunyai keyakinan iman yang menakjubkan. Saya berkata: "OK, you can joint my class again if you can say that words once again in a good English!" (baiklah, kamu boleh belajar lagi sama saya kalau kamu bisa mengatakan sekali lagi perkataanmu tadi dalam bhs Inggris yang baik) - ini dengan maksud bahwa kalau dia tidak bisa mengatakan dengan baik, maka saya mempunyai alasan untuk menyuruh dia berhenti belajar (dasar saya sudah putus asa). Tapi tidak saya sangka Daniel mengulangi perkataannya dengan bhs Inggris sempurna:"Mam, if I walk with Thee, I believe that I can get this job".

Rupanya perkataan ini selalu diulang2 Daniel untuk membangkitkan iman dia pada saat dia sendiri putus asa (makanya pada waktu saya minta dia mengatakannya dlm bhs Inggris dengan lancar dia berkata jadi bukan krn dia pintar, tetapi karena dia sudah hapal) Maka tidak ada alasan bagi saya untuk tidak mengajarnya lagi, setelah belajar selama 12 bulan, tibalah waktunya Daniel untuk maju interview di perusahaan asing tempat dia melamar. Saya sebetulnya tahu bahwa bhs Inggrisnya belum sempurna sekali dan masih dibawah standar yang ditentukan oleh perusahaan, tapi kemauan dan iman dia bahwa dia akan ditolong Tuhan membuat saya pun bisa melepas dia interview dengan hati besar. Pada hari dia interview saya berdoa terus, saya mohon kepada Tuhan agar Tuhan tidak mengecewakan Daniel yang sungguh bergantung pada Tuhan.

Siang jam 2, Daniel tilpon saya dan mengatakan dia LULUS! Puji Tuhan!! Saya menangis terharu, saya merasa pasti bahwa tangan Tuhan yang sudah menolong Daniel, bukan karena saya guru yang hebat, atau bukan karena kemampuan Daniel berbahasa Inggris. Tapi betul2 karena tangan Tuhan ... Saya minta dia datang ke saya dan menceritakan semuanya secara detail.

Ternyata si interviewer, yaitu orang asing yang seharusnya menginterview Daniel pada hari itu tidak ada, karena harus pulang kampung ke London karena ibunya meninggal, dan penggantinya adalah orang Indonesia yang nama keluarganya atau marganya sama dengan Daniel yaitu "Sianturi". Jadilah interview itu bukan bhs Inggris full, tapi seperti ngobrol ngalor ngidul campur2 bhs Inggris dan Batak

Saya PERCAYA bahwa ini bukan suatu KEBETULAN, yaitu KEBETULAN orang asingnya harus pulang kampung, dan KEBETULAN penggantinya "saudara sekampung" Daniel .... TAPI INI SUNGGUH MUJIZAT TUHAN!

Akhirnya, tentu saja Daniel lulus interview dan sekarang dia sudah bekerja di Miami. Setiap kali telepon saya, Daniel selalu saya ingatkan bahwa dia mendapatkan pekerjaan ini hanya karena kebaikan Tuhan, bukan kehebatan dia (karena dia memang bukan anak yang pandai) dan juga bukan kebetulan. Daniel menyadari itu dan selalu berkata: "Don't worry Mam, I always walk with Thee ..."

"Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepadaNya, dan Ia akan bertindak" Mazmur 37:5

~ Lembar ke-3 ~

Operator telepon, kesabaran, dan menyentuh hidup orang lain
Waktu saya masih amat kecil, ayah sudah memiliki telepon di rumah kami. Inilah telepon masa awal, warnanya hitam, di tempelkan di dinding, dan kalau mau menghubungi operator, kita harus memutar sebuah putaran dan minta disambungkan dengan nomor telepon lain. Sang operator akan menghubungkan secara manual.

Dalam waktu singkat, saya menemukan bahwa , kalau putaran di putar, sebuah suara yang ramah, manis, akan berkata : "Operator " Dan si operator ini maha tahu.

Ia tahu semua nomor telepon orang lain! Ia tahu nomor telepon restoran, rumah sakit, bahkan nomor telepon toko kue di ujung kota.

Pengalaman pertama dengan sang operator terjadi waktu tidak ada seorangpun dirumah, dan jempol kiri saya terjepit pintu. Saya berputar putar kesakitan dan memasukkan jempol ini kedalam mulut tatakala saya ingat ....operator!! Segera saya putar bidai pemutar dan menanti suaranya.

" Disini operator..."

" Jempol saya kejepit pintu..." kata saya sambil menangis . Kini emosi bisa meluap, karena ada yang mendengarkan.

" Apakah ibumu ada di rumah ? " tanyanya.

" Tidak ada orang "

" Apakah jempolmu berdarah ?"

" Tidak, cuma warnanya merah, dan sakiiit sekali "

" Bisakah kamu membuka lemari es ?" tanyanya.

" Bisa, naik di bangku "

" Ambillah sepotong es dan tempelkan pada jempolmu..."

Sejak saat itu saya selalu menelpon operator kalau perlu sesuatu. Suatu hari, burung peliharaan saya mati. Saya telpon sang operator dan melaporkan berita duka cita ini.

Ia mendengarkan semua keluhan, kemudian mengutarakan kata kata hiburan yang biasa diutarakan orang dewasa untuk anak kecil yang sedang sedih. Tapi rasa belasungkawa saya terlalu besar. Saya tanya : " Kenapa burung yang pintar menyanyi dan menimbulkan sukacita sekarang tergeletak tidak bergerak di kandangnya ?"

Ia berkata pelan : " Karena ia sekarang menyanyi di dunia lain..." Kata - kata ini - tidak tahu bagaimana - menenangkan saya.

Lain kali saya telpon dia lagi.

" Disini operator "

" Bagaimana mengeja kata kukuruyuk?"

Kejadian ini berlangsung sampai saya berusia 9 tahun. Kami sekeluarga kemudian pindah kota lain. Saya sangat kehilangan " Disini operator "

Saya tumbuh jadi remaja, kemudian anak muda, dan kenangan masa kecil selalu saya nikmati. Betapa sabarnya wanita ini. Betapa penuh pengertian dan mau meladeni anak kecil.

Beberapa tahun kemudian, saat jadi mahasiswa, saya studi trip ke kota asal. Segera sesudah saya tiba, saya menelpon kantor telepon, dan minta bagian " operator "

" Disini operator "

Suara yang sama. Ramah tamah yang sama.

Saya tanya : " Bisa nggak eja kata kukuruyuk "

Hening sebentar. Kemudian ada pertanyaan : "Jempolmu yang kejepit pintu sudah sembuh kan ?"

Saya tertawa. " Itu Anda.... Wah waktu berlalu begitu cepat ya "

Saya terangkan juga betapa saya berterima kasih untuk semua pembica raan waktu masih kecil. Saya selalu menikmatinya. Ia berkata serius : " Saya yang menikmati pembicaraan dengan mu. Saya selalu menunggu nunggu kau menelpon "

Saya ceritakan bahwa , ia menempati tempat khusus di hati saya. Saya bertanya apa lain kali boleh menelponnya lagi. " Tentu, nama saya Saly "

Tiga bulan kemudian saya balik ke kota asal. Telpon operator. Suara yang sangat beda dan asing. Saya minta bicara dengan operator yang namanya Saly. Suara itu bertanya:

" Apa Anda temannya ?"

" Ya teman sangat lama "

" Maaf untuk kabarkan hal ini, Saly beberapa tahun terakhir bekerja paruh waktu karena sakit sakitan. Ia meninggal lima minggu yang lalu..."

Sebelum saya meletakkan telepon, tiba tiba suara itu bertanya : "Maaf, apakah Anda bernama Paul ?"

"Ya "

" Saly meninggalkan sebuah pesan buat Anda. Dia menulisnya di atas sepotong kertas, sebentar ya....."

Ia kemudian membacakan pesan Saly :

" Bilang pada Paul, bahwa IA SEKARANG MENYANYI DI DUNIA LAIN... Paul akan mengerti kata kata ini...."

Saya meletakkan gagang telepon. Saya tahu apa yang Saly maksudkan.

Jangan sekali-kali mengabaikan, bagaimana Anda menyentuh hidup orang lain...!

~ Lembar ke-4 ~

BEKERJALAH SESUAI DENGAN KEMAMPUAN
Kedengarannya begitu sederhana; "Bekerjalah sesuai dengan kemampuan". Namun, dibalik kesederhanaannya, kalimat itu mengandung makna yang sangat dalam. Bagaimanapun juga, itu bukanlah cara lain untuk mengatakan; "Bekerja secara ala-kadarnya." Sama sekali bukan. Sebab, bekerja sesuai dengan kemampuan menyiratkan kesediaan untuk mencurahkan segenap kemampuan yang kita miliki dalam menjalani pekerjaan yang kita geluti. Begitu banyak orang yang berpotensi tinggi, namun bekerja alakadarnya. Sehingga, mereka tidak sampai kepada puncak prestasinya. Sebab, jika saja mereka bersedia bekerja sesuai dengan kemampuannya, maka pastilah mereka sudah bisa mencapai ketinggian nilai kemanusiaan dirinya. Alih-alih demikian, mereka membiarkan sebagian besar potensi dirinya tersia-siakan.

Salah satu tanda seseorang tidak bekerja sesuai kemampuan adalah ketika dia sekedar memenuhi job descripton yang diterima dari atasannya. Padahal, jobdes hanyalah sebuah alat untuk mendeskripsikan pekerjaan standard yang harus dilakukan seseorang. Sedangkan, kemampuan diri kita yang sesungguhnya seringkali jauh lebih tinggi dibandingkan jobdes itu. Sebentar, apakah anda yakin bahwa kemampuan anda yang sesungguhnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jobdes itu? Tentu saja, sebab anda pasti keberatan jika ada orang yang mengatakan bahwa kemampuan anda hanyalah pas-pasan saja, bukan? Harga diri anda menyebabkan anda begitu yakin bahwa kemampuan diri anda lebih tinggi dari jobdes itu. Pertanyaannya sekarang adalah; apakah anda bekerja berdasarkan jobdes, atau berdasarkan kemampuan yang anda miliki?

Jika seseorang bekerja berdasarkan kemampuannya – yang sudah pasti lebih tinggi dari jobdes itu – siapa yang diuntungkan? Perusahaan, tentu saja. Perusahaan untung karena orang itu bekerja melampaui harapan minimalnya. Tetapi, sesungguhnya bukan perusahaan yang paling diuntungkan, melainkan orang itu sendiri. Bayangkan saja, ketika dia bekerja melampaui jobdes-nya, atasannya senang. Perusahaannya senang. Lalu dia mendapatkan reward yang lebih baik daripada karyawan lainnya. Bahkan, jika keadaan memungkinkan, bisa jadi dia dipromosikan. Itu sudah menjadi hukum alami. Namun, mengapa begitu banyak orang yang enggan untuk bekerja melampaui jobdes-nya? Ini masih merupakan teka-teki.

Dibanyak lingkungan kerja, begitu banyak orang yang merasa puas dengan memenuhi tuntutan yang tertera dalam jobdes-nya. Padahal, bekerja sekedar memenuhi jobdes mengandung dua resiko besar. Pertama, resiko bahwa orang-orang lain yang lebih rajin akan mendapatkan prestasi kerja yang lebih baik dari kita. Sehingga mereka mendapatkan reward yang lebih baik. Mungkin mereka mendapatkan promosi hingga meninggalkan kita jauh dibelakang. Kedua, resiko bahwa Tuhan tidak terlalu menyukai kita. Sebab, Tuhan sudah menciptakan kita dengan sejumlah potensi diri yang begitu tinggi. Dan, orang yang bertanggungjawab kepada Tuhan memahami benar bahwa Tuhan mungkin kurang senang jika kita tidak memanfaatkan semua potensi diri itu. Oleh karenanya, misi hidup ini bukanlah sekedar memenuhi kewajiban melalui jobdes belaka. Melainkan mengaktualisasikan diri kita hingga bisa mencapai nilai paling luhur dari kualitas diri sebagai seorang manusia. Dengan cara itu, kita bisa mempersembahkan sebuah pencapaian yang outstanding. Berbeda jauh dibadingkan dengan kebanyakan orang lainnya.

Sayangnya, kita masih sering hitung-hitungan. Kontribusi kerja yang kita berikan kepada perusahaan dihitung sebatas sejumlah bayaran yang kita dapatkan. Lebih dari itu? No way. Perusahaan tidak memberikan posisi atau kompensasi yang cukup tinggi. Jadi, kenapa kita mesti berprestasi tinggi? Kita yang merasa punya potensi tinggi ini juga berpikir bahwa seharusnya perusahaan mempromosikan kita terlebih dahulu, supaya kita bekerja secara extra ordinary. Kita mempunyai kemampuan yang memadai untuk menyelesaikan suatu masalah. Dan menghasilkan kinerja yang jauh lebih baik lagi. Tetapi, karena perusahaan belum mempromosikan kita pada posisi itu, maka kita tunggu saja sampai perusahaan mempromosikan kita. Setelah itu, barulah kita melakukannya. Dan karena selama hidup kita tidak pernah dipromosikan kepada posisi yang kita inginkan itu, maka selama hidup itu pula kita tidak pernah benar-benar mengaktualisasikan potensi diri kita yang sesungguhnya.

Sekarang, mari kita cermati situasi dilingkungan kerja kita. Cukup banyak orang berpotensi yang membunuh karakter hebatnya sendiri. Mereka tidak puas dengan keputusan-keputusan perusahaan. Lalu mereka bekerja alakadarnya. Daripada menjadi pegawai yang tangguh dan tahan banting, mereka memilih untuk menjadi karyawan Teng-Go. Begitu bel jam kerja berbunyi, mereka langsung cabut. Padahal, mereka masuk
kerja pun datang terlambat. Mereka pikir, tak apa-apa karena jaman ini jalanan serba macet. Terlambat setiap hari bukan lagi soal penting. Pulang kerumah cepat-cepatlah yang paling penting. Makanya, datang terlambat – pulang cepat menjadi budaya baru dunia kerja kita saat ini. Pendek kata, boro-boro memasuki tatanan extra ordinary work, sekedar memenuhi standar minimal saja kadang-kadang kita kedodoran.

Mari kita bayangkan sebuah situasi dimana perusahaan harus memilih sebagian karyawan untuk dipertahankan, dan mendepak sebagian yang lainnya. Sekalipun membayangkan ini tidak menyenangkan, namun orang yang memilih untuk menjadi karyawan perlu bersiap-siap untuk kemungkinan seperti itu. Betapa banyak orang yang terlampau percaya ahwa hubungan kerjanya akan berjalan lancar-lancar saja. Sehingga, ketika berita buruk itu datang; mereka menjadi syok. Padahal, jika hal itu sudah diperkirakannya jauh-jauh hari, mungkin dampaknya tidak akan seburuk itu. Setidaknya mereka sudah mempunyai sekoci yang bisa digunakan sebagai alat penyelamat darurat. Namun, orang-orang yang bekerja sebatas memenuhi jobdes, tidak akan pernah memiliki kesiapan itu. Sedangkan mereka yang bekerja sesuai dengan kemampuan dirinya, akan mempunyai peluang lebih besar untuk dipertahankan oleh perusahaan. Sekalipun pada akhirnya perusahaan tidak lagi mampu mempertahankan mereka, namun setidak-tidaknya, mereka sudah berjuang hingga titik darah penghabisan.

Bahkan, mereka yang selama kehidupan kerjanya bersedia memeras segenap kemampuan diri yang dimilikinya, adalah orang-orang yang sudah teruji. Dan itu menjadi bekal alam bawah sadar yang sangat berguna baginya, jika suatu saat dihadapkan kepada situasi yang sulit. Sebab, orang-orang yang seperti itu, selalu bisa diadalkan. Baik oleh perusahaan, maupun oleh dirinya sendiri. Dan ternyata, untuk menjadi manusia yang mempunyai kualifikasi tinggi seperti itu; kita tidak harus bekerja mati-matian. Kita, hanya perlu bekerja sesuai dengan kemampuan. Sebab, bekerja sesuai dengan kemampuan bagi kita berarti; mempersembahkan pencapaian kerja yang berkualitas tinggi. Melalui seluruh potensi unggul yang telah Tuhan anugerahkan kepada kita.

~ Lembar ke-5 ~