Kamis, 19 Juni 2008

Edisi 01 Tahun 2009

KOMPROMI
Hakim-Hakim 1:21-36

Banyak orang memulai dengan baik, tetapi tidak sanggup menyelesaikan dengan tuntas. Sungguh menyedihkan karena hal itu terjadi pada suku-suku Israel. Perikop ini mengungkapkan ketidakberhasilan mereka menduduki tanah Kanaan sepenuhnya dan mengenyahkan suku-suku asli musuh mereka tersebut. Apa penyebab kegagalan Israel?

Salah satu penyebab utama kegagalan mereka adalah kompromi. Hal itu yang dilakukan oleh keturunan Yusuf. Mereka menjanjikan keselamatan bagi satu kelompok orang dari pihak musuh sebagai upah membocorkan kelemahan kota yang hendak ditaklukkan itu (ayat 21-26). Sepintas mungkin terlihat sama dengan strategi kedua pengintai yang diutus Yosua menyelidiki Yerikho (bc. Yos 2), tetapi sangat berbeda. Dalam kasus Yosua, Rahab sudah terlebih dahulu menyatakan imannya, yang kemudian direspons dengan janji keselamatan oleh utusan Yosua (Yos. 2:8-14).

Demikian juga suku-suku lainnya. Mereka tidak menghiraukan perintah Tuhan untuk membinasakan suku-suku musuh demi mendapatkan tenaga rodi (ayat 28, 30, 33, 35). Tindakan yang dilakukan suku-suku Israel memang merupakan suatu kebodohan. Betul, mereka seolah mendapatkan keuntungan sesaat secara ekonomi dari pihak musuh, yaitu buruh yang harganya murah. Namun harga yang harus dibayar akan menjadi bumerang yang berbalik menyerang diri mereka sendiri, terutama secara rohani. Seperti yang akan nyata pada perikop-perikop sesudah ini, kompromi seperti itu berdampak serius sekali pada kesetiaan mereka kepada Tuhan.

Apa kompromi iman yang paling sering dilakukan pada masa kini? Berapa banyak orang Kristen yang mengompromikan imannya dengan dosa-dosa moral tertentu, atau dalam menjalankan perusahaannya membuat pembukuan ganda. Tidak jarang gereja menyuap pejabat setempat agar izin pembangunan gereja dapat keluar padahal surat-surat tidak lengkap. Sepertinya sepele, tetapi iman dan kredibilitas Kristen dipertaruhkan.

~ Lembar ke-1 ~

Sukacita Dalam Tuhan
oleh: Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.
Nats: Filipi 4:4

Ya, benar. Ayat ini memang mengatakan Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan. Senantiasa, dan bukan kadang-kadang atau pas lagi in the good mood. Terdengar irrealistik? Terlalu idealis? Tidak membumi? Namun ini adalah ajakan dari firman Tuhan sendiri. Bukankah kita mendapati pada umumnya manusia ada kalanya bersukacita, ada kalanya berdukacita? Bahkan tampaknya ini bukan hanya kenyataan hidup, bahkan didukung juga oleh ayat firman Tuhan (Pkh. 3:4). Lalu mengapa ayat ini mengajarkan agar kita bersukacita senantiasa? Bagaimana kita mengharmoniskan ayat ini dengan yang terdapat pada Kitab Pengkhotbah atau bahkan terhadap hidup kita sendiri yang dalam kenyataan mungkin seringkali berbeda dengan ayat ini?

Saudara, kita tidak dipanggil untuk mengharmoniskan Alkitab dengan kenyataan hidup kita, melainkan untuk mengharmoniskan hidup kita dengan apa yang dikatakan oleh Alkitab. Alkitab tidak akan menjadi sesuatu ajaran yang idealis hanya gara-gara kita kurang mampu menaati bagian tersebut dan mengalaminya dalam hidup kita. Kita harus kembali kepada Alkitab, betapapun itu merupakan sesuatu yang tampaknya sulit dan bahkan mustahil. Kitab Pengkhotbah sendiri mengajarkan sesuatu kenyataan dalam hidup manusia. Kitab ini banyak menceritakan hidup manusia apa adanya. Bagian-bagian tulisan deskriptif (penggambaran) tersebut tidak boleh kita artikan sebagai preskriptif (ajaran yang harus dijalankan). Ayat dalam Filipi ini bahkan juga tidak berbentur dengan apa yang tertulis dalam Mat. 5:4: Berbahagialah orang yang berdukacita … Karena yang dimaksud di sini adalah suatu dukacita rohani, dukacita menurut kehendak Tuhan, dukacita yang alkitabiah. Sementara yang dimaksud oleh Paulus dalam surat ini adalah sukacita yang dikontraskan dengan kesedihan yang berasal dari dunia ini. Dukacita rohani yang dari Tuhan justru mendatangkan penghiburan menurut Mat. 5:4, namun kesedihan yang ditimbulkan oleh dunia dan segala keinginannya membawa ke dalam kemiskinan hidup, yaitu ketidaksanggupan untuk mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama manusia.

Penderitaan adalah sesuatu yang akrab dalam hidup manusia. Kita meragukan apakah pernah ada seorang manusia yang hidupnya tidak pernah menderita sekalipun. Penderitaan adalah sesuatu yang wajar, sesuatu yang lumrah. Kita mengalami baik penderitaan yang bersifat pribadi dan individual, maupun kesulitan yang terjadi dalam hubungan sesama manusia, bahkan sesama orang beriman, dan juga penderitaan dalam skala yang lebih global (seperti resesi ekonomi, ketidakadilan yang terjadi di sana sini, semakin rusaknya ekologi dsb). Ini semua merupakan kenyataan hidup yang kita tidak dapat (dan tidak boleh serta tidak perlu) melarikan diri daripadanya. Paulus sendiri ketika ia menulis surat ini sedang berada dalam penderitaan. Namun ia berespon dengan benar. Responnya bukanlah terhadap penderitaan itu sendiri (atau orang yang menimbulkan penderitaan tersebut), melainkan respon di hadapan Allah. Dan inilah yang seharusnya menjadi keunikan orang percaya ketika berada di tengah penderitaan: dia tetap bisa bersukacita. Mengapa justru bersukacita di tengah penderitaan? Karena kita percaya Allah adalah Allah yang berdaulat. Our God is sovereign God. Seringkali pembahasan Kedaulatan Allah selalu dikaitkan dengan persoalan kehendak bebas manusia (suatu persoalan klassik yang terus dibicarakan sampai saat ini). Namun Kedaulatan Allah tidak hanya berhubungan dengan persoalan kehendak bebas manusia saja. Kedaulatan Allah justru menjadi dasar mengapa kita bisa bersukacita senantiasa.

Mengutip Jonathan Edwards, Allah yang senantiasa bersukacita adalah dasar mengapa orang percaya dapat bersukacita senantiasa. Allah bukan pemurung dan tidak mau diganggu oleh siapapun karena Dia begitu kecewa melihat kehendak-Nya seringkali tidak ditaati di dunia ini. Alkitab mengajarkan kehendak umum Allah (yaitu apa yang diajarkan oleh firman Tuhan) dan kehendak kedaulatan Allah (yaitu segala sesuatu yang terjadi dalam dunia ini dalam kuasa dan kendali Allah). Ini bukan berarti dua kehendak Allah, melainkan satu kehendak Allah dengan dua perspektif. Tanpa mengerti kedua perspektif ini sulit bagi kita untuk bisa bersukacita. Untuk sederhananya, Allah melihat suatu kejadian (katakanlah penderitaan misalnya) dengan dua sudut pandang. Ketika Petrus menyangkal Yesus, Allah berduka karena melihat Petrus jatuh (kehendak umum Allah), namun dalam perspektif yang lain, yaitu perspektif global, keseluruhan rencana Allah (kehendak kedaulatan Allah) Ia melihat semua rancangan-Nya adalah baik adanya (Petrus justru lebih mengasihi Allah setelah kejatuhannya tersebut). Mengutip John Piper, berdasarkan perspektif lensa yang sempit (kehendak umum Allah) kejatuhan itu adalah sesuatu yang menyedihkan. Namun berdasarkan perspektif lensa yang lebar (kehendak kedaulatan Allah) semua yang terjadi dalam hidup kita, bahkan dalam dunia ini pada akhirnya akan menggenapi rencana Allah yang tidak mungkin gagal (Ayb. 42:2).

Demikian dalam kehidupan kita, jika kita hanya melihat kejadian demi kejadian berdasarkan perspektif yang sempit saja, kita tidak akan sanggup untuk bersukacita, bahkan tidak sanggup untuk beriman. Namun ketika kita mengingat bahwa Allah yang kita percaya adalah Allah yang berdaulat, yang mengontrol jalannya sejarah, kita memiliki kekuatan pengharapan di dalam sukacita Tuhan. Tanpa pengharapan akan Allah yang berdaulat, tidak ada sukacita senantiasa, yang ada adalah tenggelam dalam penderitaan demi penderitaan. Tentu ketika kita berbuat dosa dan kesalahan kita harus mengintrospeksi diri dan menyesali tindakan tersebut. Namun, bukankah memang penderitaan juga dapat diakibatkan oleh kesalahan orang lain? Dalam hal ini, sekali lagi kita harus berespon dan percaya kepada Allah yang berdaulat. Kepercayaan kepada Allah yang berdaulat sepenuhnya akan menolong kita untuk berpengharapan akan rencana Allah terhadap hidup kita, terhadap Gereja-Nya, terhadap seluruh alam semesta. Kita dapat belajar untuk bersukacita senantiasa dengan tidak melihat kepingan-kepingan hidup yang seringkali lebih merupakan nada sumbang dalam hidup ini, melainkan dengan percaya akan tenunan rencana Allah yang berdaulat yang menjadikan segala sesuatu indah pada waktu-Nya. Itu yang pertama.

Yang kedua, kita bisa mengerti apa itu sukacita yang sejati, sukacita yang tertinggi dengan memikirkan apakah kesengsaraan yang tertinggi dalam hidup manusia. Konsep sukacita atau kebahagiaan seseorang akan sangat bergantung dengan apa yang dia anggap paling sengsara dalam hidup ini (the deepest misery in our life). Jika kita mengatakan hidup paling sengsara adalah tidak memiliki cukup uang, maka bersamaan dengan itu kita akan menilai hidup yang paling bahagia adalah hidup yang memiliki banyak uang. Jika kita berpendapat hidup yang paling sengsara adalah tidak diterima oleh orang lain, maka seumur hidup mungkin kita akan mengejar penerimaan manusia (daripada penerimaan Tuhan). Jika kita berpikir yang paling menderita adalah tidak memiliki keturunan, maka kita akan meletakkan harapan kebahagiaan kita sepenuhnya pada anak-anak kita (yang nanti mungkin suatu saat akan mengecewakan kita). Jika kita berpikir tidak bisa beribadah dalam suatu gedung yang tetap adalah kecelakaan paling besar, maka kita akan meletakkan seluruh harapan untuk membangun gedung gereja yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Betulkah di situ letak sukacita yang sejati, yang paling tinggi?

Alkitab mengatakan bahwa kecelakaan paling besar dalam hidup manusia adalah manusia telah jatuh dalam dosa, ia hidup melawan Allah. Itulah kesengsaraan yang terdalam yang dialami oleh manusia. Bukan kurang uang, bukan tidak ada keturunan, bukan gelar kurang tinggi, jabatan kurang baik, tidak ada gedung ibadah, BBM naik, sekolah tidak cepat lulus, sakit yang tidak kunjung sembuh, tidak menjadi orang yang diterima oleh banyak orang dlsb. Bukan. Itu semua memang bisa merupakan penderitaan yang nyata terjadi di sekitar kita, namun itu bukan penderitaan yang terbesar. Penderitaan terbesar dalam hidup manusia adalah ia hidup berdosa melawan Allah. Jika demikian, maka sukacita yang sejati, yang tertinggi dalam hidup manusia adalah jika dosa-dosanya telah diampuni. Berita pengampunan, berita keselamatan dalam Injil adalah THE good news, ya, bahkan the best news. Apakah kita masih bisa mengagumi berita Injil ketika kita mendengarnya kembali? Atau hati kita sudah tidak tergerak lagi karena kita sudah tahu? Jika kita mengerti kehidupan yang paling menyusahkan adalah jatuh dalam dosa, maka kita pasti senantiasa bersukacita ketika menyadari kembali bahwa kita telah memiliki kemerdekaan atas kuasa dosa yang mengikat hidup manusia. Banyak orang-orang saleh yang diberkati Tuhan dengan heran memiliki kesamaan yang satu ini, mereka hanya takut satu hal saja, takut berbuat dosa di hadapan Tuhan. Mereka begitu serius menghadapi dosa. Dan bagi mereka tidak ada yang lebih menimbulkan kepedihan daripada hidup yang berdosa. Orang-orang seperti ini hidupnya pasti dikuasai oleh sukacita Injil. Injil yang bukan hanya mereka terima saat mereka bertobat dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, melainkan Injil yang mereka hidupi dalam hidup sehari-hari. Penderitaan apapun yang mereka alami senantiasa dianggap lebih kecil dan tidak dapat dibandingkan dengan sukacita yang mereka miliki karena Yesus Kristus telah membebaskan mereka dari dosa.

Yang ketiga, kita dapat senantiasa bersukacita dengan melatih diri mengucap syukur (Fil. 4:6). Kita bukan hanya bersyukur ketika doa kita dikabulkan, melainkan dengan ucapan syukur kita menyatakan segala keinginan kita kepada Allah dalam doa. Kita sudah bersyukur saat kita berdoa. Mengapa? Karena kita percaya bahwa Tuhan adalah Allah yang Mahatahu, Mahabaik dan Mahabijaksana. Dia tahu segala kebutuhan kita sebelum kita memohonkannya, Dia rindu untuk memberikan yang terbaik bagi kita, dan Dia mengetahui saat yang terbaik. Karena itu saya sudah dapat bersyukur sekalipun saya belum mengetahui jawaban doa yang akan diberikan Tuhan. Orang yang terus-menerus bersyukur hidupnya pasti penuh sukacita. Sementara orang yang selalu mengasihani diri, selalu mengharapkan orang lain mengerti, memperhatikan, mempedulikan dia, akan kehilangan kekuatan untuk melayani Tuhan. Seorang pianis terkenal, Arthur Rubinstein pernah berkata tentang dirinya: Saya adalah orang yang paling beruntung yang saya pernah kenal di dunia ini. Kita mungkin berpikir Orang ini GR, memuji-muji dirinya sendiri. Namun saya ingin membaca dan mengerti kalimat yang dia ucapkan secara positif: ia pasti adalah seseorang yang puas (content) dengan keberadaan dirinya. Dapatkah kita mengatakan kalimat yang serupa tentang diri kita sendiri: I am one of the most blessed person in this world? Atau kita justru lebih sering berpikir: Aku ini orang yang paling kasihan, paling menderita, paling sengsara, pokoknya paling-paling deh! Orang yang bersyukur hidupnya melimpah dengan sukacita dan dari situ ia siap untuk mengalirkan berkat bagi orang lain. Dalam peristiwa mujizat memberi makan lima ribu orang, Yesus Kristus mengucap syukur, mengucap berkat terlebih dahulu sebelum Ia memecah-mecahkan roti. Ia bersyukur, sekalipun hanya ada 5 roti dan 2 ikan. Dia menerimanya sebagai berkat dari Allah Bapa yang di sorga. Dan ucapan syukur itulah yang mengubah 5 roti dan 2 ikan menjadi berkat yang berkelimpahan yang siap untuk dibagi-bagikan mengenyangkan banyak orang. Itulah yang seharusnya terjadi dalam hidup kita sebagai orang percaya. Inilah kesaksian hidup orang percaya yang sekaligus merupakan salah satu keunikan: sukacita yang sejati. Dunia ini tidak mengenal sukacita itu, meskipun banyak orang yang tampaknya berbahagia (baca: bersenang-senang) dalam kehidupan yang berdosa. Jauh di lubuk hati mereka, ada suatu kekosongan, kehampaan yang menjerit untuk mengalami kebahagiaan yang sejati. Kita sebagai orang percaya dipanggil untuk menyaksikan kehidupan sukacita ini, justru di dalam kondisi jaman di mana semakin banyak penderitaan terjadi. Biarlah dunia mengenal bahwa Allah yang kita percaya adalah Allah yang sejati, yang berada dalam sukacita yang penuh, yang sanggup untuk membagikan sukacita tersebut kepada mereka yang percaya dalam nama-Nya. Kiranya Tuhan mengaruniakan kepada kita kehidupan yang sedemikian!

~ Lembar ke-2 ~

IF I WALK WITH THEE....
Kesaksian yang indah dari Diana, Jakarta.

Sejak di PHK dari perusahaan asing tempat saya bekerja, saya mencari nafkah dengan menjadi guru bhs Inggris di rumah. Murid saya dari bermacam-macam latar belakang, ada anak SMU, mahasiswa bahkan karyawan.

Salah satu murid saya, namanya Daniel. Dia termasuk anak yang tidak pandai. Nilainya selalu paling jelek. Tetapi dia anak yang rajin, tidak pernah putus asa. Kehidupan rohaninya pun cukup baik, dia rajin ke gereja dan rajin berdoa. Daniel belajar bhs Inggris karena dia ingin sekali bekerja di luar negeri. Walapun sebetulnya keluarganya sudah menganggap dia gila, karena keluarganya tahu bahwa dia bukan seorang anak yang pandai. Dan untuk bekerja diluar negeri pada perusahaan yang akan dilamar oleh Daniel, standar bhs Inggrisnya harus excellent. Jadi keluarganya selalu menyuruhnya untuk melupakan impiannya dan menyuruhnya bekerja di Indonesia saja. Apalagi biaya yg harus dikeluarkan oleh keluarganya lumayan besar untuk membiayai keberangkatannya. Tetapi Daniel tetap berusaha keras dengan belajar dan berdoa.

Kalau pada anak normal 3-5 bulan saya mengajar sudah terlihat kemajuannya, ibaratnya seekor burung, maka sudah bisa berkicau walaupun belum sempurna. Tapi Daniel ini, sudah 3-5 bulan kondisinya tetap saja "bisu", tidak ada satu katapun yang bisa dia katakan, yang membuat saya sukacita. Saya tetap dengan sabar mengajar dia, tapi sesudah 7 bulan tidak ada kemajuan yang berarti saya akhirnya mulai putus asa.

Saya mencoba berbicara dengan dia dari hati ke hati. Maksud saya supaya dia melupakan impiannya untuk bekerja di luar negeri karena kemampuannya belajar bhs Inggris sangat kurang, dan saya juga akan meminta dia untuk berhenti les dari saya, karena saya sungguh2 sudah putus asa. Saya kan juga tidak mau dibilang menerima uang les dengan cuma2 tanpa ada kemajuan dari sang murid.

Setelah saya utarakan semua uneg2 saya, saya melihat raut muka Daniel yang sedih, saya pun sedih ... bagaimana tidak, 7 bulan sudah menjadi murid saya dan saya minta dia untuk berhenti belajar karena saya putus asa. Tetapi jawaban Daniel sungguh "menampar" iman kepercayaan saya sebagai seorang Katolik yang percaya dan bergantung pada Yesus. Daniel berkata:"Ibu, kalau saya berjalan dengan Tuhan, saya percaya saya akan mendapatkan pekerjaan ini".

Saya sungguh malu, bagaimana tidak, Daniel seorang muda dan sudah mempunyai keyakinan iman yang menakjubkan. Saya berkata: "OK, you can joint my class again if you can say that words once again in a good English!" (baiklah, kamu boleh belajar lagi sama saya kalau kamu bisa mengatakan sekali lagi perkataanmu tadi dalam bhs Inggris yang baik) - ini dengan maksud bahwa kalau dia tidak bisa mengatakan dengan baik, maka saya mempunyai alasan untuk menyuruh dia berhenti belajar (dasar saya sudah putus asa). Tapi tidak saya sangka Daniel mengulangi perkataannya dengan bhs Inggris sempurna:"Mam, if I walk with Thee, I believe that I can get this job".

Rupanya perkataan ini selalu diulang2 Daniel untuk membangkitkan iman dia pada saat dia sendiri putus asa (makanya pada waktu saya minta dia mengatakannya dlm bhs Inggris dengan lancar dia berkata jadi bukan krn dia pintar, tetapi karena dia sudah hapal) Maka tidak ada alasan bagi saya untuk tidak mengajarnya lagi, setelah belajar selama 12 bulan, tibalah waktunya Daniel untuk maju interview di perusahaan asing tempat dia melamar. Saya sebetulnya tahu bahwa bhs Inggrisnya belum sempurna sekali dan masih dibawah standar yang ditentukan oleh perusahaan, tapi kemauan dan iman dia bahwa dia akan ditolong Tuhan membuat saya pun bisa melepas dia interview dengan hati besar. Pada hari dia interview saya berdoa terus, saya mohon kepada Tuhan agar Tuhan tidak mengecewakan Daniel yang sungguh bergantung pada Tuhan.

Siang jam 2, Daniel tilpon saya dan mengatakan dia LULUS! Puji Tuhan!! Saya menangis terharu, saya merasa pasti bahwa tangan Tuhan yang sudah menolong Daniel, bukan karena saya guru yang hebat, atau bukan karena kemampuan Daniel berbahasa Inggris. Tapi betul2 karena tangan Tuhan ... Saya minta dia datang ke saya dan menceritakan semuanya secara detail.

Ternyata si interviewer, yaitu orang asing yang seharusnya menginterview Daniel pada hari itu tidak ada, karena harus pulang kampung ke London karena ibunya meninggal, dan penggantinya adalah orang Indonesia yang nama keluarganya atau marganya sama dengan Daniel yaitu "Sianturi". Jadilah interview itu bukan bhs Inggris full, tapi seperti ngobrol ngalor ngidul campur2 bhs Inggris dan Batak

Saya PERCAYA bahwa ini bukan suatu KEBETULAN, yaitu KEBETULAN orang asingnya harus pulang kampung, dan KEBETULAN penggantinya "saudara sekampung" Daniel .... TAPI INI SUNGGUH MUJIZAT TUHAN!

Akhirnya, tentu saja Daniel lulus interview dan sekarang dia sudah bekerja di Miami. Setiap kali telepon saya, Daniel selalu saya ingatkan bahwa dia mendapatkan pekerjaan ini hanya karena kebaikan Tuhan, bukan kehebatan dia (karena dia memang bukan anak yang pandai) dan juga bukan kebetulan. Daniel menyadari itu dan selalu berkata: "Don't worry Mam, I always walk with Thee ..."

"Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepadaNya, dan Ia akan bertindak" Mazmur 37:5

~ Lembar ke-3 ~

Operator telepon, kesabaran, dan menyentuh hidup orang lain
Waktu saya masih amat kecil, ayah sudah memiliki telepon di rumah kami. Inilah telepon masa awal, warnanya hitam, di tempelkan di dinding, dan kalau mau menghubungi operator, kita harus memutar sebuah putaran dan minta disambungkan dengan nomor telepon lain. Sang operator akan menghubungkan secara manual.

Dalam waktu singkat, saya menemukan bahwa , kalau putaran di putar, sebuah suara yang ramah, manis, akan berkata : "Operator " Dan si operator ini maha tahu.

Ia tahu semua nomor telepon orang lain! Ia tahu nomor telepon restoran, rumah sakit, bahkan nomor telepon toko kue di ujung kota.

Pengalaman pertama dengan sang operator terjadi waktu tidak ada seorangpun dirumah, dan jempol kiri saya terjepit pintu. Saya berputar putar kesakitan dan memasukkan jempol ini kedalam mulut tatakala saya ingat ....operator!! Segera saya putar bidai pemutar dan menanti suaranya.

" Disini operator..."

" Jempol saya kejepit pintu..." kata saya sambil menangis . Kini emosi bisa meluap, karena ada yang mendengarkan.

" Apakah ibumu ada di rumah ? " tanyanya.

" Tidak ada orang "

" Apakah jempolmu berdarah ?"

" Tidak, cuma warnanya merah, dan sakiiit sekali "

" Bisakah kamu membuka lemari es ?" tanyanya.

" Bisa, naik di bangku "

" Ambillah sepotong es dan tempelkan pada jempolmu..."

Sejak saat itu saya selalu menelpon operator kalau perlu sesuatu. Suatu hari, burung peliharaan saya mati. Saya telpon sang operator dan melaporkan berita duka cita ini.

Ia mendengarkan semua keluhan, kemudian mengutarakan kata kata hiburan yang biasa diutarakan orang dewasa untuk anak kecil yang sedang sedih. Tapi rasa belasungkawa saya terlalu besar. Saya tanya : " Kenapa burung yang pintar menyanyi dan menimbulkan sukacita sekarang tergeletak tidak bergerak di kandangnya ?"

Ia berkata pelan : " Karena ia sekarang menyanyi di dunia lain..." Kata - kata ini - tidak tahu bagaimana - menenangkan saya.

Lain kali saya telpon dia lagi.

" Disini operator "

" Bagaimana mengeja kata kukuruyuk?"

Kejadian ini berlangsung sampai saya berusia 9 tahun. Kami sekeluarga kemudian pindah kota lain. Saya sangat kehilangan " Disini operator "

Saya tumbuh jadi remaja, kemudian anak muda, dan kenangan masa kecil selalu saya nikmati. Betapa sabarnya wanita ini. Betapa penuh pengertian dan mau meladeni anak kecil.

Beberapa tahun kemudian, saat jadi mahasiswa, saya studi trip ke kota asal. Segera sesudah saya tiba, saya menelpon kantor telepon, dan minta bagian " operator "

" Disini operator "

Suara yang sama. Ramah tamah yang sama.

Saya tanya : " Bisa nggak eja kata kukuruyuk "

Hening sebentar. Kemudian ada pertanyaan : "Jempolmu yang kejepit pintu sudah sembuh kan ?"

Saya tertawa. " Itu Anda.... Wah waktu berlalu begitu cepat ya "

Saya terangkan juga betapa saya berterima kasih untuk semua pembica raan waktu masih kecil. Saya selalu menikmatinya. Ia berkata serius : " Saya yang menikmati pembicaraan dengan mu. Saya selalu menunggu nunggu kau menelpon "

Saya ceritakan bahwa , ia menempati tempat khusus di hati saya. Saya bertanya apa lain kali boleh menelponnya lagi. " Tentu, nama saya Saly "

Tiga bulan kemudian saya balik ke kota asal. Telpon operator. Suara yang sangat beda dan asing. Saya minta bicara dengan operator yang namanya Saly. Suara itu bertanya:

" Apa Anda temannya ?"

" Ya teman sangat lama "

" Maaf untuk kabarkan hal ini, Saly beberapa tahun terakhir bekerja paruh waktu karena sakit sakitan. Ia meninggal lima minggu yang lalu..."

Sebelum saya meletakkan telepon, tiba tiba suara itu bertanya : "Maaf, apakah Anda bernama Paul ?"

"Ya "

" Saly meninggalkan sebuah pesan buat Anda. Dia menulisnya di atas sepotong kertas, sebentar ya....."

Ia kemudian membacakan pesan Saly :

" Bilang pada Paul, bahwa IA SEKARANG MENYANYI DI DUNIA LAIN... Paul akan mengerti kata kata ini...."

Saya meletakkan gagang telepon. Saya tahu apa yang Saly maksudkan.

Jangan sekali-kali mengabaikan, bagaimana Anda menyentuh hidup orang lain...!

~ Lembar ke-4 ~

BEKERJALAH SESUAI DENGAN KEMAMPUAN
Kedengarannya begitu sederhana; "Bekerjalah sesuai dengan kemampuan". Namun, dibalik kesederhanaannya, kalimat itu mengandung makna yang sangat dalam. Bagaimanapun juga, itu bukanlah cara lain untuk mengatakan; "Bekerja secara ala-kadarnya." Sama sekali bukan. Sebab, bekerja sesuai dengan kemampuan menyiratkan kesediaan untuk mencurahkan segenap kemampuan yang kita miliki dalam menjalani pekerjaan yang kita geluti. Begitu banyak orang yang berpotensi tinggi, namun bekerja alakadarnya. Sehingga, mereka tidak sampai kepada puncak prestasinya. Sebab, jika saja mereka bersedia bekerja sesuai dengan kemampuannya, maka pastilah mereka sudah bisa mencapai ketinggian nilai kemanusiaan dirinya. Alih-alih demikian, mereka membiarkan sebagian besar potensi dirinya tersia-siakan.

Salah satu tanda seseorang tidak bekerja sesuai kemampuan adalah ketika dia sekedar memenuhi job descripton yang diterima dari atasannya. Padahal, jobdes hanyalah sebuah alat untuk mendeskripsikan pekerjaan standard yang harus dilakukan seseorang. Sedangkan, kemampuan diri kita yang sesungguhnya seringkali jauh lebih tinggi dibandingkan jobdes itu. Sebentar, apakah anda yakin bahwa kemampuan anda yang sesungguhnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jobdes itu? Tentu saja, sebab anda pasti keberatan jika ada orang yang mengatakan bahwa kemampuan anda hanyalah pas-pasan saja, bukan? Harga diri anda menyebabkan anda begitu yakin bahwa kemampuan diri anda lebih tinggi dari jobdes itu. Pertanyaannya sekarang adalah; apakah anda bekerja berdasarkan jobdes, atau berdasarkan kemampuan yang anda miliki?

Jika seseorang bekerja berdasarkan kemampuannya – yang sudah pasti lebih tinggi dari jobdes itu – siapa yang diuntungkan? Perusahaan, tentu saja. Perusahaan untung karena orang itu bekerja melampaui harapan minimalnya. Tetapi, sesungguhnya bukan perusahaan yang paling diuntungkan, melainkan orang itu sendiri. Bayangkan saja, ketika dia bekerja melampaui jobdes-nya, atasannya senang. Perusahaannya senang. Lalu dia mendapatkan reward yang lebih baik daripada karyawan lainnya. Bahkan, jika keadaan memungkinkan, bisa jadi dia dipromosikan. Itu sudah menjadi hukum alami. Namun, mengapa begitu banyak orang yang enggan untuk bekerja melampaui jobdes-nya? Ini masih merupakan teka-teki.

Dibanyak lingkungan kerja, begitu banyak orang yang merasa puas dengan memenuhi tuntutan yang tertera dalam jobdes-nya. Padahal, bekerja sekedar memenuhi jobdes mengandung dua resiko besar. Pertama, resiko bahwa orang-orang lain yang lebih rajin akan mendapatkan prestasi kerja yang lebih baik dari kita. Sehingga mereka mendapatkan reward yang lebih baik. Mungkin mereka mendapatkan promosi hingga meninggalkan kita jauh dibelakang. Kedua, resiko bahwa Tuhan tidak terlalu menyukai kita. Sebab, Tuhan sudah menciptakan kita dengan sejumlah potensi diri yang begitu tinggi. Dan, orang yang bertanggungjawab kepada Tuhan memahami benar bahwa Tuhan mungkin kurang senang jika kita tidak memanfaatkan semua potensi diri itu. Oleh karenanya, misi hidup ini bukanlah sekedar memenuhi kewajiban melalui jobdes belaka. Melainkan mengaktualisasikan diri kita hingga bisa mencapai nilai paling luhur dari kualitas diri sebagai seorang manusia. Dengan cara itu, kita bisa mempersembahkan sebuah pencapaian yang outstanding. Berbeda jauh dibadingkan dengan kebanyakan orang lainnya.

Sayangnya, kita masih sering hitung-hitungan. Kontribusi kerja yang kita berikan kepada perusahaan dihitung sebatas sejumlah bayaran yang kita dapatkan. Lebih dari itu? No way. Perusahaan tidak memberikan posisi atau kompensasi yang cukup tinggi. Jadi, kenapa kita mesti berprestasi tinggi? Kita yang merasa punya potensi tinggi ini juga berpikir bahwa seharusnya perusahaan mempromosikan kita terlebih dahulu, supaya kita bekerja secara extra ordinary. Kita mempunyai kemampuan yang memadai untuk menyelesaikan suatu masalah. Dan menghasilkan kinerja yang jauh lebih baik lagi. Tetapi, karena perusahaan belum mempromosikan kita pada posisi itu, maka kita tunggu saja sampai perusahaan mempromosikan kita. Setelah itu, barulah kita melakukannya. Dan karena selama hidup kita tidak pernah dipromosikan kepada posisi yang kita inginkan itu, maka selama hidup itu pula kita tidak pernah benar-benar mengaktualisasikan potensi diri kita yang sesungguhnya.

Sekarang, mari kita cermati situasi dilingkungan kerja kita. Cukup banyak orang berpotensi yang membunuh karakter hebatnya sendiri. Mereka tidak puas dengan keputusan-keputusan perusahaan. Lalu mereka bekerja alakadarnya. Daripada menjadi pegawai yang tangguh dan tahan banting, mereka memilih untuk menjadi karyawan Teng-Go. Begitu bel jam kerja berbunyi, mereka langsung cabut. Padahal, mereka masuk
kerja pun datang terlambat. Mereka pikir, tak apa-apa karena jaman ini jalanan serba macet. Terlambat setiap hari bukan lagi soal penting. Pulang kerumah cepat-cepatlah yang paling penting. Makanya, datang terlambat – pulang cepat menjadi budaya baru dunia kerja kita saat ini. Pendek kata, boro-boro memasuki tatanan extra ordinary work, sekedar memenuhi standar minimal saja kadang-kadang kita kedodoran.

Mari kita bayangkan sebuah situasi dimana perusahaan harus memilih sebagian karyawan untuk dipertahankan, dan mendepak sebagian yang lainnya. Sekalipun membayangkan ini tidak menyenangkan, namun orang yang memilih untuk menjadi karyawan perlu bersiap-siap untuk kemungkinan seperti itu. Betapa banyak orang yang terlampau percaya ahwa hubungan kerjanya akan berjalan lancar-lancar saja. Sehingga, ketika berita buruk itu datang; mereka menjadi syok. Padahal, jika hal itu sudah diperkirakannya jauh-jauh hari, mungkin dampaknya tidak akan seburuk itu. Setidaknya mereka sudah mempunyai sekoci yang bisa digunakan sebagai alat penyelamat darurat. Namun, orang-orang yang bekerja sebatas memenuhi jobdes, tidak akan pernah memiliki kesiapan itu. Sedangkan mereka yang bekerja sesuai dengan kemampuan dirinya, akan mempunyai peluang lebih besar untuk dipertahankan oleh perusahaan. Sekalipun pada akhirnya perusahaan tidak lagi mampu mempertahankan mereka, namun setidak-tidaknya, mereka sudah berjuang hingga titik darah penghabisan.

Bahkan, mereka yang selama kehidupan kerjanya bersedia memeras segenap kemampuan diri yang dimilikinya, adalah orang-orang yang sudah teruji. Dan itu menjadi bekal alam bawah sadar yang sangat berguna baginya, jika suatu saat dihadapkan kepada situasi yang sulit. Sebab, orang-orang yang seperti itu, selalu bisa diadalkan. Baik oleh perusahaan, maupun oleh dirinya sendiri. Dan ternyata, untuk menjadi manusia yang mempunyai kualifikasi tinggi seperti itu; kita tidak harus bekerja mati-matian. Kita, hanya perlu bekerja sesuai dengan kemampuan. Sebab, bekerja sesuai dengan kemampuan bagi kita berarti; mempersembahkan pencapaian kerja yang berkualitas tinggi. Melalui seluruh potensi unggul yang telah Tuhan anugerahkan kepada kita.

~ Lembar ke-5 ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar