Minggu, 23 November 2008

EDISI 09 TAHUN 2009

SEPERTI TANAH
Bacaan: Matius 13:24-30

Hal Kerajaan Sorga itu seumpama orang yang menaburkan benih yang baik di ladangnya. - Matius 13:24

Tanah tidak pernah memilih benih. Tanah tidak mempedulikan apa yang bakal kita tanam. Jika kita menaburnya dengan benih padi, tanah akan merespon benih itu dan menumbuhkannya. Demikian juga jika kita menaburnya dengan rumput teki, gulma liar atau tanaman-tanaman pengganggu lainnya, tanah juga tidak mempedulikannya melainkan akan merespon benih itu dan menumbuhkannya juga.

Sebagaimana tanah akan merespon dan menumbuhkan setiap benih tanpa membeda-bedakan benih apakah itu, demikian juga halnya dengan pikiran kita. Pikiran kita seperti tanah yang akan menerima, merespon dan menumbuhkan hal apapun juga, tidak peduli hal yang baik maupun hal yang buruk. Tidak peduli itu membawa kita kepada keberhasilan atau sebaliknya membawa kita kepada kemerosotan.

Apa yang kita tanamkan dalam pikirkan akan sangat mempengaruhi kehidupan kita. Jika kita menanamkan ke dalam pikiran, perkataan-perkataan negatif seperti ini : aku tidak bisa, aku tidak mampu, ini tidak mungkin berhasil, aku sangat payah, aku memang ditentukan hidup miskin, aku akan kalah, dsb., maka hal-hal negatif tersebut akan direspon oleh pikiran kita dalam bentuk sikap dan tindakan, yang kemudian hasilnya akan menjadi sama persis seperti apa yang kita tanam. Sebaliknya jika kita menanamkan ke dalam pikiran, hal-hal yang positif, antusiasme, hal-hal yang benar, dsb., maka pikiran juga akan merespon hal tersebut ke dalam sikap dan tindakan kita sehingga akhirnya hidup kita menjadi berhasil.

Intinya, benih awal yang kita tanamkan ke dalam pikiran akan menentukan hasil akhir dari hidup kita. Itu sebabnya kita perlu hati-hati dan hanya akan menanamkan hal-hal yang positif saja dalam pikiran kita. Pikiran kita seperti komputer yang akan patuh dan siap melakukan tepat apa yang kita suruhkan. Jangan lupa bahwa pikiran kita tidak mempedulikan perintah apa yang kita berikan. Jadi, inilah alasan mengapa kita perlu memprogram pikiran kita dengan hal-hal yang positif.

Pikiran kita seperti tanah yang akan menerima semua benih dan menumbuhkannya. (Kwik)

~ Halaman 1 ~

TANAM DAN TUAI
Studi Tentang First Decree
Oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

“haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” (Ulangan 6:7)

Seorang guru sekolah begitu gemas mendengar seorang anak muridnya menyanyi sebuah lagu dengan notasi yang salah. Lalu, karena ia juga seorang guru seni suara, dia berusaha mengkoreksi murid tersebut. Dia memberitahu anak itu bahwa cara dia menyanyikan lagu itu salah, tidak seperti not yang seharusnya ketika lagu itu digubah. Pada mulanya anak itu membantah dan berkeras hati bahwa apa yang dia nyanyikan itu benar, karena sesuai dengan apa yang diajarkan oleh orang tuanya. Guru ini berusaha meyakinkan dan menunjukkan buku nyanyian yang ada notnya, dan memberi contoh menyanyikan lagu itu secara benar. Akhirnya, anak itu menyadari bahwa apa yang ia nyanyikan selama ini memang salah, dan ia mau belajar menyanyi lagu itu dengan benar. Anak itu mengikuti setiap not dari buku dan mencoba menyanyi dengan benar. Setelah berulang kali mencoba dan berjuang keras, akhirnya anak ini mulai bisa mengoreksi kesalahannya. Tetapi anehnya, setelah ia berdiam beberapa lama, kemudian mencoba lagi menyanyikan lagu itu, maka ia kembali menyanyi seperti yang pertama, yang salah, dan sulit lagi untuk mengoreksi ke yang benar. Perlu perjuangan lagi untuk mengingat lagi bagaimana menyanyi yang benar. Inilah masalah “dekrit pertama” atau yang lebih dikenal sebagai “first-decree” (FD).

“Dekrit Pertama Pendidikan” merupakan hal yang sedemikian penting di dalam kita mendidik dan mengajar anak. Namun, tema ini sangat sedikit dibicarakan dan dimengerti, khususnya oleh orangtua dan para insan pendidikan. Bahkan ketika disebutkan, sedikit orangtua atau para pendidik yang mengerti apa yang dimaksud dengan “first decree” atau “dekrit pertama” pendidikan ini. Seolah-olah hal ini bisa diabaikan begitu saja, dan tidak dipedulikan, karena adanya asumsi pendidikan bisa diproses sekehendak hati pendidik.

Apa itu First Decree (FD)?

First Decree adalah pengajaran pertama yang diterima oleh seorang (anak), yang tertanam, sehingga merupakan suatu konsep atau kebenaran asasi bagi dirinya. Semakin kecil anak itu, semakin banyak FD yang dimasukkan kepadanya. Saat itu begitu banyak kebenaran-kebenaran yang baru bagi dirinya, yang akhirnya membentuk paradigma kehidupannya. Contoh mengajar menyanyi seperti di awal tulisan ini adalah contoh yang paling sering dialami seorang anak. Tetapi bukan hanya itu. Jika seorang anak diberitahu bahwa warna hijau itu adalah biru dan warna biru adalah hijau, maka akan sulit untuk mengoreksi kesalahan konsep warna itu pada usia dewasa nanti. Setiap kali diberitahu bahwa itu bukan hijau, tetapi biru, ia akan mengiyakan, tetapi tidak lama ia akan kembali lagi menyebut warna itu sebagai hijau. Butuh perjuangan keras untuk betul-betul bisa berubah dan kembali kepada apa yang benar.

Pentingnya First Decree

Pertama-tama, FD sangat berpengaruh pada seluruh kehidupan seseorang, karena akan membentuk paradigma hidupnya. Banyak orang menganggap enteng FD, karena dianggap hal yang lumrah. Orang salah menyanyi, bagi kebanyakan orang, dianggap bukan hal serius. Apalagi di era postmodern seperti sekarang, maka relativitas dan semangat non-akurat menjadi ciri khas masyarakat pragmatis. Manusia tidak mau berjuang untuk mencari kebenaran secara akurat, dan puas dengan apa yang ia anggap benar, walaupun itu tidak benar. Akibatnya, ia sangat mudah tertipu, karena tidak terbiasa lagi untuk mencari hal-hal yang benar dan akurat.

Kedua, yang juga sangat bermasalah, kesalahan-kesalahan FD seringkali menyangkut aspek yang cukup sentral dalam kehidupan, seperti problematika iman (believe) dan pendekatan (approach). Dua aspek ini merupakan hal yang sangat serius. Ketika anak-anak di sekolah diajarkan bahwa semua agama sama, tidak perlu dibeda-bedakan, maka ia akan bertumbuh menjadi seorang relativis dan humanis. Ia tidak lagi melihat bahwa setiap agama itu unik, dan setiap agama pasti mengandung unsur klaim kemutlakkan sebagai kebenaran. Maka tidak mungkin semua agama sama. Di sini manusia sudah ditipu paradigmanya sejak kecil. Akibatnya, ketika ada orang yang mengatakan, “kita harus betul-betul secara serius memilah dan memilih agama atau iman yang benar,” ia akan segera menentang dan menunjukkan sikap tidak suka. Sangat sulit untuk merubah konsep dasar seperti ini. Banyak sekali FD yang ditanamkan secara salah kepada seseorang, yang akhirnya membuat orang tersebut mudah sekali jatuh ke dalam dosa, atau mudah sekali tertipu oleh orang jahat, ataupun sangat sulit mengerti kebenaran Firman Tuhan.

Ketiga, seperti telah disinggung di butir pertama dan kedua, kita segera bisa melihat bahwa FD begitu penting, karena bukan menyangkut satu permasalahan tunggal, tetapi akan mempengaruhi orang lain, karena apa yang kita tanamkan akan menjadi keyakinan di dalam diri orang itu, dan dia akan memakainya untuk meyakinkan orang lain lagi. Seorang yang mendapatkan pendidikan yang salah di masa kecil, maka ia akan menganggap hal itu sebagai kebenaran, dan ia akan meyakinkan orang lain akan hal itu. Seorang yang dari kecil dididik bahwa tidak ada Allah, maka ia akan berusaha meyakinkan orang lain, bahwa memang tidak ada Allah. Hal ini terpaksa ia lakukan, karena ia tidak ingin apa yang ia yakini akhirnya terbukti salah. Maka ia akan berusaha sekuat tenaga agar membuat semua orang setuju dengan pemahamannya, yang sebenarnya salah.


Penanaman First Decree Pada Anak

Setelah kita menyadari akan betapa pentingnya penanaman FD pada anak khususnya, maka kita perlu memikirkan beberapa hal di dalamnya.

1. Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat produktif untuk menangkap semua pengetahuan dan pengertian. Konsep-konsep penting dalam kehidupan manusia dimulai dari masa kanak-kanak. Di situlah seorang anak membangun seluruh paradigma hidupnya kelak. Maka, para ahli setuju bahwa usia “balita” (di bawah lima tahun), merupakan waktu yang sangat krusial untuk menanamkan nilai-nilai pada anak. Tetapi bukan sekadar nilai-nilai, iman Kristen melihat pentingnya menanamkan iman itu sendiri. Iman yang sejati adalah basis kemutlakan yang sangat dibutuhkan oleh anak untuk menjadi kompas hidupnya. Jika dasar imannya diletakkan pada dirinya sendiri, seumur hidup ia akan menghancurkan dirinya.
2. Penanaman FD yang benar pada anak akan membangun keutuhan integritas hidupnya. Hal ini sangat penting di dalam menggarap pertumbuhan anak yang sesuai dengan kebenaran Tuhan. Kita percaya, jika seseorang dibangun dengan pemikiran yang pragmatis dan duniawi, maka di dalam dirinya ada suatu “faktor perusak” (defeating factor) yang akan meledakkan dirinya di suatu saat kelak dalam hidupnya. Hidup yang terbangun di dalam kebenaran Firman akan membuat seluruh hidup akan terintegrasi secara baik. Hidup sedemikian akan membangun moralitas dan kehidupan yang mulia di masa depan. Alkitab mencatat bagaimana Musa dari kecil dididik oleh ibunya dengan Firman, maka ia tidak tergeser imannya ketika menjadi anak angkat puteri Firaun (Tong, 1991, hlm. 21). Di dalam kehidupan bergereja, seorang anak yang terbangun dengan FD yang baik akan sangat mudah dipertumbuhkan, karena tidak mengalami konflik yang terlalu banyak di dalam dirinya. Seorang anak yang dibangun dengan FD yang salah, akan mengalami konflik untuk dibawa kembali kebenaran, dan membutuhkan perjuangan berat untuk melakukan koreksi. Inilah yang banyak dialami oleh setiap kita sebagai orang percaya, yang mendapatkan pengajaran atau penanaman FD yang salah di masa lalu.
3. Seorang anak yang kita tanam dengan FD yang baik, akan sangat menghemat waktunya untuk bertumbuh. Ada banyak waktu yang terbuang di dalam pertumbuhan seseorang ketika ia harus banyak sekali mengoreksi konsep-konsepnya yang salah. Itupun terkadang masih harus berhadapan dengan banyak kendala, akibat kesulitan orang-orang yang mau mengoreksi atau menolong dia.

Peranan Orangtua dan Guru

Dua pemeran penting di dalam penanaman FD adalah orangtua dan guru. Tuhan menyerahkan tugas tanggung jawab yang sangat berat kepada orangtua untuk menanamkan konsep-konsep kebenaran Firman Tuhan kepada anak-anak sejak usia dini. Firman Tuhan di awal makalah ini mengajarkan bagiamana orangtua harus secara intens mengajarkan kebenaran firman kepada anak-anak. Mereka harus mengerti kebenaran dari sejak dini. Jika mereka diajarkan hal yang salah, akan sangat sulit dan dibutuhkan perjuangan yang sangat berat untuk mengoreksi kebenaran.

Sangat disayangkan saat ini, kedua peran penting ini begitu banyak diabaikan. Banyak orangtua dengan tanpa rasa bersalah menyerahkan tugas penanaman FD kepada pembantu atau suster yang memelihara anaknya. Ia tidak melihat bahwa penanaman FD akan berdampak seumur hidup, sementara sang pembantu suatu saat akan meninggalkan anak itu dan tidak pernah bertanggungjawab atas apa yang ia tanam. Seorang filsuf dan pendidik yang luar biasa (Prof. Nicholas Wolterstroff, Ph.D., ed.) bersaksi, ”...begitu indahnya penanaman pengalaman kehidupan Kristen di dalam keluarga yang begitu saleh, menjadi dasar kehidupan seseorang sepanjang hidupnya kemudian.” (Wolterstroff, 2002, hlm. 10-11)

Demikian pula begitu banyak guru yang berpikir bahwa dia hanya seorang yang mencari sesuap nasi (dan semangkuk berlian—ed.), membagi pengetahuan yang ia tahu tanpa pertanggungjawaban bagaimana ia sedang menggarap satu pribadi manusia, yang nantinya akan membawa konsep itu seumur hidupnya. Seolah-olah tugas guru hanyalah satu dari sekian banyak profesi yang lain.

Orangtua dan guru harus sungguh-sungguh menyadari bahwa tugas menanam FD yang baik dan benar merupakan tanggung jawab besar yang Tuhan percayakan kepada Anda. Tugas ini begitu mulia karena membentuk paradigma, karakter, dan khususnya iman dari anak-anak yang Tuhan percayakan kepada kita. Seorang guru sekolah minggu yang sungguh-sungguh mengasihi dan mendidik anak-anak dengan baik, sampai ia dicintai oleh anak-anak, pastilah ia tidak akan menjadi hamba Tuhan yang gagal (Tong, 1991, hlm 19). Seorang guru yang baik, pastilah akan dikenang dan dihormati oleh murid-muridnya kelak. Pdt. Dr. Stephen Tong menegaskan bahwa guru yang baik adalah yang dia sendiri telah menjadi murid kebenaran (Tong, 1993, hlm 69).

Penutup :
Jika selama ini kita tidak peduli dengan First Decree, mungkin karena kurangnya pengetahuan dan pengertian akan pentingnya tugas ini, kiranya kini kita boleh lebih secara serius memikirkan dan mengaplikasikan di dalam pendidikan kita. Jika selama ini kita tidak terlalu peduli akan pentingnya keakuratan akan kebenaran dan membiarkan semua pragmatis, kini kita perlu mulai memikirkan bahwa kebenaran harus dibedakan dari ketidakbenaran. Kita harus menanamkan FD yang paling benar, yang akurat, yang sesuai dengan Firman Tuhan. Seperti Pdt. Dr. Stephen Tong tegaskan, “kebenaran itu bukanlah pengetahuan, tetapi kekuatan” (Tong, 1993, hlm. 41).

Jika selama ini kita tidak melihat pentingnya peran orangtua dan guru dalam menanamkan FD, kini kita perlu bertobat dan berbalik untuk menebus kesalahan kita dengan sungguh-sungguh menggarap panggilan mulia ini di dalam panggilan pendidikan Kristen yang benar. Soli Deo Gloria.

~ Halaman 2 ~

MENTAL KAKI GUNUNG

BILANGAN 13:30-31
30] “Kemudian Kaleb mencoba menenteramkan hati bangsa itu di hadapan Musa, katanya: "Tidak! Kita akan maju dan menduduki negeri itu, sebab kita pasti akan mengalahkannya! "
31] Tetapi orang-orang yang pergi ke sana bersama-sama dengan dia berkata: "Kita tidak dapat maju menyerang bangsa itu, karena mereka lebih kuat dari pada kita."

Beberapa tahun lalu saya ikut tour ke LOMBOK, dan sempat transit di daerah DIENG, dengan tujuan untuk menyaksikan sunrise di puncak gunung BROMO. Bagi yang mau berangkat, kami sudah harus siap dijemput jam 2 subuh dengan menggunakan colt atau jeep. Dari total peserta 42 orang, hanya sekitar 25 orang yang mau berangkat, yang lainnya lebih memilih untuk tidur di hotel. Perjalanan menuju kesana, bukan perjalanan yang menyenangkan, kami harus melewati kelokan yang tajam dan sempit, Tibalah kami di suatu tempat yang namanya TANJANGAN, dimana kami bisa melihat sunrise “WOW, amazing” (anda harus datang sendiri kesana untuk melihatnya), perjalanan kemudian dilanjutkan hingga di padang pasir (kalau bisa dikatakan demikian) karena memang di sekelilingnya hanya ada pasir. Kendaraan hanya berhenti di kaki gunung dan untuk ke puncak gunung harus menggunakan kendaraaan yang berbeda, ada 2 alternatif yang bisa kami gunakan jalan kaki atau naik kuda (inilah yang saya gunakan) lalu menaiki +-150 anak tangga. Tour leader mengatakan bahwa diatas gunung terdapat kawah dan dari sana bisa melihat view yang sangat indah Setelah mendengar berita itu, sebagian dari rombongan kami, memutuskan tidak berangkat, mereka lebih memilih untuk berada di kaki gunung.

Kami akhirnya berangkat dengan naik kuda dengan didampingi kusir, pak kusir berada di samping kami dan menuntun kuda tersebut supaya tidak terperosok. Saat berangkat ke puncak gunung tidak terlalu tegang walau pun agak tegang juga karena saya belum pernah naik kuda ditambah pelananya yang keras, namun saya masih bisa menikmati perjalanan. Tiba di kaki puncak, kami turun dari kuda, menarik nafas dan melihat ke puncak gunung. Saat melihat ke arah sana, beberapa rekan berkata, “Wah tinggi banget, aku tidak akan bisa naik kesana. Mana udaranya tipis begini, bikin nafas jadi sesak.” Memang, makin tinggi permukaan bumi, udara semakin tipis dan bisa membuat nafas kita pendek.”

Perkataan rekan ini, tidak menyurutkan semangat kami. Saya dan beberapa orang tetap memutuskan untuk menaiki anak tangga itu. Hingga akhirnya……… kami sampai di bibir kawah di puncak gunung BROMO, semua keletihan, nafas yang tersenggal-senggal tidak kami rasakan. Yang kami rasakan adalah sukacita karena kami mampu menyelesaikan perjalanan ini. Dan benar seperti perkataan tour leader, bahwa dari puncak gunung kita dapat melihat view yang lebih indah dari TANJAKAN di bawah tadi. Setelah jepret sana jepret sini, kami menuruni tangga dan bertemu beberapa orang yang akhirnya memutuskan untuk mengikuti jejak kami. Singkat kata, kami sampai di kaki gunung dan segera naik ke colt untuk kembali ke hotel. Ternyata…. mobil kami adalah yang paling terakhir berangkat, karena mereka menunggu kami yang naik ke puncak gunung. Di dalam kendaraan, kami bercerita dengan hebohnya dan itu membuat beberapa orang “iri” dan “menyesal” karena mereka tidak ikut bersama kami naik sampai ke puncak. Dan yang paling “iri” adalah mereka yang memutuskan untuk tinggal di hotel. Sayang sekali…. Mereka melewatkan moment yang sangat indah, karena mereka tidak akan memiliki kenangan yang sama. Mungkin mereka akan datang lagi ke BROMO, tapi tentunya dengan suasana yang berbeda, karena rekan-rekannya sudah berbeda.

Dari ilustrasi di atas, apakah anda mendapat sesuatu ?
Tuhan memberikan banyak kesempatan pada kita dan memberikan kita kebebasan untuk memutuskan pilihan mana yang akan kita pilih. Namun seringkali kita tidak mau melangkah untuk masuk rencana TUHAN dan memilih untuk hidup dalam zona nyaman. Seperti rekan-rekan saya yang memutuskan untuk tinggal di hotel, mereka tidak merasakan serunya selama perjalanan itu, demikian juga mereka yang memutuskan untuk berhenti di kaki gunung bahkan di kaki anak tangga. Padahal perjalanan mereka tinggal satu langkah lagi menuju puncak dan mereka dikalahkan oleh diri mereka sendiri, oleh mental mereka yang berkata saya tidak mampu dan tidak sanggup.

Menurut anda, sebenarnya mereka mampu untuk mencapai puncak atau tidak ?

Mungkin ada yang berkata tidak, ragu-ragu dan ada juga yang berkata mampu. Saya akan berkata mereka mampu, sama seperti kami yang mampu mencapai puncak gunung.

Tapi kenapa mereka tidak mampu menyelesaikannya ?
1. FOKUS PADA MASALAH
BILANGAN 13:28, “Hanya, bangsa yang diam di negeri itu kuat-kuat dan kota-kotanya berkubu dan sangat besar, juga keturunan Enak telah kami lihat di sana.”
Ada 4 tipe orang dalam rombongan kami :
1. tetap tinggal di hotel
2. tinggal di kaki gunung
3. tinggal di kaki anak tangga
4. sampai ke puncak
Sebagian besar memutuskan untuk tinggal di hotel karena cuaca yang sangat dingin dan harus bangun subuh-subuh. Hal inilah yang membuat enggan sebagian peserta. Peserta yang hanya sampai di kaki gunung dan berhenti karena mereka melihat betapa tinggi nya gunung itu dan mengukur diri sendiri dan menyatakan tidak mampu untuk mencapainya. Yang sungguh disayangkan adalah rekan-rekan saya yang hanya tinggal di kaki anak tangga, tinggal selangkah lagi mereka menuju puncak. Tapi mereka tidak mau, karena mereka berkata kaki mereka pegal bila harus menaikinya.

Dan yang paling sukses sampai ke puncak adalah group kami, saat kami sharring di kendaraan, “Kenapa kami bisa sampai di puncak?” Jawaban kami adalah sama, dalam benak kami hanya tertuju pada satu titik yaitu puncak gunung BROMO, apapun rintangannya itu tidak membuat kami mundur. Sekalipun mungkin harus terjatuh dari kuda (itu kesaksian rekan saya karena dalam perjalanan naik dan turun, rekan saya ini selalu jerit-jerit ketakutan). Dia katakan “ Itu semua tidak sebanding dengan hadiah yang akan kita terima saat kita berada di puncak gunung.” Dalam hati, kami pun meng “amin” kan, karena kami pun mengalami hal yang sama dan kenangan itu akan kami ingat selamanya.
Banyak orang tidak mampu menghadapi masalah, karena mereka selalu mengukur masalah yang ada di depan mata dengan ukuran dirinya sendiri. Saat diberi tanggung jawab yang besar, dia tidak mampu menyelesaikannya dan bahkan melemparkan tanggungjawab itu kepada orang lain.

MASALAH, SESUNGGUHNYA ADALAH TEMPAT PELATIHAN BAGI MANUSIA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN DAN KEAHLIAN BAGI DIRINYA SENDIRI.

Saudaraku, janganlah berdoa meminta TUHAN untuk melakukan masalah dari hadapan anda, tapi mintalah kekuatan dari TUHAN untuk memampukan anda mengatasi masalah itu. Anda akan melihat bahwa saat anda sudah mampu melewati, masalah itu menjadi tidak ada apa-apanya. Karena apa, karena anda sudah melewatinya.

2. MERASA TIDAK DAPAT MAJU
BILANGAN 13:31-33, “Tetapi orang-orang yang pergi ke sana bersama-sama dengan dia berkata: "Kita tidak dapat maju menyerang bangsa itu, karena mereka lebih kuat dari pada kita."
13:32 Juga mereka menyampaikan kepada orang Israel kabar busuk tentang negeri yang diintai mereka,……..”

Orang yang selalu mengukur diri tidak dapat maju, ibarat pepatah mengatakan “ seperti katak dibawah tempurung”, orang yang seperti ini adalah orang yang pesimis menganggap dirinya tidak dapat maju untuk melawan masalah, akibatnya tidak berkembang dan selalu hidup di masa lalu. Orang yang seperti ini, selalu merasa masalah lebih besar dari dirinya sendiri dan merasa dirinya tidak berdaya untuk menghadapinya.

Saat kami menuruni anak tangga, kami bertemu dengan seorang oma dari group kami. Dengan perlahan tapi pasti, beliau menaiki satu per satu anak tangga itu. Sesampainya di kaki gunung, kami harus segera naik colt, tapi ternyata masih ada beberapa peserta yang belum sampai. Tiba-tiba, oma ini menyeruak masuk dan berkata “Oma sangat bahagia bisa mencapai puncak gunung itu, walau harus berjalan perlahan-lahan. Oma yakin bisa sampai, tadinya oma hanya berniat tinggal di kaki anak tangga. Tapi oma terinspirasi oleh kalian dan oma memutuskan untuk naik.”

Untuk maju, janganlah terpaku pada usia, gender, suku bangsa, warna kulit, etc. Semuanya itu, diciptakan iblis untuk mematikan potensi diri anda dan mematikan diri anda sebagai manusia utuh. TUHAN menciptakan anda dengan segenap kemampuan untuk berkuasa atas bumi ini dan juga untuk mengatasi setiap masalah yang timbul. PERCAYA DAN MELANGKAHLAH ! Karena anda punya ALLAH yang luar biasa, yang memampukan anda untuk melakukan perkara-perkara yang luar biasa, diluar pikiranmu. Buktinya oma ini mampu untuk mencapai puncak gunung dalam usia 67 tahun. Karena beliau yakin, bahwa dirinya mampu naik ke puncak gunung.

3. BERSUNGUT-SUNGUT
BILANGAN 14:2, “Bersungut-sungutlah semua orang Israel kepada Musa dan Harun; dan segenap umat itu berkata kepada mereka: "Ah, sekiranya kami mati di tanah Mesir, atau di padang gurun ini!
14:3 Mengapakah TUHAN membawa kami ke negeri ini, supaya kami tewas oleh pedang, dan isteri serta anak-anak kami menjadi tawanan? Bukankah lebih baik kami pulang ke Mesir?"
Bersungut-sungut alias ngomel adalah salah satu ciri orang pesimis. Selalu memperkatakan dan memperbesar masalah dengan maksud untuk mencari perhatian orang lain dan tidak puas dengan diri sendiri.

Orang yang seperti ini tidak pernah menemukan kepuasaan dalam hidupnya, Karena selalu membandingkan dirinya dengan orang lain, membandingkan masa sekarang dengan masa lalu dan menyalahkan keadaan sekelilinnya.

4. MENYALAHKAN TUHAN
BILANGAN 14:3, “Mengapakah TUHAN membawa kami ke negeri ini, supaya kami tewas oleh pedang, dan isteri serta anak-anak kami menjadi tawanan? Bukankah lebih baik kami pulang ke Mesir?"

5. MENGKRITIK
Dan inilah salah satu momok yang sering tidak disadari oleh kebanyakan orang yaitu “suka mengkritik”. saat ada orang baru ditempat kita bekerja dan dalam tempo singkat langsung menempati posisi penting, langsung kita kasak kusuk dan menuding yang bukan-bukan KKN lah, menjilat lah, etc. Atau seringkali kita mengkritik pimpinan/atasan kita baik di perusahaan maupun di gereja.

Bedakan antara mengkritik dan kritis. Kritik lebih cenderung menjatuhkan seseorang dengan mencari titik-titik kelemahannya. Sedangkan kritis lebih difokuskan pada mencari jalan keluar dari kelemahan-kelemahan yang ditemukan. Kritik lebih bersifat negative sedangkan kritis lebih bersifat membangun.

Dulu saya adalah orang yang suka mengkritik, saat menemukan hal yang tidak sesuai dengan keinginan hati atau kelihatan aneh di depan mata, kritikan itu langsung mengalir dengan pedas. Apapun yang di depan mata selalu saya komentari, entah itu wajah seseorang, cara jalan, cara makan, cara kerja, cara berpakaian, etc dan itu membuat pergaulan saya terbatas. Suatu hari, ROH KUDUS menyingkapkan pikiran bahwa saya adalah orang yang perfeksionis dan akar permasalahan ada pada diri saya bukan orang lain. Saya menggunakan standar tinggi untuk menilai diri sendiri dan orang lain dan menuntut mereka untuk melakukannya, yang tentu saja tidak mungkin terwujud secara sempurna. Saya menjadi sangat kecewa dan melampiaskannya dengan mengkritik habis-habisan.

ROH KUDUS mengajar saya untuk menerima setiap orang apa adanya, sama seperti TUHAN yang menerima diriku apa adanya demikian juga saya harus memperlakukan setiap orang sama seperti TUHAN memperlakukan saya.

Ingatlah akan hal ini, TUHAN telah menciptakan manusia-manusia pemenang yaitu anda dan saya. Namun keputusan untuk menjadi siapa dan apa anda di masa yang akan datang, itu di tangan anda bukan di tangan TUHAN. Berjalan bersama TUHAN seakan-akan menakutkan, penuh kesulitan, rintangan, kekeringan, marabahaya. Tapi percayalah, tangan TUHAN tetap menyertai anda, DIA tetap menyertai, menjaga dan mencukupkan semua kebutuhan anda.

PS:
- Orang yang bermental kaki gunung tidak akan mampu melihat penggenapan rencana TUHAN dalam hidupnya.
- Orang yang bermental kaki gunung adalah orang yang hidup di masa lampau, yang hidup penuh dengan nostalgia, baik mengenai pelayanan, kepahitan, kegagalan, prestasi, kesuksesan, kekayaan, etc.
- Orang yang bermental kaki gunung adalah orang-orang yang telah mati secara rohani walaupun secara fisik masih hidup, masih aktif pelayanan tapi secara rohani sudah mati.
- Orang yang bermental kaki gunung adalah orang-orang yang lebih menyukai tata cara, system, liturgi yang berkaitan dengan TUHAN daripada pribadi TUHAN itu sendiri.
- Orang yang bermental kaki gunung adalah orang yang berada di dua sisi, ingin ikut TUHAN dengan tetap mengandalkan kekuatan sendiri. Dan orang yang mendua hati tidak akan tenang hidupnya.
- KUATKAN DAN TEGUHKAN HATIMU !
Tuhan memberkati !

~ Halaman 3 ~

Senin, 17 November 2008

EDISI 08 Tahun 2009

GAMBARAN YANG UTUH

Efesus 3:20
Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.


Suatu pagi aku mempunyai janji pertemuan, dan aku sudah terlambat. Setelah behenti di lampu merah di belakang beberapa kendaraan, laMpu hijau akhirnya menyala. Tetapi, kami tidak bergerak. Aku melongok untuk melihat apakah yang terjadi. Sebuah kendaraan memutar dan menghalangi mobil lain. Aku melihat jarak yang cukup jauh antara moil itu dan mobil di depannya. Jika saja mobil itu bergerak, tentu kami bisa lewat tadi, kataku kesal.

Saat mobil itu bergerak, aku baru tahu kalau ternyata mobil itu adalah truk peti kemas yang panjang. Kalaupn sopir truk itu mendekati kendaraan di depannya, peti kemasnya tetap menghalangi jalan. Aku hanya melihat sebagian dari keadaan seluruhnya.

Setelah peristiwa itu, aku bertanya-tanya, berapa kali aku mengambil keputusan berdasarkan apa yang kulihat, tanpa meminta Allah menyingkapkan gambaran utuhnya. Aku berpikir tentang masa di mana Allah seolah tidak menjawab doa atau menanggapi secara berbeda dari sesuatu yang tampak logis bagiku.

Allah melihat gambaran secara utuh, dan bertindak dalam hidupku berdasarkan sudut pandang yang lebih luas dariku. Aku telah belajar untuk tidak membuat keputusan berdasarkan sudut pandangku yang terbatas, tetapi percaya kepada Allah, yang dapat melihat melampaui apa yang dapat kita lihat.

~ Halaman 1 ~

KEBENARAN PARADOKS

oleh: Pdt. Effendi Susanto, S.Th. (gembala sidang GRII Sydney yang meraih gelar Sarjana Theologi dari Seminari Alkitab Asia Tenggara—SAAT Malang

Nats: 2 Kor.6:1, 9-10; Fil.4:6-7; Kis.20:35

Paulus menasehatkan jemaat Korintus, ”... jangan membuat menjadi sia-sia kasih karunia Allah yang telah kamu terima” (2 Kor. 6:1). Jangan jadikan kosong semua yang sudah engkau terima dengan berlimpah dalam hidupmu. Selanjutnya di ayat 9-10 Paulus mengatakan dirinya ”...sebagai orang yang tidak dikenal namun terkenal, sebagai orang yang dihajar namun tidak mati, sebagai orang berdukacita namun senantiasa bersukacita, sebagai orang miskin namun memperkaya banyak orang, sebagai orang tidak bermilik sekalipun memiliki segala sesuatu.”

Kali ini saya mau berbicara mengenai kebenaran paradoks. Dalam 2 Kor.6:1 saudara menemukan kebenaran paradoks ini. Paulus ingatkan kita agar jangan menjadi orang Kristen seperti ini, terima banyak kasih karunia, tetapi makin terima makin merasa kosong. Kata Yunani yang Paulus pakai “kenos” (kosong) dan “kharis” (anugerah). Inilah paradoks. Ada orang yang makin terima banyak, makin hidup kosong. Tetapi sebaliknya dengan hidup Paulus, dia miskin tetapi memperkaya banyak orang. Ada orang Kristen seperti itu, orang yang tidak punya apa-apa, tetapi hidupnya menjadi kelimpahan yang tidak habis-habis bagi orang lain. Namun ada orang terus terima berkat, makin terima makin merasa tidak ada. Kenapa bisa seperti itu?

Dua ayat yang kita baca kali ini menyatakan sesuatu hal yang sangat menarik. Paulus mengatakan “damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiranmu..” (Fil. 4:7). Dan Paulus mengutip kalimat Tuhan Yesus “Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima” (Kis. 20:35). Saya sangat suka dengan dua ayat ini karena bagi saya kedua ayat ini menjawab dua kebutuhan yang paling penting dan paling mendasar dalam hidup manusia. Kalau ditanya dengan jujur apa yang menjadi kebutuhan kita yang paling mendasar? Mungkin ada orang bilang makan, minum, sandang pangan, dsb. Tetapi pada waktu kita lebih dalam merenungkan kebutuhan yang paling mendasar, kita akan setuju urutan pertama dan urutan kedua adalah peace and happiness menjadi kebutuhan kita yang paling penting. Mau hidup punya damai sejahtera? Paulus mengatakan, let the peace of God beyond understanding will guard your heart and mind. Mau hidup punya bahagia? Paulus mengatakan, lebih berbahagia memberi daripada menerima.

Mengapa kita seringkali hidup seperti ini, sudah terima begitu banyak kasih karunia Tuhan, sudah terima begitu banyak berkat Tuhan, Paulus bilang hidupmu makin kosong? Saya percaya banyak di antara kita ingin hidup damai dan bahagia, tetapi saudara juga setuju betapa sulitnya damai dan bahagia itu terjadi di dalam hidup kita. Kita merasa damai sejahtera dan bahagia itu cepat sekali menguap dari hidup kita. Apa yang salah di sini?

Letak kesalahannya adalah karena banyak orang Kristen tidak menerima kebenaran paradoks ini menjadi kebenaran yang penting dalam hidupnya. Kita terlalu sering berpikir secara linear dan secara sebab akibat. Kita seringkali berpikir secara logis. Jarang kita berani menerima kebenaran itu sebagai kebenaran paradoks. Paradoks bukan berarti kontradiktif. Kontradiksi merupakan dua hal yang sama sekali berbeda dan bertentangan dan tidak mungkin bisa dipersatukan. Sedangkan paradoksa adalah sesuatu yang nampaknya bertentangan tetapi tidak bertentangan. Orang miskin, secara logis pasti kita anggap orang itu hidupnya susah. Sakit, kita anggap orang itu kehilangan sukacita dan damai sejahtera. Berada di dalam penjara, dihina, dianiaya, dan kehilangan dignitas, mana mungkin bisa hidup dalam damai sejahtera? Gampang sekali damai sejahtera itu hilang kalau kita menganggap kalau kekayaan, kelimpahan, kesehatan, kelancaran itu menjadi penyebab orang bahagia dan punya damai sejahtera. Pada waktu semua itu tidak tercapai dan tidak terjadi, kita menjadi stress dan kalang kabut. Itu sebab Paulus mengatakan let the peace of God beyond understanding will guard your heart and mind. Secara logis, tidak ada damai sejahtera di dalam kondisi seperti itu, bukan? Paulus membuktikan damai sejahtera itu ada.

“Janganlah kamu kuatir tentang apapun juga tetapi serahkanlah dalam doa dan ucapan syukur… maka damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiranmu.” Kalimat Paulus dalam terjemahan bahasa Inggris memakai kata “care-ful”, jangan terlalu banyak care. Terlalu banyak care membuat hidupmu menjadi kuatir. Tidak berarti kita dipanggil untuk menjadi “careless” dan tidak mau memikirkan apa-apa. Tetapi Paulus mengangkat aspek lain di sini. Kalau kita careful too much, itu akan membuat kita menjadi anxiety. Segala sesuatu yang terlalu lebih ataupun terlalu kurang, dua-duanya salah.

Peace itu bisa hilang karena kita terlalu memasukkan kuatir itu ke dalam pikiran kita. Pada waktu saudara dan saya bicara bagaimana kita bisa mengontrol kekuatiran kita, bagaimana kita bisa mengatasi anxiety dan kesulitan serta problema yang muncul dalam hidup kita, rata-rata orang akan memberikan jawaban seperti ini: kalau kita sanggup mengontrol pikiran dan hati kita, think positively, jangan memasukkan pikiran yang negatif, jangan kuatir berlebihan, dsb. Itu merupakan jalan keluar yang sering diberikan kepada kita. Dari sisi psikologi kita dianjurkan berpikir positif dan mengontrol pikiran. Dari sisi mistik Timur maka banyak orang mencari damai dan ketenangan dengan menggunakan teknik yoga dan meditasi. Sebenarnya intinya dua: bisa mengontrol pikiran atau menghilangkan pikiran. Tetapi semuanya berkaitan dengan pikiran saudara. Itu adalah cara berpikir linear, cara berpikir yang bersifat sebab akibat.

Hidup ini penuh dengan kesulitan dan kompleksitas. Namun selama kita tahu kita masih bisa mengontrol hal itu di dalam pikiran kita, masih bisa dipikirkan possibility-nya, masih bisa kita atur sebab akibatnya, masih bisa dicari jalan keluarnya, masih bisa kita prediksi outcome-nya, saudara dan saya akan feel OK. Intinya selama saya masih bisa mengontrol situasi hidup saya, saya bisa tenang. Namun pertanyaan saya, siapa yang mengontrol pikiran dan hati kita? Kita menjadi kuatir dan gelisah dan kehilangan damai sejahtera pada waktu pikiran itu tidak sanggup lagi bisa mengontrol situasi hidup kita. Dan kita tidak mungkin lagi bisa berpikir seperti yang Paulus katakan, the peace of God beyond understanding will guard you. Kalimat ini bukan suatu cara pembiusan. Kalimat ini tidak menawarkan konsep peace yang hilang dan escape dari persoalan. Kita bisa menemukan di balik segala gejolak, peace itu bisa tetap ada.

Peace terjadi bukan karena nothing happened to me. Peace terjadi bukan karena ada peace in my mind. Peace bukan terjadi karena saya masih bisa mengontrol situasi hidup saya dengan pikiran ini. Tetapi bisakah kita mengalami seperti yang Paulus katakan, pada waktu Paulus menulis kalimat ini, dia tulis di dalam penjara, di dalam keadaan yang penuh dengan kesulitan. Yang kedua, Fil.4:6 dia tidak mengatakan peace itu terjadi sebab kita tidak mengalami persoalan. Kita mengalami persoalan, tetapi jangan biarkan dirimu ‘careful too much’ sehingga persoalan itu take over hidupmu. Dan tidak berhenti sampai di situ, Paulus menambahkan kalimat yang penting ini: bawa semua itu dengan doa kepada Tuhan. Bawa semua persoalan itu di dalam doamu.

Saudara mungkin sering mendengar nasehat dari saya, bawalah semua persoalanmu di dalam doa maka Tuhan akan beri jalan keluar dari masalah saudara. Akibatnya setelah mendengar nasehat itu, saudara pulang berdoa dan setelah itu kembali kepada saya dan bertanya, mengapa Tuhan tidak menjawab doa saya?

Saya akan menjawab begini, darimana saudara tahu Tuhan tidak menjawab doamu? Saudara tahu di mana letak kesalahan dari kalimat “Saya sudah berdoa tetapi Tuhan tidak menjawab doa saya”? Letak kesalahannya di sini, saudara datang membawa masalah saudara kepada Tuhan dengan doa dan saudara bilang Tuhan tidak menjawab doa saudara sebab saudara sudah punya jawaban sendiri. Itu sebab saudara bilang Tuhan tidak menjawab doa saudara.

Sama seperti seorang guru memberi pertanyaan “mengapa anjing menggonggong?” Ketika muridnya menjawab, “Sebab anjing bukan kucing,” dia akan mengatakan jawaban itu salah sebab jawaban itu tidak sesuai dengan konsep jawabannya.

Pada waktu saudara bertanya, “mengapa Tuhan tidak menjawab doaku?” maka secara implisit saudara sudah menjadi subjek menginginkan Tuhan menjawab seperti apa.

Paulus tidak bilang, bawa semua persoalanmu kepada Tuhan, pasti Tuhan akan berikan jalan keluarnya, pasti Tuhan akan lepaskan engkau dari persoalan itu. Paulus tidak pakai kalimat itu. Paulus mengatakan, “do not careful too much, it will bring anxiety to you. Now let your problem known to God in prayer and thanksgiving.” Baru saudara akan mengerti jawabannya di ayat 7, Tuhan tidak beri damai sejahtera dengan cara semua problema dan kesulitan itu diangkat darimu. Tetapi di tengah badai kesulitan itu Tuhan memberikan peace beyond your understanding. Banyak orang Kristen tidak bisa menerima hal itu karena kita sudah berpikir seperti ini, bagaimana mungkin orang yang sakit berat bisa mempunyai damai sejahtera? Bagaimana mungkin orang di dalam penderitaan bisa memiliki damai sejahtera? Tetapi ketika problem dan kesulitan itu melingkupi hidup kita dan dia menjadi begitu besar, saudara dan saya tidak akan bisa tidur pada malam hari, bukan? Saudara dan saya tidak bisa menerima fakta bagaimana Yesus bisa tertidur nyenyak di dalam gelombang ombak yang begitu besar yang mengombang-ambingkan kapal. Inilah kebenaran paradoks itu. Di dalam keadaan yang sulit, saya bisa menikmati damai sejahtera, damai sejahtera yang tidak bisa dimengerti orang. Itu sebab Paulus menyebutnya ‘peace beyond understanding.’ Itu artinya saudara berdoa dan membawa persoalan itu kepada Tuhan. Artinya adalah pada waktu pikiran kita tidak sanggup lagi menyelesaikan persoalan itu, kita tidak lagi punya jalan keluar, dan itu menyebabkan kita kehilangan damai sejahtera, mengapa kita tidak bisa terima kebenaran paradoks ini? Tuhan, saya tidak bisa mengatasi persoalan hidup ini, I just bring them all to You, Lord. Biarlah Tuhan berkarya di dalam hidupku.

Persoalan kita dengan anak kita, persoalan kita dengan isteri dan suami, persoalan kita dengan pekerjaan, kita mungkin merasa semua itu tidak terlalu besar selama pikiran kita bisa mengontrolnya. Namun pada waktu semua itu berada di luar kontrol kita, tidak membuat hidup kita kehilangan pengharapan dan damai sejahtera karena ada aspek ini. Pada waktu Tuhan berkarya, di situ kita bisa membuktikan ada sukacita dan damai sejahtera yang melampaui akal manusia. Ini membuktikan Paulus menyadari bahwa Allah adalah Allah yang campur tangan di dalam kehidupan kita. Berapa banyak kita percaya Tuhan, bisa melepaskan cara berpikir kita yang sudah mengungkung iman kita kepada Tuhan? Saya tidak mengatakan cara berpikir linear itu salah, tetapi kita harus menerima fakta ada kebenaran-kebenaran tertentu yang bersifat paradoks, dan Paulus membuktikan hal itu di dalam hidup dia. Dia orang yang berdukacita tetapi bersukacita. Dihajar habis tetapi tetap penuh dengan pengharapan. Hidup dalam kemiskinan namun sanggup memperkaya orang lain. Hidup tidak punya apa-apa tetapi penuh dengan sukacita karena memiliki segala sesuatu.

Jangan biarkan kasih karunia yang terlalu banyak engkau terima itu menjadikanmu kosong. Ini adalah kalimat nasehat sekaligus perintah Paulus, karena dia menyadari kondisi itu ada di dalam kehidupan banyak anak-anak Tuhan di gereja Korintus. Prosperity theology adalah kebenaran linear. You bersukacita kalau kaya. You hidup bahagia dan bisa memuji Tuhan karena Tuhan memberimu kesehatan. Bahaya sekali konsep ini karena kita punya segala sesuatu tidak menyebabkan kita hidup di dalam kelimpahan. Siapa bilang, semakin you diberkati Tuhan, you akan menjadi memberkati orang? Terlalu banyak yang terjadi justru sebaliknya, pertama-tama itu merupakan keinginan di dalam diri saudara, pada waktu keinginan itu dipenuhi makin lama keinginan itu semakin gemuk dan dia akan berubah menjadi serakah dan tamak. Ketika keinginan itu sudah berubah menjadi keserakahan, makin diberi makan dia tidak akan menjadi puas dan kenyang, dan selalu akan mengatakan saya kosong dan tidak mendapat apa-apa. Maka Paulus mengatakan kepada jemaat Korintus, “I urge you, my friends, you already receive a lot of blessings and grace from God, tetapi mengapa engkau menjadikannya kosong dan tidak ada di dalam hidupmu?” Tuhan Yesus mengatakan, “Lebih berbahagia memberi daripada menerima.” Kita tidak mengerti kebenaran paradoks ini. Memang di dalam keempat Injil tidak ada menyebut Yesus mengatakan kalimat ini, maka saya percaya apa yang Paulus kutip ini merupakan kalimat Tuhan Yesus yang tidak tercatat di dalam Injil namun beredar secara oral di dalam jemaat. Yesus mengatakan, “lebih berbahagia…” bukan berarti menerima sesuatu itu tidak bahagia. Sanggupkah saudara bisa menangkap kebenaran paradoks ini? Kita akui, menerima kado membuat kita bahagia daripada memberi kado, bukan? Jadi di mana letak kebenaran paradoks ini? Lebih berbahagia memberi daripada menerima. Bagaimana membuktikannya? Saya ada buktinya. Saya tidak tahu nama anak muda ini, tetapi bendahara kebaktian sore memperlihatkan satu amplop persembahan yang sangat lucu sekali dan membuatnya tertawa. Ketika saya melihatnya, saya menemukan satu keindahan di situ. Anak muda ini memberi persembahan di dalam kebaktian sore dengan menulis kalimat di amplopnya, “Gaji pertama, cihuuuuyyy….!” Itu kalimat bagus sekali. Persembahan itu adalah persembahan dia ketika mendapat gaji pertama. Kata itu, “cihuuuy..!” itu satu cetusan sukacita yang saya percaya tidak bisa direbut siapapun. Itu membuktikan satu bahagia karena perasaan puas yang tidak bisa diganti dengan apapun. Cihuy, artinya I feel good and satisfy about it. Belajar memiliki kebenaran paradoks seperti ini. Itu yang membikin hidup saudara mengerti bahwa kebenaran ini menjadi begitu indah dan saudara tidak akan kehilangan happiness itu dari hidupmu. Saudara memberi sesuatu kepada orang yang mungkin tidak bisa membalas kepada saudara, saudara merasa sudah melakukan sesuatu yang membawa kontribusi bagi orang itu dan membawa satu satisfaction di dalam hatimu.

Yang kedua, saya selalu berkata, saudara memberi membuat pemberian itu mendatangkan bahagia. Itu adalah moment di mana saudara hidup bebas dan tidak diikat oleh apapun juga dalam hidupmu. Itu kebahagiaan yang sejati, kebahagiaan bukan karena kita terikat oleh sesuatu tetapi kebahagiaan karena kita bisa menjadi subjek atas seluruh hidup kita. Saudara tidak diikat oleh uang saudara. Saudara tidak diikat oleh harta saudara. Saudara tidak diikat oleh mobil saudara. Saudara tidak diikat oleh rumah saudara. Saudara tidak diikat oleh account bank saudara. Saudara menjadi subjek yang menguasai semua itu. Apa gunanya saudara mendapatkan segala sesuatu tetapi akhirnya semua itu menjadi tuan yang mengikat hidupmu? Itu yang akan membuat saudara menjadi seperti yang Paulus katakan, the more you get God’s grace, the more empty handed you become. Bagi saya itu adalah satu hal yang tragis sekali. Kalau saudara membaca surat Korintus ini ke belakang, saudara akan melihat Paulus secara halus menegur jemaat Korintus dengan membandingkan mereka dengan jemaat Makedonia yang lebih miskin tetapi rela memberi, sedangkan jemaat Korintus yang lebih kaya, kata Paulus, engkau ‘kenos’ dan kosong di dalam hidupmu.

Yang ketiga, lebih berbahagia memberi daripada menerima, karena pada waktu saudara memberi, saudara fokus kepada apa yang ada pada dirimu dan bukan fokus kepada apa yang tidak ada pada dirimu. Orang yang memberi berarti dia harus sadar terlebih dahulu bahwa dia punya, baru dia sanggup memberi. Orang yang tidak memberi adalah orang yang selalu berpikir apa yang tidak ada dan belum saya miliki dalam hidup dia maka dia tidak memberi. Itu sebab orang yang memberi pasti berangkat dari satu sikap, selalu fokus terlebih dahulu apa yang ada di dalam hidup dia dan bukan apa yang tidak ada di dalam hidup dia. Kalau saudara memiliki fokus seperti itu, saudara akan menikmati bahagia yang dikatakan oleh firman Tuhan ini, karena bahagia di situ bukan soal punya banyak atau tidak banyak, tetapi bahagia di situ karena menyadari terlalu banyak yang sudah saudara terima di dalam hidup ini. Yang tidak berbahagia adalah orang yang selalu berpikir, saya belum punya ini, saya belum punya itu, lama-lama akhirnya tidak bisa melihat apa yang dia punya. Begitu kita bisa menyadari apa yang kita punya, bukan soal itu lebih banyak atau lebih sedikit daripada orang lain, tetapi soal kesadaran kepekaan ada sesuatu dalam diri saya.

Saya menerima satu email dari salah satu jemaat beberapa waktu yang lalu mengenai apa yang terjadi di Cina pada waktu terjadi gempa bumi. Di satu posko yang menerima bantuan bagi korban gempa, ada satu orang pengemis cacat yang datang dan menuangkan semua uang yang dia miliki sebagai sumbangan untuk para korban. Itu adalah satu peristiwa yang sangat menyentuh hati saya.

Pada waktu saudara bisa fokus kepada apa yang ada pada diri saudara, itulah langkah awal saudara bisa bersyukur kepada Tuhan dan itulah langkah awal saudara bisa menikmati kebenaran yang bersifat paradoks ini: the more I give, the more my life become happy. Saudara bahagia sebab ada satisfaction dari memberi. Saudara bahagia sebab itu saatnya you menjadi orang yang bebas di dalam hidupmu. Saudara bahagia sebab saudara terus-menerus belajar fokus kepada apa yang ada dalam hidup saudara dan bukan kepada apa yang tidak ada. (kz)

~ Halaman 2 ~

BAGAIMANA MUNGKIN SAYA BISA MENGAMPUNI?
Sumber Kesaksian : Lisandrea Wentland

Perceraian mencipta luka yang mendalam pada seorang anak.

Jika itu terjadi maka hanya kuasa Tuhan-lah yang mampu menyembuhkan kepedihan hati dan kemarahan mendalam seorang anak terhadap orang tuanya.

Saya masih membenci ayah saya dan sekarang saya ada dalam konflik karena Roh Tuhan memaksa saya melihat diri saya dan memikirkan suatu perubahan.

Ketika saya lahir ayah saya tidak mempersiapkan sebuah rumah bagi seorang anak. Tetangga harus menggantung kain seprei pembatas di satu ruangan untuk menciptakan kamar anak yang bersih untuk saya. Rumah kami adalah ruangan dari proyek kontruksi yang berusia 10 tahun dengan serbuk gergaji sebagai lantainya, dan ruang terbuka berketinggian tiga meter diantara lantai dua dan lantai tiga.

Ayah saya sering memukul anjing dan melempar pisau pada binatang piaraannya dengan kejam. Dia bahkan sering menendang binatang jika sedang marah. Dia juga minum sepanjang waktu, dan jika tidak demikian dia akan tergeletak di dipan setelah berlatih dengan anggota grup band-nya pada pukul 3 dinihari, atau dia akan bermain musik di bar-bar lokal.

Dia tidak pernah menjadi seorang ayah yang saya harapkan. Dia tidak pernah membapai saya.

Saya ingat bagaimana dia berteriak pada saya dengan tidak rasional ketika saya berusia delapan tahun. Itu begitu mengerikan. Ayah saya begitu mengerikan. Saya belajar untuk menjadi tegar terhadap intimidasinya dan tidak hancur terhadap sikapnya. Saya belajar untuk menjaga diri saya sendiri terhadap pria yang lebih tua 27 tahun dari saya itu.

Siapa yang meminta saya untuk dapat mengampuni dia?

Tahun demi tahun ayah saya terus mengecewakan saya. Dia menggagalkan saya, melewatkan nilai-nilai saya. Setelah perceraian dengan ibu saya, dia tidak pernah memberikan janji dan harapan yang baik bagi saya. Dia tidak memberikan dukungan pada anaknya. Dia juga selalu terlambat mengingat waktu-waktu liburan saya. Hari ulang tahun saya, hari yang dia katakan sebagai hari bersejarah dan khusus bagi dia, tidak pernah dirayakan meski dengan panggilan telepon atau hadiah pada waktunya. Sebagai gantinya saya menerima kata-kata penyesalan seperti air mata dan rasa mengasihani diri sebagai ungkapan keputusasaan seorang manusia.

Saya menjadi semakin marah dan semakin marah hingga kemarahan saya meledak terhadap orang lain. Saya mulai menyakiti keluarga saya yang lain karena ayah yang menyakiti saya. Luapan keputusasaan dan frustasi yang saya alami amat ironis, saya menjadi serupa dengan ayah saya.

Saya membenci ayah saya. Saya membenci diri saya karena menjadi serupa seperti dirinya.

Siapa yang mengharapkan saya untuk memberi pengampunan?

Ketika saya mendekati usia 14 tahun saya mendengar tentang Yesus dengan jalanNya yang begitu segar sehingga saya mengerti bahwa saya mengalami pergolakan dalam diri saya. Saya berikan hati saya pada Yesus, namun kehidupan tidak segera menjadi lebih mudah. Saya tidak menemukan diri saya merasa mengasihi ayah saya dalam semalam, seperti halnya kejadian dalam sulap.

Saya masih membenci ayah saya, dan kini saya merasakan adanya konfik karena Roh Tuhan memaksa saya untuk melihat diri saya dan memikirkan adanya suatu perubahan.

Saya mendengar dan membaca tentang pengampunan dan mencoba hingga putus asa untuk mengampuni ayah saya. Ternyata saya dapati hal itu amat mustahil.

Semua yang ada dalam hidup saya terbakar. Dia sudah menyakiti saya. Dia meninggalkan saya. Dia menjadi bagian yang tidak berarti dalam keseharian saya ketika dia masih memegang kendali yang aneh terhadap emosi saya. Saya merasa tersinggung.

Yang paling buruk adalah bahwa dia masih tetap marah dan minum seperti yang saya tahu tentang ayah saya selama ini. Tidakkah seharusnya dia yang berubah dan minta pengampunan dari saya dibanding saya mengampuni dirinya?. Tidakkah seharusnya kami merubah dulu pola pengasuhan dalam keluarga sebelum saya mengampuni ayah saya itu?. Tidakkah seharusnya saya melihat upaya memperbaiki hal ini menjadi bagian ayah saya?

Namun kemudian saya membaca kisah tentang seorang yang berhutang yang tidak mau mengampuni sesamanya di dalam Matius 18:21-35.

Sekarang, bagaimana mungkin saya tidak bisa mengampuni dirinya?

Saya membaca mandat Alkitab dengan pukulan yang jelas dalam hati saya ~ saya tidak dapat menerima pengampunan jikalau saya tidak mau mengampuni!

Kemustahilan menjadi sesuatu yang mungkin bersama dengan Tuhan. Saya mulai berdoa agar hati saya ini dibuat menjadi lembut. Saya berdoa supaya semua prasangka pikiran saya dibuang jauh. Saya berteriak pada Tuhan bahwa saya tidak ingin melakukan hal ini dan saya tidak tahu bagaimana melakukannya, tapi saya minta Tuhan untuk menolong saya. Saya berdoa untuk suatu pemulihan dan kesembuhan.

Saya berdoa karena hanya itulah tindakan yang dapat saya ambil dalam hubungan saya yang "berjarak" dengan ayah saya.

Doa-doa mulai bekerja dalam diri saya. Roh Tuhan tetap bekerja dalam diri saya. Kasih menggantikan kebencian dan saya mulai berdoa untuk keselamatan ayah saya dibanding untuk menyingkirkan dirinya dari kehidupan saya.

Dan berita baiknya bukanlah bahwa ayah saya menjadi sesuatu yang saya harapkan atau bahkan semua yang Tuhan harapkan dari dirinya. Berita baiknya adalah bahwa Tuhan yang mengubah saya, dan mengampuni ayah saya memberi saya kemerdekaan untuk mengasihi dirinya dan orang lain dalam kehidupan saya.

Terlalu banyak dari kita yang begitu buta untuk melakukan suatu tindakan. Kita tidak mengerti dampak tindakan kita telah menimbulkan kemarahan atau gosip dari diri kita yang berdampak memukul orang lain sepanjang perjalanan hidup kita. Kita melihat dampak tindakan kita terhadap orang lain, tapi kita dengan cepat bereaksi terhadap tindakan orang lain yang mempengaruhi diri kita.

Jika seorang dapat memiliki sikap tidak mau mengampuni, lain halnya dengan Yesus. Yesus dari atas kayu salib mengatakan : "Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak mengetahui apa yang mereka lakukan" (Lukas 23:24)

Jika Yesus dapat mengampuni, mengapa kita tidak melakukan hal yang sama?

Inti dari tidak mau mengampuni, kemarahan dan rasa sakit adalah suatu belenggu yang menguasai. Bebannya membuat punggung kita menjadi bungkuk dan hati kita menjadi berat. Itu adalah kegelapan menelan pikiran kita dan menghabiskan gaya hidup kita.

Jika anda memiliki memiliki kemarahan dan perasaan tidak mau mengampuni, anda tahu ini adalah beban. Itu adalah gelap, sesuatu yang berat, bayangan prasangka yang akan mengikuti kemanapun anda melangkah. Orang lain akan melihat hal itu dan bertanya tentang hal itu dan anda akan mempertahankan diri anda dengan berbagai alasan mengapa anda membagikan kepedihan anda pada banyak orang. Tapi alasan-alasan itu hanya akan mencegah anda melakukan semua hal yang benar.

Lenyapkan semua hal itu. Jangan pernah bersekutu dengan hal itu.

Yang terbaik dari Tuhan bagi anda termasuk mengerti tentang pengampunan.

Jika saya ini tidak sempurna, Tuhan Yesus adalah sempurna. Jika orang tua saya begitu tidak sempurna, Kristus sesungguhnya amat sempurna. Jika yang salah seperti ketidakadilan bekerja terhadap hidup saya, maka Tuhan adalah suatu kebenaran. Memikirkan bahwa orang tua saya adalah begitu kurang sebagai orang tua, maka Tuhan adalah Bapa sesungguhnya bagi saya.

Letakkan kemarahan dan sakit hati di kaki salib. Itu mungkin membutuhkan waktu, apalagi jika kerusakannya begitu dalam. Tapi tetaplah bawa hal itu di dasar kaki salib hingga anda mampu mengatur semuanya. Dimana kegelapan menguasai jiwamu sebelumnya, terimalah pengertian tentang kasih yang tidak bersyarat sebagai pengganti.

Ayah saya akan selalu menjadi orang yang tidak sempurna. Tapi janji Tuhan mengatakan: "karena tidak ada seorangpun dari manusia yang tidak berdosa, tidak ada seorangpun (Roma 3:12). Saya merayakan bahwa FirmanNya adalah benar. Dengan pandangan saya dapat mencoba mengerti pengalaman luka hati ayah saya yang membuatnya menjadi manusia yang keras. Kini ia telah berhenti minum (15 tahun tanpa mabuk) dan hidupnya semakin baik.

Dengan pandangan yang baru saya dapat mencoba mengerti bahwa ayah saya tidaklah sempurna dan saya dapat mengasihi dan menerima dirinya. Itu adalah cara yang begitu lega untuk menjalani suatu kehidupan. Saya membuang semua prasangka manusia untuk bisa melihat kehendak Tuhan atas hidup saya. Berkenaan bahwa Tuhan menggenapi semua janjiNya, meski manusia tidak bisa melakukan hal itu. Angkatkah balok dalam matamu sebelum mengambil selumbar dalam mata orang lain (Matius 7:4)

Pengampunan adalah kemerdekaan dalam Tuhan Yesus Kristus.

~ Halaman 3 ~

Kamis, 13 November 2008

EDISI 07 Tahun 2009

KARENA KEKUATANNYA

Sesungguhnya, mata TUHAN tertuju kepada mereka yang takut akan Dia, kepada mereka yang berharap akan kasih setia-Nya, (Mazmur 33:18)

John Garlock dalam tulisannya yang berjudul "Allah yang Mengubah Manusia" menceritakan kisah temannya yang bernama Nowel, yang ingin mengikuti perlombaan dayung perahu yang mana satu perahu diisi dua orang. Tiba-tiba datang seorang Indian dengan tubuh tinggi kekar menghampiri dia dan menawarkan apakah mau menjadi partnernya. Melihat postur orang Indian yang terlihat sangat kuat tersebut, Nowel
langsung mengiyakan.

Saat peluit di tiup dan orang Indian berotot besar itu mulai mengayuh , Nowel yang sebenarnya tidak begitu bisa mendayung itu berkata, "Apa yang kulakukan selama 15
menit itu tidak lain agar aku jangan menghalangi usahanya, aku hanya mengayuh sedikit saja, dan karena kekuatan si Indian itu luar biasa, perahu kami melaju jauh meninggalkan yang lain dan memenangkan perlombaan itu!".

Kisah tersebut merupakan gambaran yang sederhana bagaimana hidup kita bisa berkemenangan bersama Tuhan. Jika kita ingin memiliki hidup yang berkemenangan, biarkan Tuhan memegang penuh atas kemudi hidup kita dan mendominasi hidup kita. Pada saat kita membutuhkan pertolongan-Nya, pastikan kita berserah penuh dan belajar
dari strategi Nowel yaitu dengan "tidak menghalangi usaha-Nya".

Jika kita ingin hidup berkemenangan, jangan pernah mengandalkan kekuatan kita sendiri. Ingatlah bahwa kekuatan kita tidak seberapa dan kita pun terbatas dengan banyak hal. Namun jika kita mengandalkan Tuhan sebagai kekuatan, kita akan melihat betap dahsyat kuasa-Nya dalam hidup kita. Sebagai seorang pebisnis atau seorang pekerja Kristen, kita harus menyadari bahwa kunci keberhasilan kita bukanlah modal yang banyak, gelar pendidikan yang tinggi, pengalaman yang sudah bertahun-tahun, atau skill yang luar biasa. Kunci keberhasilan kita dalam pekerjaan tak lain adalah karena pertolongan Tuhan yang senantiasa menyertai hidup kita. Sebuah jaminan sukses jika kita berada satu perahu dengan Tuhan dan membiarkan Dia yang ambil kendali atasnya. (Amos)

Tidak ada jaminan keberhasilan yang lebih pasti dibandingkan penyertaan Yesus.

~ Halaman 1 ~

KELUAR DARI PERAHUMU
oleh: Pdt. Budy Setiawan, M.Div.

Nats: Mat. 14:22-32

Kita membaca bagian menarik di mana murid-murid Yesus naik ke atas perahu dan mereka ketakutan karena diombang-ambingkan gelombang angin sakal yang begitu besar. Mereka tidak mampu mengatasinya. Tetapi kemudian Tuhan Yesus datang berjalan di atas air, mereka juga ketakutan karena mengira Dia adalah hantu. Kemudian kita membaca pengalaman Petrus berjalan di atas air. Petrus akhirnya hampir tenggelam dan berseru meminta Tuhan menolong dia. Dan waktu Petrus kemudian berjalan di atas air dia merasakan tiupan angin dan gelombang keras, dia ketakutan dan mulai tenggelam.

Di dalam hidup kita sebenarnya saya percaya ada banyak sekali ketakutan dan kekuatiran. Ini adalah hal yang manusiawi. Kita hidup di tengah-tengah dunia yang demikian tidak pasti, ada banyak kesulitan dan tantangan dan pergumulan. Salah satu bank yang terbesar di Amerika, Lehman Brothers, collapse, siapa yang menyangka? Banyak orang yang main saham bankrupt belakangan ini. Kita menghadapi banyak ketakutan akan hari depan, kekuatiran apakah kita cukup punya uang untuk hari depan anak-anak. Ketakutan karena tidak punya pacar, umur sudah makin tua makin bertambah tetapi masih belum dapat-dapat. Orang tua mulai kuatir punya anak-anak demikian. Yang sudah punya, takut ditinggal pacar. Sudah menikah ada ketakutan lagi, dsb.

Kita belajar di bagian ini ketika murid-murid ketakutan dan berseru "Itu hantu!" Tuhan Yesus berkata, "Tenanglah, Aku ini, jangan takut." Ini poin pertama yang akan kita renungkan. Di dalam seluruh Alkitab kita ada 365 kali kata "don't be afraid, jangan takut, jangan kuatir…" Ini memperlihatkan satu emosi yang manusia terus bisa alami, tetapi ini mengingatkan kita janji Tuhan untuk setiap hari jangan takut. Bagaimana kita boleh mengatasi ketakutan di dalam hidup kita, sesungguhnya kalimat Tuhan Yesus ini "take heart, do not be afraid, this is Me.." Kalimat "this is Me" dalam bahasa Yunaninya "Ego eimi" artinya "I AM", inilah Aku. Kata ini sangat menarik, khususnya kalau saudara membaca Injil Yohanes, dia memakai istilah "Ego eimi" ini berkali-kali untuk menunjukkan siapakah Kristus sesungguhnya. "Akulah Roti Hidup," "Akulah Gembala yang baik," "Akulah Pintu," "Akulah Kebangkitan dan Hidup," "Akulah Pokok Anggur yang benar," dsb. Semuanya memakai kata "Ego eimi." Inilah yang akan kita pikir dan renungkan di dalam hidup kita di dalam menghadapi segala kesulitan di dalam dunia ini.

Seperti murid-murid yang menghadapi gelombang besar, angin sakal, ini seperti sesuatu yang mengerikan bagi mereka. Meskipun mereka adalah nelayan, ini adalah pengalaman yang menakutkan. Mereka berjuang menghadapinya dan mereka tidak mampu dan sudah sampai kelelahan dan tidak punya kekuatan untuk mengatasi gelombang itu. Lalu waktu mereka melihat Yesus berjalan di atas air, mereka mendengar Tuhan Yesus berkata, "Tenanglah, Aku ini, jangan takut." Itu menjadi kekuatan bagi kita untuk boleh mengerti dan mengenal siapakah Kristus sesungguhnya. Ini menjadi perenungan pengenalan hidup kita, di mana kita perlu berjuang, bergumul, berseru dan mengenal Dia secara pribadi di dalam kehidupan kita, mengenal siapakah Kristus. Perkataan Tuhan itu begitu berkuasa dan sebetulnya mirip dengan apa yang Tuhan Allah katakan kepada Musa ketika Musa melihat semak belukar yang tidak terbakar. Allah mengutus Musa untuk memimpin bangsa-Nya yang di dalam perbudakan untuk pergi dari Mesir, lepas dari tangan Firaun. Musa bertanya, "Siapakah Engkau?" Tuhan Allah mengatakan, "I AM THAT I AM, Aku adalah Aku," sama seperti Tuhan Yesus berkata, "Ego eimi" dalam bagian ini ketika Dia ingin menenangkan para murid yang ketakutan. Ketika Tuhan Yesus berkata "Aku adalah Aku," ini menunjukkan bahwa Dia adalah Allah yang sesungguhnya, Allah yang datang ke dalam dunia menjadi manusia. Seluruh kepenuhan Allah ada di dalam diri-Nya ketika Dia menyatakan "Ego eimi." Kalimat ini hanya boleh dipakai oleh Allah. Tidak ada yang bisa dibandingkan dengan Dia. Ini adalah penyataan yang puncak kepada manusia. Karena Tuhan tidak bisa dijelaskan dengan apa pun, Tuhan menyatakan kepada kita hal-hal yang kita bisa mengerti, meskipun tidak ada yang bisa menjelaskan secara penuh berapa besar, berapa agung, berapa mulia, berapa tak terbatasnya Allah kita itu. Ketika Tuhan berkata, "Aku adalah Aku," itu adalah pernyataan yang tidak bisa dibandingkan dengan siapa pun, tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata yang bisa dimengerti oleh manusia, tidak bisa dibandingkan dengan apa pun di dalam pikiran manusia, di dalam ciptaan yang terbatas. Itulah kata yang Tuhan Yesus pakai di dalam bagian ini yang boleh mengingatkan kita juga bahwa di dalam segala ketakutan dan kesulitan yang kita hadapi, kita perlu datang kepada Dia, perlu mengenal siapa Dia yang sesungguhnya, berapa besarnya Dia, berapa agungnya Dia. Kadang-kadang kita merasa kesulitan hidup kita terlalu besar dan kita merasa Tuhan begitu kecil.

Dalam satu buku dari David Wells, "Courage to be Protestant," dia menganalisa dengan tajam sekali bagaimana hidup manusia di dalam zaman Post Modern ini sudah betul-betul menjadi sentral dari segala sesuatu. Manusia bukan saja otonomi atas dirinya sendiri, tetapi manusia menjadi pusat dari segala sesuatu di dalam dunia ini. Segala sesuatu dilihat dari kepentingan diri dan dari apa yang diinginkan oleh diri, dan akhirnya akan merembet ke gereja-gereja di tengah dunia ini. Melalui analisa dia, kita diingatkan waktu manusia menjadi pusat, manusia menjadi utama, manusia menjadi hukum atas dirinya sendiri, maka Tuhan dibuang dan ditinggalkan. Seberapa kita mengenal akan Kristus? Ini adalah pertanyaan bagi kita masing-masing yang harus dijawab di hadapan Tuhan, "menurut kamu siapakah Aku ini?" Dan waktu kita menjawab siapakah Kristus sesungguh-sungguhnya, bukan hanya mengerti secara teori, tetapi itu merefleksikan hati dan iman kita, betulkah kita percaya Kristus yang sedemikian besar dan agung. Dan jawaban kita menentukan berapa besar, berapa tinggi, berapa agung kerohanian kita, siapakah Kristus bagi hidup kita? Hari ini kita diingatkan melalui segala kesulitan yang kita hadapi, khususnya di dalam kesulitan itu kita diuji sampai kepada iman kepercayaan kita yang paling dasar siapakah Kristus sesungguhnya di dalam hidup kita. Karena itu kita perlu mengenal Dia, bergaul dengan-Nya, membaca firman-Nya, merenungkannya dan bersekutu dengan saudara-saudara seiman dan di dalamnya kita mengenal Kristus. Dan bukan lagi natural style kita yang hidup tetapi Kristus yang hidup di dalam diri setiap orang yang percaya.

Yang kedua, kita melihat respons Petrus ketika dia meminta Tuhan menyuruh dia berjalan di atas air seperti Yesus. "Tuhan, jika Engkau itu, suruhlah aku berjalan di atas air," ini bukan menyatakan keraguan dia ataupun seperti Iblis waktu mencobai Yesus di padang gurun. Iblis tidak percaya, Iblis meragukan dan sesungguhnya Iblis sedang menguji ke Allah-an Yesus, sehingga Yesus tidak menjawab dia. Berbeda dengan Petrus yang meminta dengan iman, dia tidak akan keluar dari perahu itu kalau Tuhan tidak menyuruh dia. Jelas dia belum mengenal Tuhan Yesus sepenuhnya, tetapi dia mau percaya dan taat kepada-Nya. Waktu Petrus akhirnya turun dari perahunya, itu bukan suatu tindakan yang nekad. Kalau kita berada di posisi Petrus mungkin kita tidak berani melakukan hal itu. Bukan hanya angin sakal dan ombak gelombang itu saja, tetapi sekarang Petrus berjalan di atas air yang sedang bergelombang itu. Itu adalah satu permintaan yang begitu besar. Yesus menyetujui permintaannya dan dia mulai berjalan di atas air.

Ketika Petrus berkata, "Jika Engkau itu, suruhlah aku berjalan di atas air," ini bukan tindakan nekad. Ini bukan juga satu extreme sport, tetapi ini adalah suatu extreme discipleship. Waktu Petrus kemudian turun dan berjalan, ini adalah pengalaman yang begitu luar biasa, tetapi kemudian dia mulai merasakan tiupan angin dan mulai merasa takut. Dia mulai tenggelam, karena ketakutan dan tidak ada imannya. Hidup kita akan tenggelam ketika kita mulai kehilangan iman, ketika kita mulai kecewa, dsb karena kita tidak lagi fokus kepada Kristus. Petrus mulai merasakan tiupan angin dan mulai merasakan gelombang, dan dia mulai merasa takut. Matanya tidak lagi fokus kepada Tuhan, matanya tidak lagi memandang kepada Kristus. Dia hanya memandang kepada kesulitan dan pergumulan yang mungkin begitu real dan begitu besar.

Ini menjadi satu peringatan bagi kita, kita mungkin pernah mengalami seperti Petrus. Kita ketakutan, kita kehilangan iman, kita tidak lagi percaya dan memegang janji Tuhan. Kita tidak lagi merenungkan janji Tuhan yang begitu banyak dan begitu besar dan begitu indah, yang mencakup seluruh aspek dari hidup kita. Kita boleh pegang janji itu di dalam segala kesulitan apa pun yang kita hadapi. Tetapi begitu kita mulai bergeser dari fokus yang seharusnya kepada Tuhan dan kehendak-Nya dan mulai melihat kesulitan, pergumulan dan keputus-asaan kita tidak lagi mengerti apa yang Tuhan kehendaki dan apa yang menjadi visi yang Tuhan berikan kepada kita dan kita mulai takut dan mulai tenggelam. Kalau kita mulai tenggelam, teriakan Petrus juga menjadi pelajaran bagi kita. Ketika dia mulai tenggelam, dia berseru, "Tuhan, tolonglah aku!" Itu adalah seruan dari anak-anak Tuhan yang sejati, yang memiliki iman, yang walaupun imannya diuji, imannya mengalami goncangan, imannya tidak stabil, tetapi di dalam kejatuhan dan kemunduran imannya, seperti Petrus kembali berseru kepada Tuhan. Teriakan yang sungguh, kebutuhan yang sungguh akan Tuhan, maka Tuhan tidak memandang hina akan teriakan itu. Teriakan itu, permintaan itu, sungguh keluar dari hati yang membutuhkan Tuhan. Meskipun kadang-kadang pertolongan Tuhan itu tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kita ingin Tuhan menjawab dengan cepat waktu kita berseru kepada-Nya. Banyak sekali persoalan di dalam hidup kita, realitanya Tuhan sedang terus membentuk kita untuk berseru terus kepada Dia. Dia mengasihi kita dengan begitu besar.

Suatu kali ada seorang bapak sedang menikmati satu kebaktian yang begitu indah, dia merasakan hadirat Tuhan begitu nyata di dalam kebaktian itu, tetapi kemudian dia diinterupsi oleh satu panggilan urgent buat dia. Ternyata istrinya menelpon dan mengabarkan bahwa anaknya yang berumur 9 bulan meninggal dengan tiba-tiba, mungkin terkena SIDS (Sudden Infant Death Syndrome). Dengan sedih dan kecewa dia pulang ke rumahnya setelah mendengar berita itu. Di dalam perjalanan kereta api, dia melihat seorang pria sedang membaca Alkitab dan didebat oleh beberapa orang anak muda. Bapak ini mendengar bagaimana anak-anak muda itu mencemooh Tuhan. "Kalau Tuhan itu benar-benar mengasihi dunia ini, kenapa begitu banyak kesulitan dan penderitaan di dalam dunia ini?" Pria ini mencoba menjelaskan tetapi anak-anak muda itu terus menghinanya. Bapak yang baru saja kehilangan bayinya kemudian menghampiri mereka dan berkata, "Aku tahu jawabannya, Tuhan begitu mengasihi kita karena Dia mengirimkan Anak-Nya yang tunggal untuk mati menebus dosa kita." Mendengar jawaban ini, anak-anak muda itu makin mencemooh dan mengatakan itu adalah jawaban yang abstrak dan tidak real. Bapak itu mengatakan, "Aku tahu apa artinya menderita, aku tahu apa artinya sedih, aku tahu apa artinya kehilangan anak, karena aku baru saja di dalam perjalanan pulang melihat anakku yang baru meninggal dunia. Aku baru tahu berapa besarnya kasih Tuhan kepadaku, karena Dia mengutus Anak-Nya yang tunggal, Anak-Nya yang terkasih untuk mati menebus dosaku. Di situ aku baru mengerti betapa artinya kasih Tuhan." Kita sekali lagi boleh belajar di dalam bagian ini, iman yang terus memandang kepada Tuhan, iman yang melihat kepada kebesaran dan kasih Tuhan di dalam hidup kita. Waktu kita jatuhpun kita boleh berseru, "Tuhan, tolonglah aku." Dia yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang memberikanNya untuk mati bagi kita, bukankah Dia akan memberikan segala sesuatu bagi kita? Bukankah Dia sudah memberikan yang terbaik kepada kita, apa lagi yang Dia akan tahankan buat kita? Dia pasti memegang, memelihara, menjaga dan memimpin kita. Kita boleh berseru dan mengenal Dia dengan benar dan tunduk kepada Dia Allah yang berdaulat. Kita terus pegang janji firman Tuhan itu yang menguatkan kita.

Yang ketiga, bagian ini membuat kita belajar dari kesalahan Petrus yang kemudian Tuhan tegur, "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?" Ini menjadi pelajaran bagi kita untuk boleh belajar dari kesalahan Petrus walaupun dia mengalami perjalanan iman yang luar biasa, tetapi dia masih bimbang, belum percaya, tidak fokus seluruhnya kepada Tuhan dan kehendaknya sehingga dia mulai tenggelam. Petrus awalnya bagus, dia beriman dan percaya Tuhan tetapi kemudian dia mulai gagal dan kemudian Tuhan membentuk hidup dia. Tuhan menegur dia sebagai orang yang kurang percaya, orang yang bimbang. Betul, Petrus gagal, betul Petrus ditegur Tuhan, tetapi sebenarnya ada 11 murid yang lain yang sebenarnya punya bigger failure sedang duduk di dalam perahu. Petrus gagal ketika dia mulai bergeser dari fokus imannya kepada Tuhan, tetapi ada 11 orang lain yang berada di dalam perahu itu yang seolah-olah kelihatannya tidak gagal, mereka seolah-olah imannya OK, mereka merasa tidak ada masalah dengan imannya. Mungkin Petrus malu sekali di dalam kegagalannya, tetapi 11 orang lain yang tinggal di dalam perahu menyaksikan itu semua, tetapi mereka tidak pernah turun dan sesungguhnya orang-orang yang lebih gagal. Mereka gagal diam-diam, mereka gagal karena mereka tidak mau melakukan apa-apa. Tuhan Yesus menyuruh mereka ke seberang danau untuk membawa mereka di dalam perjalanan iman yang lebih dalam lagi, tetapi mereka diam-diam. Petrus sudah gagal, tetapi mereka lebih gagal karena mereka tidak mengalami segala pembentukan sedangkan Petrus belajar hal yang sangat penting di dalam bagian ini.

Ini sesungguhnya mirip seperti orang yang memiliki satu talenta di dalam perumpamaan Tuhan Yesus. Yang punya lima talenta dan dua talenta mengerjakannya dengan setia, tetapi yang punya satu talenta menguburkan talenta itu dan bahkan menuduh tuannya sebagai seorang yang jahat, yang menuai di tempat dia tidak menabur. Dia tidak mengerjakan apa-apa, dia hanya menggali tanah dan menyimpan talenta itu. Dia tidak mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan. Dia tidak seperti orang yang memiliki lima dan dua talenta yang mengerjakan dengan setia. Meski ada resiko, ada kemungkinan gagal, tetapi mereka mengerjakan dengan setia. Karena yang punya satu talenta play safe dan pengenalannya akan Tuhan salah sekali, dia tidak melakukan apa-apa, melainkan mengubur talenta itu. Memang talentanya tidak hilang, tetapi dia tidak kembangkan dan pertanggung-jawabkan di hadapan Tuhan. Maka Tuhan mengatakan, "Engkau hamba yang jahat dan malas…" dan talenta yang ada padanya diambil dan diberikan kepada yang punya lima talenta. Engkau sudah Kuberi kepercayaan kepadamu tetapi engkau tidak setia.

Dari poin terakhir ini kita belajar bahwa memang Petrus gagal, tetapi sebenarnya murid-murid yang lain itu lebih gagal daripada dia, karena mereka mencari jalan aman, mereka tidak berjuang, mereka tidak mau ambil resiko. Ironisnya mereka merasa OK dan merasa tidak ada apa-apa, padahal mereka gagal karena mereka tidak keluar dari perahu itu. Mereka gagal tetapi tidak melihat kegagalannya, mereka diam-diam gagal.

Seorang bernama Larry Laudan, seorang ahli yang sepuluh tahun belajar mengenai Risk Management, mengeluarkan satu buku mengenai 19 prinsip tentang Risk Management, saya mengutip salah satunya yaitu "everything is risky." Segala sesuatu ada resikonya, apa pun yang engkau kerjakan, engkau keluar dari perahu ada resiko tenggelam, kalau engkau tinggal di dalam perahu bukan tidak ada resiko, tetapi mungkin ada resiko yang lebih besar. Kita mau mencari absolute safety di tengah dunia ini, kita tidak bisa tinggal di dalam dunia ini karena tidak ada yang tidak beresiko. Kita pikir tinggal di Australia salah satu tempat yang paling aman, yang lari dari kerusuhan berpikir seperti itu, padahal tidak ada yang namanya tempat yang aman di dunia ini.

Ada resiko waktu keluar dari perahu, tetapi sebaliknya ada resiko yang lebih besar kalau kita tidak keluar dari perahu. Kita mungkin mati karena bosan, mati karena kemandekan, mati karena stagnant. Hidup kita melalui contoh Petrus dan murid-murid yang lain, kiranya boleh kita pikir dan renungkan dan saya mendorong saudara untuk lebih aktif dan lebih sungguh berjuang di tengah dunia ini. Ada resiko, ada kesulitan, ada air mata. Belajar melakukan apa yang Tuhan kehendaki meskipun mungkin gagal. Waktu kita beriman, waktu kita melangkah seperti Petrus berjalan, paling tidak dia mengalami dua hal, Petrus mengalami, Petrus mengerti, Petrus bertumbuh di dalam imannya. Waktu dia tenggelam, Tuhan menolong dia, dia mendapat dua hal penting di dalam hidupnya yang tidak didapat oleh 11 murid yang lain di dalam perahu. Hanya Petrus yang mengerti keheranan, sukacita dan kekaguman berjalan di atas air seturut perintah Tuhan. Dan kedua, ada pengalaman yang intim waktu Tuhan menarik dia keluar dari air. Dia mengalami pertolongan Tuhan pada saat itu, itulah iman dan itulah pertolongan Tuhan yang tidak pernah dialami oleh 11 murid yang lain. Kita perlu belajar melakukan apa yang sesungguhnya menurut pikiran manusia tidak mampu tetapi kalau itu Tuhan kehendaki maka Tuhan akan pimpin kita. Maka kita akan melihat kemuliaan Tuhan, keheranan, kebesaran Tuhan boleh dinyatakan. Di saat-saat kita lemah, di saat-saat kita tidak berdaya, di saat-saat kita tidak mampu, waktu kita berseru kepada Tuhan, kita melihat keindahan Tuhan dan anugerah Tuhan yang memberi kekuatan.

~ Halaman 2 ~

Tolong, Kami Kekurangan Karyawan Handal...

Perlu saya tegaskan bahwa ini bukan iklan lowongan kerja. Tapi, memang benar bahwa saat ini, begitu banyak perusahaan yang lapar dan dahaga atas keberadaan tenaga kerja terampil. Sehingga, pencarian talenta-talenta hebat tidak pernah ada hentinya. Kita seringkali mendengar bahwa jumlah lapangan kerja sangat terbatas. Namun, jumlah
tenaga kerja terampil lebih terbatas lagi. Sehingga meskipun disatu sisi ada surplus tenaga kerja, namun disisi lain ada begitu banyak jenis posisi yang teramat sulit untuk dicarikan orang yang tepat untuk mendudukinya.

"Punya teman yang bagus nggak?" teman saya bertanya.

"Untuk apa?" saya balik bertanya padanya. Lalu dia menjelaskan beberapa posisi penting yang katanya;"sudah hampir setahun ini kosong karena belum ditemukan kandidat yang tepat."

Ada banyak perusahaan papan atas yang seperti itu. Mereka membiarkan posisi penting kosong sampai mendapatkan orang yang benar-benar tepat. Karena, mereka percaya bahwa orang-orang yang tepat itulah yang akan berhasil membawa perusahaan kepada pencapaian tinggi. Oleh karena itu, meskipun teramat banyak orang berseliweran dipasar tenaga kerja kita, namun ada banyak posisi yang tetap dibiarkan tak terisi.

Secara teoritis, perusahaan memang harus melakukan pengembangan calon-calon tenaga kerja handal itu. Mereka harus mempersiapkan bakat-bakat muda untuk menjadi pemimpin masa depan. Orang-orang muda yang bagus ini menjadi generasi penerus atau pemain utama bagi posisi-posisi baru yang muncul sesuai dengan dinamika organisasi. Namun, bahkan perusahaan yang sudah sedemikian cermatnya seperti inipun kadang-kadang masih kekurangan karyawan-karyawan handal itu. Terutama, ketika genderang perang bertajuk 'Talent War' ini ditabuh diseantero dunia. Dimana setiap perusahaan bisa dengan leluasa membajak karyawan-karyawan hebat dari para pesaing utamanya.

Fakta ini menyiratkan dua hal. Pertama, perusahaan harus sadar betapa pentingnya membangun kemampuan organisasi untuk mengembangkan karyawan-karyawan andalan masa depan. Cara terbaiknya adalah dengan membentuk institusi atau fungsi khusus semisal Program Management Trainee atau Future Leader Development Center. Tapi, ini tentu
tidaklah mudah. Misalnya, seingat saya; dibutuhkan waktu tidak kurang dari dua setengah tahun sejak usulan program management trainee saya diterima menejemen puncak sampai 'iklan' pencarian trainee muncul untuk pertama kali dimedia masa.

Bagi organisasi yang tidak memungkinkan untuk membuat program sistematis seperti itu, praktis tantangannya terletak dipundak para manager. Manager level mana? Itu tidak penting. Sebab, inisiatif seperti ini bisa muncul dari level Direktur terus turun kebawah. Atau, sebaliknya justru datang dari para menejer lini yang terjun
langsung dilapangan karena mereka mengetahui betul kebutuhan operasionalnya seperti apa. Contoh sederhana yang bisa dilakukan adalah; jika hendak merekrut orang untuk posisi-posisi tertentu misalnya. Kita mempunyai 2 pilihan; membajak orang yang sudah jadi dari luar, atau mengijinkan bakat-bakat muda didalam organisasi untuk mencobanya. Tidak harus langsung diberi gelar manajer karena gelar bisa didapatkan kemudian; jika mereka benar-benar bisa mengembangkan diri, dan kemudian menunjukkan hasilnya.

Adalah benar bahwa membajak orang yang sudah jadi merupakan cara yang paling praktis. Dengan sejumlah uang dan sejumput kompensasi sebagai daya tarik, orang itu bisa berpindah kursi hanya dalam waktu satu atau dua bulan saja. Sekedar menulis 30 days notification; orang itu sudah bisa terbang ke kantor lain. Tidak jarang masih digedung perkantoran yang sama. Sedangkan, memberi orang-orang muda kesempatan
untuk belajar, sangat lama dan melelahkan. Namun, menurut pendapat anda; cara manakah yang merupakan langkah strategis jangka panjang?

Hal kedua yang juga sangat penting adalah; sikap kita sebagai karyawan itu sendiri. Kita, sebagai seorang karyawan; sudahkah bisa menjadi seseorang yang berharga bagi perusahaan? Dengan kata lain; apakah kita sudah menjadi satu dari bakat-bakat yang akan dengan berbagai cara dipertahankan oleh perusahaan? Jika kita belum menjadi
orang yang seperti itu, maka itu menandakan bahwa kita belum benar-benar menunjukkan kemampuan sesungguhnya yang kita miliki. Kecuali jika anda orang yang memang tidak berguna; anda pasti memiliki sesuatu yang sangat langka. Yang unik. Yang berbeda secara positif. Sesuatu. Yang perusahaan anda tidak dapat menemukannya dari orang
lain. Sesuatu itulah yang harus anda tunjukkan. Sehingga, untuk 'hal yang satu' itu, perusahaan tidak memiliki pilihan lain selain mengandalkan anda. Temukan itu. Dalam diri anda masing-masing.

Dan untuk memastikan bahwa 'sesuatu' itu bernilai bagi perusahaan; kita perlu membungkusnya dengan sikap positif. Kita semua sudah menyaksikan betapa banyaknya orang-orang pintar yang tidak maju, hanya gara-gara sikapnya. Dan diantara sikap yang merusak kualitas diri kita itu adalah; tidak kooperatif baik dengan atasan, bawahan atau teman sekerja. Juga menggunakan waktu kerja untuk hal-hal yang tidak produktif. Berapa banyak orang bahkan dilevel manajer dan direktur yang bermain game komputer pada saat seharusnya mereka bekerja atau mempelajari suatu keterampilan baru, misalnya? Lemahnya loyalitas, juga sering menjadi hambatan. Ini memang agak subjektif. Tetapi, atasan yang jeli biasanya dapat 'merasakan' hal itu. Tidak sedikit orang berbakat yang dimasukan kedalam daftar orang-orang yang 'loyalitasnya perlu dipantau'. Jika kita masuk kedalam daftar itu, bagaimana? Ya, sekurang-kurangnya, kita tidak akan menjadi pilihan pertama jika sebuah kesempatan muncul suatu ketika.

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengubah diri kita dari karyawan biasa. Menjadi seorang bintang ditempat kerja. Dan jika kita sudah bisa menjadi karyawan seperti itu, maka menejemen puncak akan menempatkan kita didalam sebuah daftar 'khusus'. Daftar itu disimpan didalam deposit box dan dikunci serta dijaga ketat. Bahkan ketika membicarakannya pun mereka menggunakan kode rahasia yang disepakati
diseluruh dunia. Sekarang saya akan membisikkan kode rahasia itu kepada anda. Kode itu disebut "236". Maukah anda masuk kedalam daftar karyawan dengan kode itu? (Dadang K.)

Catatan Kaki:
Ada banyak alasan untuk menjadi pekerja gagal. Dan ada lebih banyak
lagi alasan untuk menjadi karyawan handal.

~ Halaman 3 ~

Siapakah Yang Seharusnya Lebih Siap Pakai Itu?

"Mereka tidak siap pakai!" Begitulah komentar paling populer tentang kualitas lulusan perguruan tinggi kita. Lucu juga. Karena jika menengok kebelakang ketika kita masih lucu seperti mereka dan melamar kesana kemari sehabis wisuda; kita tidak berbeda jauh dari mereka. Kita sering tidak menyadari bahwa kematangan yang saat ini kita miliki merupakan hasil dari tempaan yang dijalani setiap hari. Dia diberi nama `pengalaman'. Dan pengalaman tidak bisa dipelajari dengan membaca buku atau duduk dibangku kuliah. Lebih dari itu `siap pakai' bukanlah monopoli mereka yang baru masuk kerja. Kita yang
sudah lama bekerja pun belum tentu `siap pakai'. Meskipun terdengar agak janggal, namun relevan dengan situasi aktual keseharian kita. Jangan-jangan orang-orang yang mengaku kompeten seperti kita ini jauh lebih `tidak siap pakai'-nya dibanding mereka?

"Lho, bisa masuk ke kampus itu saja sudah membuktikan dia bagus," sahut saya ketika seorang teman mengeluhkan kualitas adik-adik kelas dikampusnya. Äpalagi dengan IP yang bagus, tentu mereka adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan."

Ïya, tapi mereka nggak siap pakai." balasnya.

"Maksudmu tidak siap pakai didunia kerja?"

"Ya iyyalaaaaah..." geramnya. "Maasak ya iyyaaa dddong!"

"Apakah saat ini elo sudah merasa `siap pakai'?" pertanyaan saya membuatnya gelisah.

"Maksud loooh?"

Kita tahu bahwa hidup kita terdiri dari berbagai tahapan. Masa dalam kandungan, kita nggak perlu report-repot. Masa kecil, kita bermain. Masa sekolah kita mesti belajar. Selanjutnya memasuki dunia kerja. Setiap kali kita memasuki babak baru dalam hidup kita, pastilah ada gap antara kemampuan fisikal dan intelektual kita dengan tuntutan
hidup dalam setiap jenjang. Tidak aneh, bukan?

Tidak siap pakai. Ini sama sekali bukanlah monopoli para lulusan baru. Orang-orang yang sudah bekerja lama pun sangat banyak yang tidak siap pakai. Itu jika kita tidak bisa mengatakan hampir semua pegawai begitu. Artinya, bisa jadi, kita yang mengaku kawakanpun bisa jadi tidak siap pakai.

"Maksud loooh?"

Sekurang-kurangnya, ada dua situasi yang membuktikan bahwa kita sering `tidak siap pakai'. Misalnya, ketika perusahaan kita sedang mencari pengganti boss yang pensiun. Dalam banyak situasi, perusahaan harus bersusah payah mencari orang yang layak untuk menggantikan perannya menduduki jabatan itu. Tidak jarang akhirnya perusahaan
harus merekerut orang dari luar. Mengapa harus begitu? Karena, kita yang berada didalam organisasi ini `dinilai' belum memenuhi kualifikasi yang memadai untuk menggantikan boss yang pensiun itu.

Anda boleh saja mengemukakan seribu alasan. Namun, pada kenyataannya; peristiwa seperti ini lazim terjadi dilingkungan kita, bukan? Jika demikian, bolehkah kita menyimpulkan bahwa orang-orang yang mengaku `siap pakai' seperti kita ini juga ternyata `tidak siap pakai' jika dihadapkan pada tantangan yang lebih tinggi? Sama seperti kepada adik-adik yang baru lulus kuliah itu. Kita mencap mereka `tidak siap pakai'. Pada saat yang sama perusahaan juga menganggap kita tidak siap pakai untuk peran, tugas dan tanggungjawab yang lebih besar. Apa bedanya?

Itu yang pertama.Yang kedua? Jika kita percaya bahwa kehidupan manusia itu terdiri dari berbagai tingkatan, maka tentu kita sepakat bahwa `memasuki dunia kerja' bukanlah tingkatan terakhir dalam hidup kita. Sebab, setelah `masa bekerja' kita tuntas, maka kita memasuki tahapan kehidupan berikutnya, yang biasa kita sebut sebagai masa purna tugas. Alias pensiun. Itulah sebabnya kita mengenal istilah `post power syndrome'. Ini tidak semata soal apakah sebelumnya kita memegang kekuasaan besar atau tidak. Sebab, orang-orang pensiunan yang tidak memegang jabatan tinggi pun banyak mengalami sindrom yang sama. Ini menunjukkan bahwa kita `tidak siap pakai'didunia pasca kerja.

Mungkin kita tidak mengalami sindrom separah itu. Tapi, tidak berarti bahwa kita sudah benar-benar siap untuk menghadap masa `setelah dunia kerja itu'. Coba jawab pertanyaan ini; setelah pensiun, apa yang akan saya lakukan? Jika kita masih belum memiliki gambaran yang jelas mengenai hal itu, maka kita juga `belum siap pakai'.

Boleh saja kalau anda mau berkilah bahwa pensiun itu masih lama. Tapi, siapa yang menjamin bahwa anda tidak akan diberhentikan ditengah jalan? Bukankah semua orang yang terkena PHK tidak pernah membayangkan hal itu akan menimpa dirinya? Lha, jika itu terjadi kepada anda, maka itu berarti anda harus segera memasuki dunia yang
berbeda. Sudah siap pakaikah anda didunia baru itu?

`Siap pakai' seyogyanya menjadi kata kunci bagi siapa saja. Hal itu muncul dari sebuah pertanyaan mendasar yang berbunyi;"Sudah sejauh mana saya mempersiapkan diri untuk memasuki babak berikutnya dalam kehidupan ini?". Anda tahu bahwa semakin baik persiapan yang dilakukan, semakin baik pula gambaran dimasa depan. Kepada adik-adik
yang masih duduk dibangku kuliah kita menasihatkan; belajar yang baik. Berlatih organisasi. Jangan cuma terpaku kepada text book. Kalian harus juga mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja.

Kita sendiripun membutuhkan nasihat seperti itu. Supaya, kita bisa menjadi manusia yang siap pakai, ketika kita memasuki babak baru kehidupan kita. Dan ketika kita sudah menjadi manusia yang `siap pakai' itu, maka apapun yang akan terjadi esok atau lusa; kita tidak perlu mengkhawatirkannya. Sebab, kita sudah `siap' untuk menjalaninya. Sudah siap pakai-kah anda? (Dadang K.)

Catatan Kaki:
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Namun, jika kita sudah mempersiapkan segala sesuatunya, mungkin kita bisa menjalaninya dengan lebih baik.

~ Halaman 4 ~