Senin, 17 November 2008

EDISI 08 Tahun 2009

GAMBARAN YANG UTUH

Efesus 3:20
Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.


Suatu pagi aku mempunyai janji pertemuan, dan aku sudah terlambat. Setelah behenti di lampu merah di belakang beberapa kendaraan, laMpu hijau akhirnya menyala. Tetapi, kami tidak bergerak. Aku melongok untuk melihat apakah yang terjadi. Sebuah kendaraan memutar dan menghalangi mobil lain. Aku melihat jarak yang cukup jauh antara moil itu dan mobil di depannya. Jika saja mobil itu bergerak, tentu kami bisa lewat tadi, kataku kesal.

Saat mobil itu bergerak, aku baru tahu kalau ternyata mobil itu adalah truk peti kemas yang panjang. Kalaupn sopir truk itu mendekati kendaraan di depannya, peti kemasnya tetap menghalangi jalan. Aku hanya melihat sebagian dari keadaan seluruhnya.

Setelah peristiwa itu, aku bertanya-tanya, berapa kali aku mengambil keputusan berdasarkan apa yang kulihat, tanpa meminta Allah menyingkapkan gambaran utuhnya. Aku berpikir tentang masa di mana Allah seolah tidak menjawab doa atau menanggapi secara berbeda dari sesuatu yang tampak logis bagiku.

Allah melihat gambaran secara utuh, dan bertindak dalam hidupku berdasarkan sudut pandang yang lebih luas dariku. Aku telah belajar untuk tidak membuat keputusan berdasarkan sudut pandangku yang terbatas, tetapi percaya kepada Allah, yang dapat melihat melampaui apa yang dapat kita lihat.

~ Halaman 1 ~

KEBENARAN PARADOKS

oleh: Pdt. Effendi Susanto, S.Th. (gembala sidang GRII Sydney yang meraih gelar Sarjana Theologi dari Seminari Alkitab Asia Tenggara—SAAT Malang

Nats: 2 Kor.6:1, 9-10; Fil.4:6-7; Kis.20:35

Paulus menasehatkan jemaat Korintus, ”... jangan membuat menjadi sia-sia kasih karunia Allah yang telah kamu terima” (2 Kor. 6:1). Jangan jadikan kosong semua yang sudah engkau terima dengan berlimpah dalam hidupmu. Selanjutnya di ayat 9-10 Paulus mengatakan dirinya ”...sebagai orang yang tidak dikenal namun terkenal, sebagai orang yang dihajar namun tidak mati, sebagai orang berdukacita namun senantiasa bersukacita, sebagai orang miskin namun memperkaya banyak orang, sebagai orang tidak bermilik sekalipun memiliki segala sesuatu.”

Kali ini saya mau berbicara mengenai kebenaran paradoks. Dalam 2 Kor.6:1 saudara menemukan kebenaran paradoks ini. Paulus ingatkan kita agar jangan menjadi orang Kristen seperti ini, terima banyak kasih karunia, tetapi makin terima makin merasa kosong. Kata Yunani yang Paulus pakai “kenos” (kosong) dan “kharis” (anugerah). Inilah paradoks. Ada orang yang makin terima banyak, makin hidup kosong. Tetapi sebaliknya dengan hidup Paulus, dia miskin tetapi memperkaya banyak orang. Ada orang Kristen seperti itu, orang yang tidak punya apa-apa, tetapi hidupnya menjadi kelimpahan yang tidak habis-habis bagi orang lain. Namun ada orang terus terima berkat, makin terima makin merasa tidak ada. Kenapa bisa seperti itu?

Dua ayat yang kita baca kali ini menyatakan sesuatu hal yang sangat menarik. Paulus mengatakan “damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiranmu..” (Fil. 4:7). Dan Paulus mengutip kalimat Tuhan Yesus “Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima” (Kis. 20:35). Saya sangat suka dengan dua ayat ini karena bagi saya kedua ayat ini menjawab dua kebutuhan yang paling penting dan paling mendasar dalam hidup manusia. Kalau ditanya dengan jujur apa yang menjadi kebutuhan kita yang paling mendasar? Mungkin ada orang bilang makan, minum, sandang pangan, dsb. Tetapi pada waktu kita lebih dalam merenungkan kebutuhan yang paling mendasar, kita akan setuju urutan pertama dan urutan kedua adalah peace and happiness menjadi kebutuhan kita yang paling penting. Mau hidup punya damai sejahtera? Paulus mengatakan, let the peace of God beyond understanding will guard your heart and mind. Mau hidup punya bahagia? Paulus mengatakan, lebih berbahagia memberi daripada menerima.

Mengapa kita seringkali hidup seperti ini, sudah terima begitu banyak kasih karunia Tuhan, sudah terima begitu banyak berkat Tuhan, Paulus bilang hidupmu makin kosong? Saya percaya banyak di antara kita ingin hidup damai dan bahagia, tetapi saudara juga setuju betapa sulitnya damai dan bahagia itu terjadi di dalam hidup kita. Kita merasa damai sejahtera dan bahagia itu cepat sekali menguap dari hidup kita. Apa yang salah di sini?

Letak kesalahannya adalah karena banyak orang Kristen tidak menerima kebenaran paradoks ini menjadi kebenaran yang penting dalam hidupnya. Kita terlalu sering berpikir secara linear dan secara sebab akibat. Kita seringkali berpikir secara logis. Jarang kita berani menerima kebenaran itu sebagai kebenaran paradoks. Paradoks bukan berarti kontradiktif. Kontradiksi merupakan dua hal yang sama sekali berbeda dan bertentangan dan tidak mungkin bisa dipersatukan. Sedangkan paradoksa adalah sesuatu yang nampaknya bertentangan tetapi tidak bertentangan. Orang miskin, secara logis pasti kita anggap orang itu hidupnya susah. Sakit, kita anggap orang itu kehilangan sukacita dan damai sejahtera. Berada di dalam penjara, dihina, dianiaya, dan kehilangan dignitas, mana mungkin bisa hidup dalam damai sejahtera? Gampang sekali damai sejahtera itu hilang kalau kita menganggap kalau kekayaan, kelimpahan, kesehatan, kelancaran itu menjadi penyebab orang bahagia dan punya damai sejahtera. Pada waktu semua itu tidak tercapai dan tidak terjadi, kita menjadi stress dan kalang kabut. Itu sebab Paulus mengatakan let the peace of God beyond understanding will guard your heart and mind. Secara logis, tidak ada damai sejahtera di dalam kondisi seperti itu, bukan? Paulus membuktikan damai sejahtera itu ada.

“Janganlah kamu kuatir tentang apapun juga tetapi serahkanlah dalam doa dan ucapan syukur… maka damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiranmu.” Kalimat Paulus dalam terjemahan bahasa Inggris memakai kata “care-ful”, jangan terlalu banyak care. Terlalu banyak care membuat hidupmu menjadi kuatir. Tidak berarti kita dipanggil untuk menjadi “careless” dan tidak mau memikirkan apa-apa. Tetapi Paulus mengangkat aspek lain di sini. Kalau kita careful too much, itu akan membuat kita menjadi anxiety. Segala sesuatu yang terlalu lebih ataupun terlalu kurang, dua-duanya salah.

Peace itu bisa hilang karena kita terlalu memasukkan kuatir itu ke dalam pikiran kita. Pada waktu saudara dan saya bicara bagaimana kita bisa mengontrol kekuatiran kita, bagaimana kita bisa mengatasi anxiety dan kesulitan serta problema yang muncul dalam hidup kita, rata-rata orang akan memberikan jawaban seperti ini: kalau kita sanggup mengontrol pikiran dan hati kita, think positively, jangan memasukkan pikiran yang negatif, jangan kuatir berlebihan, dsb. Itu merupakan jalan keluar yang sering diberikan kepada kita. Dari sisi psikologi kita dianjurkan berpikir positif dan mengontrol pikiran. Dari sisi mistik Timur maka banyak orang mencari damai dan ketenangan dengan menggunakan teknik yoga dan meditasi. Sebenarnya intinya dua: bisa mengontrol pikiran atau menghilangkan pikiran. Tetapi semuanya berkaitan dengan pikiran saudara. Itu adalah cara berpikir linear, cara berpikir yang bersifat sebab akibat.

Hidup ini penuh dengan kesulitan dan kompleksitas. Namun selama kita tahu kita masih bisa mengontrol hal itu di dalam pikiran kita, masih bisa dipikirkan possibility-nya, masih bisa kita atur sebab akibatnya, masih bisa dicari jalan keluarnya, masih bisa kita prediksi outcome-nya, saudara dan saya akan feel OK. Intinya selama saya masih bisa mengontrol situasi hidup saya, saya bisa tenang. Namun pertanyaan saya, siapa yang mengontrol pikiran dan hati kita? Kita menjadi kuatir dan gelisah dan kehilangan damai sejahtera pada waktu pikiran itu tidak sanggup lagi bisa mengontrol situasi hidup kita. Dan kita tidak mungkin lagi bisa berpikir seperti yang Paulus katakan, the peace of God beyond understanding will guard you. Kalimat ini bukan suatu cara pembiusan. Kalimat ini tidak menawarkan konsep peace yang hilang dan escape dari persoalan. Kita bisa menemukan di balik segala gejolak, peace itu bisa tetap ada.

Peace terjadi bukan karena nothing happened to me. Peace terjadi bukan karena ada peace in my mind. Peace bukan terjadi karena saya masih bisa mengontrol situasi hidup saya dengan pikiran ini. Tetapi bisakah kita mengalami seperti yang Paulus katakan, pada waktu Paulus menulis kalimat ini, dia tulis di dalam penjara, di dalam keadaan yang penuh dengan kesulitan. Yang kedua, Fil.4:6 dia tidak mengatakan peace itu terjadi sebab kita tidak mengalami persoalan. Kita mengalami persoalan, tetapi jangan biarkan dirimu ‘careful too much’ sehingga persoalan itu take over hidupmu. Dan tidak berhenti sampai di situ, Paulus menambahkan kalimat yang penting ini: bawa semua itu dengan doa kepada Tuhan. Bawa semua persoalan itu di dalam doamu.

Saudara mungkin sering mendengar nasehat dari saya, bawalah semua persoalanmu di dalam doa maka Tuhan akan beri jalan keluar dari masalah saudara. Akibatnya setelah mendengar nasehat itu, saudara pulang berdoa dan setelah itu kembali kepada saya dan bertanya, mengapa Tuhan tidak menjawab doa saya?

Saya akan menjawab begini, darimana saudara tahu Tuhan tidak menjawab doamu? Saudara tahu di mana letak kesalahan dari kalimat “Saya sudah berdoa tetapi Tuhan tidak menjawab doa saya”? Letak kesalahannya di sini, saudara datang membawa masalah saudara kepada Tuhan dengan doa dan saudara bilang Tuhan tidak menjawab doa saudara sebab saudara sudah punya jawaban sendiri. Itu sebab saudara bilang Tuhan tidak menjawab doa saudara.

Sama seperti seorang guru memberi pertanyaan “mengapa anjing menggonggong?” Ketika muridnya menjawab, “Sebab anjing bukan kucing,” dia akan mengatakan jawaban itu salah sebab jawaban itu tidak sesuai dengan konsep jawabannya.

Pada waktu saudara bertanya, “mengapa Tuhan tidak menjawab doaku?” maka secara implisit saudara sudah menjadi subjek menginginkan Tuhan menjawab seperti apa.

Paulus tidak bilang, bawa semua persoalanmu kepada Tuhan, pasti Tuhan akan berikan jalan keluarnya, pasti Tuhan akan lepaskan engkau dari persoalan itu. Paulus tidak pakai kalimat itu. Paulus mengatakan, “do not careful too much, it will bring anxiety to you. Now let your problem known to God in prayer and thanksgiving.” Baru saudara akan mengerti jawabannya di ayat 7, Tuhan tidak beri damai sejahtera dengan cara semua problema dan kesulitan itu diangkat darimu. Tetapi di tengah badai kesulitan itu Tuhan memberikan peace beyond your understanding. Banyak orang Kristen tidak bisa menerima hal itu karena kita sudah berpikir seperti ini, bagaimana mungkin orang yang sakit berat bisa mempunyai damai sejahtera? Bagaimana mungkin orang di dalam penderitaan bisa memiliki damai sejahtera? Tetapi ketika problem dan kesulitan itu melingkupi hidup kita dan dia menjadi begitu besar, saudara dan saya tidak akan bisa tidur pada malam hari, bukan? Saudara dan saya tidak bisa menerima fakta bagaimana Yesus bisa tertidur nyenyak di dalam gelombang ombak yang begitu besar yang mengombang-ambingkan kapal. Inilah kebenaran paradoks itu. Di dalam keadaan yang sulit, saya bisa menikmati damai sejahtera, damai sejahtera yang tidak bisa dimengerti orang. Itu sebab Paulus menyebutnya ‘peace beyond understanding.’ Itu artinya saudara berdoa dan membawa persoalan itu kepada Tuhan. Artinya adalah pada waktu pikiran kita tidak sanggup lagi menyelesaikan persoalan itu, kita tidak lagi punya jalan keluar, dan itu menyebabkan kita kehilangan damai sejahtera, mengapa kita tidak bisa terima kebenaran paradoks ini? Tuhan, saya tidak bisa mengatasi persoalan hidup ini, I just bring them all to You, Lord. Biarlah Tuhan berkarya di dalam hidupku.

Persoalan kita dengan anak kita, persoalan kita dengan isteri dan suami, persoalan kita dengan pekerjaan, kita mungkin merasa semua itu tidak terlalu besar selama pikiran kita bisa mengontrolnya. Namun pada waktu semua itu berada di luar kontrol kita, tidak membuat hidup kita kehilangan pengharapan dan damai sejahtera karena ada aspek ini. Pada waktu Tuhan berkarya, di situ kita bisa membuktikan ada sukacita dan damai sejahtera yang melampaui akal manusia. Ini membuktikan Paulus menyadari bahwa Allah adalah Allah yang campur tangan di dalam kehidupan kita. Berapa banyak kita percaya Tuhan, bisa melepaskan cara berpikir kita yang sudah mengungkung iman kita kepada Tuhan? Saya tidak mengatakan cara berpikir linear itu salah, tetapi kita harus menerima fakta ada kebenaran-kebenaran tertentu yang bersifat paradoks, dan Paulus membuktikan hal itu di dalam hidup dia. Dia orang yang berdukacita tetapi bersukacita. Dihajar habis tetapi tetap penuh dengan pengharapan. Hidup dalam kemiskinan namun sanggup memperkaya orang lain. Hidup tidak punya apa-apa tetapi penuh dengan sukacita karena memiliki segala sesuatu.

Jangan biarkan kasih karunia yang terlalu banyak engkau terima itu menjadikanmu kosong. Ini adalah kalimat nasehat sekaligus perintah Paulus, karena dia menyadari kondisi itu ada di dalam kehidupan banyak anak-anak Tuhan di gereja Korintus. Prosperity theology adalah kebenaran linear. You bersukacita kalau kaya. You hidup bahagia dan bisa memuji Tuhan karena Tuhan memberimu kesehatan. Bahaya sekali konsep ini karena kita punya segala sesuatu tidak menyebabkan kita hidup di dalam kelimpahan. Siapa bilang, semakin you diberkati Tuhan, you akan menjadi memberkati orang? Terlalu banyak yang terjadi justru sebaliknya, pertama-tama itu merupakan keinginan di dalam diri saudara, pada waktu keinginan itu dipenuhi makin lama keinginan itu semakin gemuk dan dia akan berubah menjadi serakah dan tamak. Ketika keinginan itu sudah berubah menjadi keserakahan, makin diberi makan dia tidak akan menjadi puas dan kenyang, dan selalu akan mengatakan saya kosong dan tidak mendapat apa-apa. Maka Paulus mengatakan kepada jemaat Korintus, “I urge you, my friends, you already receive a lot of blessings and grace from God, tetapi mengapa engkau menjadikannya kosong dan tidak ada di dalam hidupmu?” Tuhan Yesus mengatakan, “Lebih berbahagia memberi daripada menerima.” Kita tidak mengerti kebenaran paradoks ini. Memang di dalam keempat Injil tidak ada menyebut Yesus mengatakan kalimat ini, maka saya percaya apa yang Paulus kutip ini merupakan kalimat Tuhan Yesus yang tidak tercatat di dalam Injil namun beredar secara oral di dalam jemaat. Yesus mengatakan, “lebih berbahagia…” bukan berarti menerima sesuatu itu tidak bahagia. Sanggupkah saudara bisa menangkap kebenaran paradoks ini? Kita akui, menerima kado membuat kita bahagia daripada memberi kado, bukan? Jadi di mana letak kebenaran paradoks ini? Lebih berbahagia memberi daripada menerima. Bagaimana membuktikannya? Saya ada buktinya. Saya tidak tahu nama anak muda ini, tetapi bendahara kebaktian sore memperlihatkan satu amplop persembahan yang sangat lucu sekali dan membuatnya tertawa. Ketika saya melihatnya, saya menemukan satu keindahan di situ. Anak muda ini memberi persembahan di dalam kebaktian sore dengan menulis kalimat di amplopnya, “Gaji pertama, cihuuuuyyy….!” Itu kalimat bagus sekali. Persembahan itu adalah persembahan dia ketika mendapat gaji pertama. Kata itu, “cihuuuy..!” itu satu cetusan sukacita yang saya percaya tidak bisa direbut siapapun. Itu membuktikan satu bahagia karena perasaan puas yang tidak bisa diganti dengan apapun. Cihuy, artinya I feel good and satisfy about it. Belajar memiliki kebenaran paradoks seperti ini. Itu yang membikin hidup saudara mengerti bahwa kebenaran ini menjadi begitu indah dan saudara tidak akan kehilangan happiness itu dari hidupmu. Saudara memberi sesuatu kepada orang yang mungkin tidak bisa membalas kepada saudara, saudara merasa sudah melakukan sesuatu yang membawa kontribusi bagi orang itu dan membawa satu satisfaction di dalam hatimu.

Yang kedua, saya selalu berkata, saudara memberi membuat pemberian itu mendatangkan bahagia. Itu adalah moment di mana saudara hidup bebas dan tidak diikat oleh apapun juga dalam hidupmu. Itu kebahagiaan yang sejati, kebahagiaan bukan karena kita terikat oleh sesuatu tetapi kebahagiaan karena kita bisa menjadi subjek atas seluruh hidup kita. Saudara tidak diikat oleh uang saudara. Saudara tidak diikat oleh harta saudara. Saudara tidak diikat oleh mobil saudara. Saudara tidak diikat oleh rumah saudara. Saudara tidak diikat oleh account bank saudara. Saudara menjadi subjek yang menguasai semua itu. Apa gunanya saudara mendapatkan segala sesuatu tetapi akhirnya semua itu menjadi tuan yang mengikat hidupmu? Itu yang akan membuat saudara menjadi seperti yang Paulus katakan, the more you get God’s grace, the more empty handed you become. Bagi saya itu adalah satu hal yang tragis sekali. Kalau saudara membaca surat Korintus ini ke belakang, saudara akan melihat Paulus secara halus menegur jemaat Korintus dengan membandingkan mereka dengan jemaat Makedonia yang lebih miskin tetapi rela memberi, sedangkan jemaat Korintus yang lebih kaya, kata Paulus, engkau ‘kenos’ dan kosong di dalam hidupmu.

Yang ketiga, lebih berbahagia memberi daripada menerima, karena pada waktu saudara memberi, saudara fokus kepada apa yang ada pada dirimu dan bukan fokus kepada apa yang tidak ada pada dirimu. Orang yang memberi berarti dia harus sadar terlebih dahulu bahwa dia punya, baru dia sanggup memberi. Orang yang tidak memberi adalah orang yang selalu berpikir apa yang tidak ada dan belum saya miliki dalam hidup dia maka dia tidak memberi. Itu sebab orang yang memberi pasti berangkat dari satu sikap, selalu fokus terlebih dahulu apa yang ada di dalam hidup dia dan bukan apa yang tidak ada di dalam hidup dia. Kalau saudara memiliki fokus seperti itu, saudara akan menikmati bahagia yang dikatakan oleh firman Tuhan ini, karena bahagia di situ bukan soal punya banyak atau tidak banyak, tetapi bahagia di situ karena menyadari terlalu banyak yang sudah saudara terima di dalam hidup ini. Yang tidak berbahagia adalah orang yang selalu berpikir, saya belum punya ini, saya belum punya itu, lama-lama akhirnya tidak bisa melihat apa yang dia punya. Begitu kita bisa menyadari apa yang kita punya, bukan soal itu lebih banyak atau lebih sedikit daripada orang lain, tetapi soal kesadaran kepekaan ada sesuatu dalam diri saya.

Saya menerima satu email dari salah satu jemaat beberapa waktu yang lalu mengenai apa yang terjadi di Cina pada waktu terjadi gempa bumi. Di satu posko yang menerima bantuan bagi korban gempa, ada satu orang pengemis cacat yang datang dan menuangkan semua uang yang dia miliki sebagai sumbangan untuk para korban. Itu adalah satu peristiwa yang sangat menyentuh hati saya.

Pada waktu saudara bisa fokus kepada apa yang ada pada diri saudara, itulah langkah awal saudara bisa bersyukur kepada Tuhan dan itulah langkah awal saudara bisa menikmati kebenaran yang bersifat paradoks ini: the more I give, the more my life become happy. Saudara bahagia sebab ada satisfaction dari memberi. Saudara bahagia sebab itu saatnya you menjadi orang yang bebas di dalam hidupmu. Saudara bahagia sebab saudara terus-menerus belajar fokus kepada apa yang ada dalam hidup saudara dan bukan kepada apa yang tidak ada. (kz)

~ Halaman 2 ~

BAGAIMANA MUNGKIN SAYA BISA MENGAMPUNI?
Sumber Kesaksian : Lisandrea Wentland

Perceraian mencipta luka yang mendalam pada seorang anak.

Jika itu terjadi maka hanya kuasa Tuhan-lah yang mampu menyembuhkan kepedihan hati dan kemarahan mendalam seorang anak terhadap orang tuanya.

Saya masih membenci ayah saya dan sekarang saya ada dalam konflik karena Roh Tuhan memaksa saya melihat diri saya dan memikirkan suatu perubahan.

Ketika saya lahir ayah saya tidak mempersiapkan sebuah rumah bagi seorang anak. Tetangga harus menggantung kain seprei pembatas di satu ruangan untuk menciptakan kamar anak yang bersih untuk saya. Rumah kami adalah ruangan dari proyek kontruksi yang berusia 10 tahun dengan serbuk gergaji sebagai lantainya, dan ruang terbuka berketinggian tiga meter diantara lantai dua dan lantai tiga.

Ayah saya sering memukul anjing dan melempar pisau pada binatang piaraannya dengan kejam. Dia bahkan sering menendang binatang jika sedang marah. Dia juga minum sepanjang waktu, dan jika tidak demikian dia akan tergeletak di dipan setelah berlatih dengan anggota grup band-nya pada pukul 3 dinihari, atau dia akan bermain musik di bar-bar lokal.

Dia tidak pernah menjadi seorang ayah yang saya harapkan. Dia tidak pernah membapai saya.

Saya ingat bagaimana dia berteriak pada saya dengan tidak rasional ketika saya berusia delapan tahun. Itu begitu mengerikan. Ayah saya begitu mengerikan. Saya belajar untuk menjadi tegar terhadap intimidasinya dan tidak hancur terhadap sikapnya. Saya belajar untuk menjaga diri saya sendiri terhadap pria yang lebih tua 27 tahun dari saya itu.

Siapa yang meminta saya untuk dapat mengampuni dia?

Tahun demi tahun ayah saya terus mengecewakan saya. Dia menggagalkan saya, melewatkan nilai-nilai saya. Setelah perceraian dengan ibu saya, dia tidak pernah memberikan janji dan harapan yang baik bagi saya. Dia tidak memberikan dukungan pada anaknya. Dia juga selalu terlambat mengingat waktu-waktu liburan saya. Hari ulang tahun saya, hari yang dia katakan sebagai hari bersejarah dan khusus bagi dia, tidak pernah dirayakan meski dengan panggilan telepon atau hadiah pada waktunya. Sebagai gantinya saya menerima kata-kata penyesalan seperti air mata dan rasa mengasihani diri sebagai ungkapan keputusasaan seorang manusia.

Saya menjadi semakin marah dan semakin marah hingga kemarahan saya meledak terhadap orang lain. Saya mulai menyakiti keluarga saya yang lain karena ayah yang menyakiti saya. Luapan keputusasaan dan frustasi yang saya alami amat ironis, saya menjadi serupa dengan ayah saya.

Saya membenci ayah saya. Saya membenci diri saya karena menjadi serupa seperti dirinya.

Siapa yang mengharapkan saya untuk memberi pengampunan?

Ketika saya mendekati usia 14 tahun saya mendengar tentang Yesus dengan jalanNya yang begitu segar sehingga saya mengerti bahwa saya mengalami pergolakan dalam diri saya. Saya berikan hati saya pada Yesus, namun kehidupan tidak segera menjadi lebih mudah. Saya tidak menemukan diri saya merasa mengasihi ayah saya dalam semalam, seperti halnya kejadian dalam sulap.

Saya masih membenci ayah saya, dan kini saya merasakan adanya konfik karena Roh Tuhan memaksa saya untuk melihat diri saya dan memikirkan adanya suatu perubahan.

Saya mendengar dan membaca tentang pengampunan dan mencoba hingga putus asa untuk mengampuni ayah saya. Ternyata saya dapati hal itu amat mustahil.

Semua yang ada dalam hidup saya terbakar. Dia sudah menyakiti saya. Dia meninggalkan saya. Dia menjadi bagian yang tidak berarti dalam keseharian saya ketika dia masih memegang kendali yang aneh terhadap emosi saya. Saya merasa tersinggung.

Yang paling buruk adalah bahwa dia masih tetap marah dan minum seperti yang saya tahu tentang ayah saya selama ini. Tidakkah seharusnya dia yang berubah dan minta pengampunan dari saya dibanding saya mengampuni dirinya?. Tidakkah seharusnya kami merubah dulu pola pengasuhan dalam keluarga sebelum saya mengampuni ayah saya itu?. Tidakkah seharusnya saya melihat upaya memperbaiki hal ini menjadi bagian ayah saya?

Namun kemudian saya membaca kisah tentang seorang yang berhutang yang tidak mau mengampuni sesamanya di dalam Matius 18:21-35.

Sekarang, bagaimana mungkin saya tidak bisa mengampuni dirinya?

Saya membaca mandat Alkitab dengan pukulan yang jelas dalam hati saya ~ saya tidak dapat menerima pengampunan jikalau saya tidak mau mengampuni!

Kemustahilan menjadi sesuatu yang mungkin bersama dengan Tuhan. Saya mulai berdoa agar hati saya ini dibuat menjadi lembut. Saya berdoa supaya semua prasangka pikiran saya dibuang jauh. Saya berteriak pada Tuhan bahwa saya tidak ingin melakukan hal ini dan saya tidak tahu bagaimana melakukannya, tapi saya minta Tuhan untuk menolong saya. Saya berdoa untuk suatu pemulihan dan kesembuhan.

Saya berdoa karena hanya itulah tindakan yang dapat saya ambil dalam hubungan saya yang "berjarak" dengan ayah saya.

Doa-doa mulai bekerja dalam diri saya. Roh Tuhan tetap bekerja dalam diri saya. Kasih menggantikan kebencian dan saya mulai berdoa untuk keselamatan ayah saya dibanding untuk menyingkirkan dirinya dari kehidupan saya.

Dan berita baiknya bukanlah bahwa ayah saya menjadi sesuatu yang saya harapkan atau bahkan semua yang Tuhan harapkan dari dirinya. Berita baiknya adalah bahwa Tuhan yang mengubah saya, dan mengampuni ayah saya memberi saya kemerdekaan untuk mengasihi dirinya dan orang lain dalam kehidupan saya.

Terlalu banyak dari kita yang begitu buta untuk melakukan suatu tindakan. Kita tidak mengerti dampak tindakan kita telah menimbulkan kemarahan atau gosip dari diri kita yang berdampak memukul orang lain sepanjang perjalanan hidup kita. Kita melihat dampak tindakan kita terhadap orang lain, tapi kita dengan cepat bereaksi terhadap tindakan orang lain yang mempengaruhi diri kita.

Jika seorang dapat memiliki sikap tidak mau mengampuni, lain halnya dengan Yesus. Yesus dari atas kayu salib mengatakan : "Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak mengetahui apa yang mereka lakukan" (Lukas 23:24)

Jika Yesus dapat mengampuni, mengapa kita tidak melakukan hal yang sama?

Inti dari tidak mau mengampuni, kemarahan dan rasa sakit adalah suatu belenggu yang menguasai. Bebannya membuat punggung kita menjadi bungkuk dan hati kita menjadi berat. Itu adalah kegelapan menelan pikiran kita dan menghabiskan gaya hidup kita.

Jika anda memiliki memiliki kemarahan dan perasaan tidak mau mengampuni, anda tahu ini adalah beban. Itu adalah gelap, sesuatu yang berat, bayangan prasangka yang akan mengikuti kemanapun anda melangkah. Orang lain akan melihat hal itu dan bertanya tentang hal itu dan anda akan mempertahankan diri anda dengan berbagai alasan mengapa anda membagikan kepedihan anda pada banyak orang. Tapi alasan-alasan itu hanya akan mencegah anda melakukan semua hal yang benar.

Lenyapkan semua hal itu. Jangan pernah bersekutu dengan hal itu.

Yang terbaik dari Tuhan bagi anda termasuk mengerti tentang pengampunan.

Jika saya ini tidak sempurna, Tuhan Yesus adalah sempurna. Jika orang tua saya begitu tidak sempurna, Kristus sesungguhnya amat sempurna. Jika yang salah seperti ketidakadilan bekerja terhadap hidup saya, maka Tuhan adalah suatu kebenaran. Memikirkan bahwa orang tua saya adalah begitu kurang sebagai orang tua, maka Tuhan adalah Bapa sesungguhnya bagi saya.

Letakkan kemarahan dan sakit hati di kaki salib. Itu mungkin membutuhkan waktu, apalagi jika kerusakannya begitu dalam. Tapi tetaplah bawa hal itu di dasar kaki salib hingga anda mampu mengatur semuanya. Dimana kegelapan menguasai jiwamu sebelumnya, terimalah pengertian tentang kasih yang tidak bersyarat sebagai pengganti.

Ayah saya akan selalu menjadi orang yang tidak sempurna. Tapi janji Tuhan mengatakan: "karena tidak ada seorangpun dari manusia yang tidak berdosa, tidak ada seorangpun (Roma 3:12). Saya merayakan bahwa FirmanNya adalah benar. Dengan pandangan saya dapat mencoba mengerti pengalaman luka hati ayah saya yang membuatnya menjadi manusia yang keras. Kini ia telah berhenti minum (15 tahun tanpa mabuk) dan hidupnya semakin baik.

Dengan pandangan yang baru saya dapat mencoba mengerti bahwa ayah saya tidaklah sempurna dan saya dapat mengasihi dan menerima dirinya. Itu adalah cara yang begitu lega untuk menjalani suatu kehidupan. Saya membuang semua prasangka manusia untuk bisa melihat kehendak Tuhan atas hidup saya. Berkenaan bahwa Tuhan menggenapi semua janjiNya, meski manusia tidak bisa melakukan hal itu. Angkatkah balok dalam matamu sebelum mengambil selumbar dalam mata orang lain (Matius 7:4)

Pengampunan adalah kemerdekaan dalam Tuhan Yesus Kristus.

~ Halaman 3 ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar