Minggu, 12 Juli 2009

EDISI 12 Tahun 2009

AYAH ANAK
Ada seorang ayah yang mempunyai seorang anak. Ia sangat menyayangi anaknya. Suatu hari ketika si anak diajaknya keluar naik mobil, mereka pulang sangat larut. Di tengah jalan, si anak melepas seatbelt-nya karena merasa sangat gerah. Ayahnya meminta anaknya untuk memakainya kembali tapi si anak menolak.

Dan benarlah ketika sampai di sebuah tikungan, tiba-tiba muncul sebuah sepeda motor yang menyebabkan mobil mereka harus mengerem dengan sangat mendadak. Ayahnya selamat, sedangkan anaknya terlempar keluar melalui kaca depan dengan kepala duluan dan membentur aspal.

Langsung saja dilarikan ke rumah sakit. Si anak menderita gegar otak yang cukup parah dan akhirnya harus buta, bisu dan tuli.Si ayah hanya bisa memeluk sambil menangis. Karena anaknya tidak akan bisa mendengar, tidak bisa melihat dan tidak bisa berbicara lagi.

Begitulah kehidupan ayah-anak itu. Dia senantiasa menjaga anaknya.

Suatu ketika anaknya minta es, ayahnya tidak memberikannya karena ayahnya tahu ia sedang panas dalam dan es akan memperparah penyakitnya.

Di suatu musim dingin, anaknya ingin berjalan ke tempat yang hangat tetapi langsung dicegahnya karena ternyata"tempat hangat" itu adalah sebuah gubuk yang sedang terbakar.

Di kesempatan lain, ayahnya membuang liontin kesukaan anak itu. Akibatnya si anak ngambek satu minggu.. Ayahnya sedih sekali karena ia ingin memberitahu anaknya kalau liontin itu sudah berkarat dan bisa melukai dirinya. Tapi keterbatasan komunikasi membuat si anak menyalahkan ayahnya.

Apa daya yang bisa dilakukan sang ayah? Anaknya tidak bisa melihat, menden! gar maupun berbicara.
Ia sangat rindu sekali untuk bersama-sama dengan anaknya dan bermain-main seperti ayah-anak pada umumnya.

Apakah saat ini hubungan kita dengan Allah Bapa seperti ayah dan anak itu?

Ketika Tuhan mengingatkan kita untuk memakai seatbelt itu, kita melepasnya karena dirasa terlalu ketat dan memaksa.

Ketika Tuhan meminta kita untuk taat, kita malah melanggarnya. Akibatnya, kita semakin jauh dari Tuhan, jatuh ke dalam dosa, sehingga beberapa dari berkat kita harus diambil.

Sudah begitu, kita semakin sulit berkomunikasi dengan Allah Bapa. Kita selalu mengeluh, mengapa begini, mengapa begitu.. Seolah-olah yang kita inginkan selalu saja dicegah oleh Allah Bapa. Padahal, tahukah kita kalau Allah Bapa sedang menjauhkan kita dari sesuatu yang berbahaya? Seandainya kita selalu berkomunikasi denganNya lewat doa-doa kita setiap hari, kita akan bisa tahu alasan mengapa Allah Bapa seperti ini kepada kita.

Jangan pernah mencoba melepas seatbelt rohani itu ketika kamu masih dalam sebuah mobil kehidupan yang melaju kencang di jalan raya.

Jangan pernah menyalahkan Tuhan. Ia tidak sejahat itu. Semua rancanganNya adalah indah pada waktuNya.

Komunikasi-lah selalu dengan Tuhan setiap hari. Ambil saat teduh untuk bercakap-cakap dengan Tuhan dan jadilah anakNya yang taat. Amin!

~ Halaman ke 1 ~

KENANGAN INDAH
Aku masih mengingatnya, ketika itu pagi yang dingin dibulan Januari 1950, saat itu aku baru berumur 8 tahun. Aku dan kakak2 ku menghangatkan badan didekat tungku sementara ibu sedang memasak untuk makan pagi kami. Sayup2 kami mendengar suara diloteng seperti bunyi kelereng2 menggelinding melintasi lantai, mendengar suara itu, ayah segera naik keatas untuk memeriksa, tiba2 ayah berteriak "Kebakaran !"

Kami tinggal jauh dipinggiran kota Orrock, Minnesota, belum ada jaringan telpon, sehingga kami tidak bisa minta bantuan, rumah dan sebagian isinya habis terbakar, hanya foto2 keluarga, mesin jahit, barang2 milik pribadi dan pakaian dibadan saja yang terselamatkan. Ayah tidak bekerja sebagai buruh pabrik dimusim dingin, dan kami tidak memiliki uang maupun asuransi kebakaran untuk menggantikan segala kehilangan dalam kebakaran itu.

Setelah beberapa hari kami menumpang dirumah sanak-saudara, ayah meminjam uang untuk menyewa rumah petani disekitar itu. Sedangkan ibu mengatur rumah dengan kursi, meja, tempat tidur serta peralatan dapur yang disumbangkan para saudara dan sahabat.

Tak banyak yang kami miliki sebelum kebakaran itu, walaupun demikian kami tidak pernah merasa miskin. Sekarang saya harus memakai pakaian yang kedodoran pemberian belas kasihan sesama, sambil memandang sebuah meja yang sudah mengelupas, kursi2 yang tidak serasi, handuk2 bekas dan spatula yang tangkainya sudah patah. Saya terharu sehingga tidak kuat lagi menahan tangis airmata. Sungguh kami menjadi orang miskin yang tidak layak
mendapatkan yang lebih baik. Namun kami selalu bersyukur dan mengucap terima kasih kepada orang2 yang sudah memberi kami barang2 bekas tersebut, saat2 itu memang sangat sulit dan menyedihkan buat kami dalam menjalani hidup ini.

Dalam keadaan ekonomi yang masih morat-marit itu, tiba2 ada seorang tetangga datang membawa hadiah. Ia menyerahkan satu set sarung bantal, selimut tebal serta seperey yang bermotif sulaman bunga mawar yang sungguh indah kepada ibu. Kami semua tertegun dan kagum, kami hampir tidak percaya bahwa ia memberikan kepada kami sulaman2 indah cemerlang yang berwarna merah jambon tersebut. Orang-orang lain memberikan apa yang sudah tidak mereka inginkan lagi, tetapi tetangga ini justru memberikan barang-barang terbaik yang ia miliki untuk kami!

Kami belum lama tinggal dilingkungan itu sebelum kebakaran, sesudahnya kami segera pindah dan kehilangan kontak dengan para tetangga. Sekarang sudah hampir 58 tahun berlalu, kami tidak ingat lagi siapa yang memberi hadiah tersebut, tetapi kami masih tetap mengingat perasaan memiliki harga diri yang diberikannya kepada kami. Kami selalu berusaha berbuat baik, karena semua ini juga mengingatkan kami kepada seseorang mau memberi kami hadiah yang begitu indah dan berharga.

Itulah salah satu kenangan yang terindah dalam hidupku dan kerapkali menjadi contoh hal yang membimbing tindakanku. Mereka memberikan sesuatu yang terbaik dari apa yang mereka miliki.

Pesan Moral :
Natal sudah diambang pintu, itu menandakan bahwa Kristus sudah datang.
Hadiah apa yang dapat kita berikan kepada-Nya?
Barang2 berharga yang kita miliki kah atau bar
ang-barang bekas?

~ Halaman ke 2 ~

PRIBADI YANG BERINTEGRITAS
"Lebih baik penghasilan sedikit disertai kebenaran, dari pada penghasilan banyak tanpa keadilan." Amsal 16 : 8

Ini adalah kisah tentang seorang Bapak yang sesungguhnya tidak pernah saya kenal. Saya mendengar namanya dari kesaksian orang-orang di sekelilingnya. Nama beliau adalah Pak Niti. Beliau meninggal kurang lebih 3 tahun yang lalu dalam usia tujuh puluh sekian.

Pak Niti adalah seorang pensiunan pejabat Departemen Keuangan. Semasa menjabat sebagai pegawai berkedudukan lumayan di wilayah Departemen basah tersebut, beliau sangat sederhana.Ia terkenal jujur dan takut akan Tuhan. Ia hanya hidup semata-mata dari gaji dan penghasilannya mengajar di sebuah perguruan tinggi. Kadang-kadang beliau pun menulis buku ilmiah yang berhubungan dengan bidang study yang digelutinya yaitu ekonomi. Pada masa itu gaji pegawai negeri sangat kecil, begitu pun dengan gaji seorang dosen. Namun Pak Niti tetap setia pada pekerjaannya dan kejujurannya.

Pak Niti memiliki 6 orang anak, namun hanya 2 orang yang sanggup ia biayai ke perguruan tinggi.Puji Tuhan, semua anaknya menjadi orang yang sangat berhasil. Salah seorang anaknya bercerita tentang kisah apel merah kepada saya. Suatu kali mereka memiliki 1 buah apel merah. Karena hanya ada satu apel dan ada 6 orang anak yang ingin mencicipinya, 1 buah apel merah tersebut dibagi enam agar ke-6 anaknya dapat makan apel tersebut. Sementara Pak Niti dan istrinya, yang juga sebenarnya ingin mencicipi apel tersebut memilih mengalah pada anak-anak mereka. Perasaan saya langsung mengharu-biru mendengar kisahnya. Terbayang dalam pikiran saya, betapa berat tentunya bagi Pak Niti saat itu.Satu sisi ia ingin membelikan semua anaknya apel, namun di sisi lain ia sendiri tidak punya uang lebih.Walau tak tampak menangis di depan semua anaknya, pasti hatinya menjerit.

Seorang bapak yang sangat mengenal Pak Niti berkata kepada saya, "Saya salut dengan Pak Niti. Beliau benar-benar orang yang bersih dan jujur. Namun sayangnya akibat kejujurannya, dia tidak memiliki harta apa-apa selain rumah dan buku-buku yang sangat dicintainya. Walau salut, saya tidak sepaham dengan beliau. Kita hidup di dunia yang abu-abu, kalau kita mau tetap putih ya begitulah akibatnya." Saya tertegun.

Pak Niti adalah kisah nyata pribadi yang jujur dan takut akan Tuhan, namun dianggap ironis oleh dunia, karena tidak memiliki harta sebagaimana yang dimiliki oleh mantan pejabat lainnya.Ironis karena hanya mampu menyekolahkan 2 dari 6 anaknya ke perguruan tinggi. Bagi dunia, Pak Niti adalah sebuah ironi. Tetapi tidak bagi saya. Pak Niti adalah pribadi yang berintegritas.

APAKAH INTEGRITAS ITU ?

Seorang dikatakan berintegritas apabila ia :
1. Selalu menepati janji
2. Senantiasa memegang komitmen dan tanggung jawab
3. Senantiasa menunjukkan konsistensi dalam sikap, perkataan dan perbuatan
4. Satu antara kata dengan perbuatan. Perbuatan dan kata-kata berjalan seiring.
5. Memegang teguh kejujuran dan keterbukaan
6. Menepati dan menghargai waktu
7. Menjaga prinsip-prinsip yang diyakini

Pak Niti memiliki semua kriteria tersebut di atas. Kisah Pak Niti adalah kisah yang juga menunjukkan kepada saya bahwa sekalipun buat dunia itu dianggap kebodohan untuk hidup jujur, bersih, tulus dan memegang teguh komitmen, namun tidak bagi Tuhan. Tuhan memperhitungkan semua yang Pak Niti lakukan. Amsal 10:3a "TUHAN tidak membiarkan orang benar kelaparan" itu terjadi dalam kehidupan Pak Niti sekeluarga. Walau kisah Apel itu ada, namun mereka bersaksi bahwa mereka tidak pernah tidak makan.

Saya percaya Pak Niti pasti bahagia pada akhir hidupnya, karena ia mendapati semua anaknya menjadi orang yang berhasil di bidangnya. Mereka menempati posisi Top Management di perusahaan tempat mereka bekerja dan istrinya menyerahkan diri untuk melayani Tuhan full time di gerejanya. Siapa bilang ironi? Justru happy ending kan?

"Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan sorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya."Mazmur 126 :5-6

~ Halaman ke 3 ~

HARGA SEBUAH HARAPAN
Danielle duduk sambil mendesah, perasaannya galau dan sangat letih. Pengalaman hari itu membuatnya frustrasi. Hanya dengan empat puluh dollar di dalam dompet, dia dengan putus asa berusaha mencari bank yang mau memberikan uang terhadap pembayaran berbentuk cek yang ada di tangannya. Dia tinggal di kota kecil, dan tidak terdaftar di salah satu bank di sana - dan bank tampak- nya tidak memiliki niatan untuk membantu. Selama dua minggu dia berusaha dan berusaha - tapi tampaknya tidak berguna. Dengan uang tunai yang berkurang dengan cepat, dia tidak memiliki lagi sumber keuangan yang lain. Bagaimana dia bisa terus menopang hidupnya sendiri beserta kedua anaknya? Dia hanya berpikir berapa lama lagi dia dan kedua anaknya dapat bertahan dengan uang yang tersisa. Untuk melepaskan diri dari segala beban yang sedang ditanggungnya, Danielle memutus- kan untuk mengikuti pertemuan di Pusat Dukungan Wanita yang ada di kota kecil itu. Para wanita yang ada di pertemuan itu telah banyak memberi semangat hidup padanya saat dia lari dari rumah untuk menyelamatkan diri. Pikirannya mengembara kemana-mana saat dia duduk di ruang pertemuan. Dengan keputusasaan yang dalam, dia ingin agar dapat memperoleh harapan dan semangat yang baru sehingga bisa menjalani hidup sebagai orang tua tunggal. ”Selamat siang semuanya,” terdengar suara yang membuyarkan lamunan Danielle. Itu adalah pemimpin kelompok wanita itu. “Apakah ada yang mau mulai?” Duduk di samping Danielle, Amy membersihkan tenggorokannya. “Saya,” katanya. Amy mulai menceritakan secara terperinci keadaan hidupnya yang sangat menyedihkan. Dia mulai dari masalah pribadi yang berat dengan suaminya dan baru beberapa hari kehilangan rumah dan mobilnya. Telepon dan aliran listrik terancam akan diputus. Suaminya telah menghabiskan seluruh uangnya untuk judi. Dia juga tengah berjuang untuk melepaskan diri dari kecanduan obat-obatan. Hubungan dengan suaminya memburuk sampai pada tahap mengancam keselamatan dirinya. Uang terakhir yang ada sudah dibelanjakan membeli makanan untuk anaknya dan pempers untuk bayinya. Tidak ada lagi yang tersisa. Sama sekali tidak ada. Saat Amy meneruskan penjelasannya, Danielle mendengar bisikan Tuhan di dalam hatinya. “Setelah pertemuan selesai, berikan dua puluh dollar pada Amy.” Tapi Danielle langsung berpikir, “Tapi saya tidak bisa. Saya hanya punya empat puluh dollar satu-satunya.” Kembali dia mendengar perintah itu, bahkan lebih jelas.

Danielle tahu bahwa dia harus taat. Saat selesai pertemuan, dia mengambil dompet dan perlahan menarik uang dua puluh dollar untuk Amy. Karena mengetahui keadaan Danielle, awalnya Amy enggan untuk menerima pemberian itu. Tetapi saat para wanita lain berda- tangan memberi Amy pelukan dan dukungan, Danielle berkata padanya bahwa Tuhan menginginkan hal itu dilakukanya. Kemudian Danielle keluar. Saat Danielle membuka pintu mobil, dia mendengar namanya dipanggil. Dia menoleh saat Amy melangkah ke arahnya, Air mata mengalir di pipi saat Amy berkata, “Bagaimana kamu bisa tahu?” tanyanya. Air mata itu semakin deras saat Amy mengambil dompetnya. Dari dalam dia dia menggeluarkan selembar kertas kuning botol obat. “Saya mengambilnya kemarin.” Dia menunjukkan kalimat di barisan bawahnya. “Saya penderita diabetes yang bergantung dengan obat. Saya perlu obat ini setiap hari sepanjang hidup. Sampai tadi pagi saya tidak tahu bagaimana saya bisa membeli obat ini lagi untuk menyambung hidup.” Air matanya kembali mengalir saat dia menunjukkan bahwa obat itu harganya tepat dua puluh dollar!. Itu adalah saat dimana Danielle merasa diperbaharui semangatnya dengan harapan dan kedamaian. Dia berkata pada Amy, bahwa dia tidak tahu kalau Amy memerlukan obat diabetes itu; tetapi Tuhan tahu. Saat dia melihat bahwa masalah Amy jauh lebih besar daripada yang dihadapinya, Tuhan memperlihatkan bahwa Ia mampu menolongnya menuntun setiap langkah dan memenuhi setiap kebutuhan hidupnya sehingga bisa melewatinya, satu langkah setiap saat. Kata-kata penghiburan dan penguatan yang diucapkan Danielle kepada Amy sebetulnya adalah kata-kata untuknya sendiri. Sekarang, hanya dengan dua puluh dollar di dalam dompet, dia mencoba sekali lagi untuk menukarkan ceknya dengan uang tunai di beberapa bank dalam perjalan pulang. Saat dia mengantisipasai terhadap kemungkinan penolakan yang telah dihadapi diibeberapa bank sebelumnya, hatinya sekarang sudah penuh dengan rasa percaya diri dan semangat yang baru. Dengan harapan di tangan, dia masuk ke bank yang ada di dekat kantor Pusat Dukungan Wanita. Tak berapa lama, bank itu memberikan sejumlah uang membayarkan cek yang dia sodorkan tanpa banyak bertanya! Dengan wajah berseri-seri Danielle pulang. Saat tahu bahwa hari-hari yang penuh kepastian akan perubahan pasti tiba, dia menemukan harapan baru yang menyala-nyala. Dia tidak pernah bertemu Amy lagi, tetapi dia percaya bahwa Tuhan pasti menjaga kehidupannya Amy beserta kedua anaknya – seperti halnya dia juga merasa yakin bahwa Tuhan menjaga hidupnya dan kedua anaknya sendiri.

Tiga tahun berlalu, saat Danielle menyadari bahwa harapan yang sebenarnya tidak ditentukan oleh banyaknya uang. Dia terus berterima kasih karena Tuhan mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya, sehari demi sehari - lebih dari dua puluh dollar yang pernah tersisa di dalam dompetnya. (Oleh Susan Hamilton)

~ Halaman ke 4 ~

KEKUATAN DOA DALAM PENYEMBUHAN

Aku dan suamiku merasa letih pada hari Natal itu. Sebagai dosen, kami telah menyerahkan nilai-nilai semester sebelumnya pada musim gugur. Kami segera menyiapkan beberapa kopor dan mengajak anak-anak untuk mengadakan perjalanan ke rumah kakek dan nenek mereka di California.

Suamiku, David, tergores jarinya ketika ia menutup kopor. Jarinya tak berdarah dan ia pun tak menghiraukannya. Ketika kami akan berangkat, ayahku menelepon dan mengatakan bahwa ibunya atau nenekku baru saja meninggal dunia. Pemakamannya akan dilangsung-kan segera sesudah hari Natal.

Pada Malam Natal, David mengatakan bahwa dia merasa sakit di bawah lengannya. Tetapi ia berpikir bahwa sakit itu akan hilang dengan sendirinya. Selanjutnya, kami berkumpul dan membuka sumbangan simpati bersama-sama anak-anak kami dan orang-orang yang datang pada acara pemakaman.

Tiba-tiba, David gemetar dan harus berbaring ketika hadiah terakhir dibuka. Dua hari berikutnya, David memburuk. Badannya terasa sakit, terutama lengannya. Ia hampir tidak bisa menahan rasa sakitnya dan akhirnya muntah-muntah. Aku menelepon dokter kami di Utah.

Menurut dokter, David mungkin terserang influenza. Pada Selasa pagi, aku merasa bahwa David bisa ditinggalkan selama satu jam. Kami pergi ke gereja untuk pemakaman Nenek. Lagipula, aku ikut berbicara pada acara pemakaman itu. David bisa mengurus dirinya untuk beberapa saat.

Acara pemakaman itu bisa menjadi sarana reuni yang hangat dengan saudara-saudaraku. Aku adalah cucu perempuan yang paling tua sehingga aku berbicara mewakili semua cucu perempuan. Nenek meninggal dunia pada usia 94 tahun. Menurutku, ia mempunyai hidup yang panjang dan produktif. Para wanita dari keluarga Waite adalah pribadi-pribadi yang kuat. Ketika aku duduk, seorang tetangga memberiku sebuah kertas berisi pesan singkat yang dikirim oleh gereja bahwa suamiku telah dibawa ke rumah sakit dengan ambulans.

Ketika aku tiba di rumah sakit, aku mendapatkan David di ambang kematian. Ia hampir tidak sadar. Tetapi ia cukup sadar untuk merasakan sakit yang hebat. Di tengah rasa sakit. Akhirnya, ia meninggalkan rumah sakit dan pulang dengan perayaan besar. Ketika kami tinggal berdua, aku dan David saling memandang dan memutuskan untuk mencoba bermain piano di rumah. Menurutku, bila ia dapat bermain beberapa nada, aku akan menganggap itu sebagai suatu keberhasilan.

Dengan kekhawatiran, David meletakkan kedua tangannya di atas deretan tuts piano. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Apakah jari-jarinya dapat bekerja? Apakah keterampilannya hilang untuk selamanya? Aku menahan napas. David mulai bermain. Secara luar biasa ia masih dapat memainkan piano dengan sangat indah. Ia menggubah sebuah karya musik saat itu.

Tetapi itu bukan akhir dari kemajuan David. Dari Natal itu sampai ke Natal berikutnya, David menjalani terapi fisik untuk mengembalikan kelenturan di dada, punggung, dan lengannya.

Ketika Natal berikutnya hampir tiba, kami memutuskan untuk mengunjungi orang tuaku di masa liburan. Ini untuk membuktikan kepada mereka bahwa kami dapat berlibur tanpa seorang pun yang sakit atau masuk rumah sakit. Dengan semangat tinggi, David menelepon ahli bedahnya dan mengingatkannya tentang tantangan untuk bermain tennis. Si ahli bedah senang mendengarkan tantangannya.

Pada malam Natal, David dan dokternya bertemu di sebuah lapangan tenis. Mereka bermain ganda melawan sepasang dokter lainnya. Ahli bedahnya bersorak setiap kali

David memukul bola. Ia memanggil dokter-dokter lain ke jaring net untuk memperlihatkan bekas-bekas dan cangkokan kulit di sekujur tubuhnya. Pada akhir permainan, David dan ahli bedahnya menang 40-0.

Meskipun tahun itu merupakan tahun yang sangat sulit bagi kami, masa itu merupakan masa yang kudus. Keluarga kami mengalami tiga mukjizat melalui cinta dan doa-doa ratusan orang di sekeliling kami. David hidup, ia tetap mempunyai kedua lengannya, serta ia dapat bermain tenis dan memainkan sonata-sonata Beethoven.

Aku mendapati bahwa sebagian besar doa permohonanku telah berubah menjadi doa ucapan syukur.

4} Aku mau bersyukur kepada-Mu di antara bangsa-bangsa, ya TUHAN, dan aku mau bermazmur bagi-Mu di antara suku-suku bangsa;

5} sebab kasih-Mu besar mengatasi langit, dan setia-Mu sampai ke awan-awan.

Mazmur 108 : 4 - 5

~ Halaman ke-5 ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar