Kamis, 03 Juli 2008

EDISI 03 Tahun 2009

MARILAH KEPADA-KU
[Matius
11:25-30]

"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu."
[Matius 11:28]

Siapa yang pernah membayangkan, bahwa kesuksesan Edward Evans dimulai dari sebuah perjuangan dan penderitaan. Ia dibesarkan dari sebuah keluarga yang sangat miskin, namun karena tekad yang besar ia mulai melangkah untuk memulai sebuah usaha sendiri, untuk mendapatkan modal, ia meminjam uang dari bank US $ 50.-. Ia terus berjuang dengan tekun hingga memperoleh hasil US $ 200,000.- per tahun. Kehidupan bagai roda yang berputar, suatu saat Evans mengalami kebangkrutan dan ia harus melunasi hutang di bank yang kian menumpuk. Akhirnya ia pun menjadi sangat tertekan dan depresi. Suatu hari ia pingsan di tengah jalan dan harus dibawa ke rumah sakit, keadaannya semakin melemah dan dokter menyatakan, bahwa usianya tinggal 2 minggu lagi. Mendengar vonis tersebut ia sangat terkejut, seakan dibangunkan dari mimpi ia bertekad untuk mempertahankan hidupnya, ia membuang jauh-jauh kesedihan dan beban yang menekannya selama ini. Ia mulai melupakan, bahwa ia punya hutang, yang ada dipikirannya hanyalah ia harus sehat dan tetap hidup. Akhirnya ia mulai bisa makan dengan enak, bisa tidur nyenyak dan mulai bersemangat lagi. Hanya dalam waktu 1,5 bulan saja ia bangkit kembali dan mulai bekerja sebagai penjual balok dengan penghasilan
US $ 30.- seminggu, beberapa tahun kemudian ia menjadi direktur The Evans Company.

Banyak dari kita yang sering terjebak dengan masalah dan tekanan, saat kita menghadapi suatu masalah, maka pikiran kita terus menerus tertuju pada masalah itu, hal inilah yang membuat kita menjadi lemah bahkan tak memiliki kekuatan untuk menghadapi masalah dan keluar sebagai pemenang. Jika saja Evans tidak mendengar perkataan dokter tentang waktu hidupnya tinggal 2 minggu, mungkin ia akan benar-benar meninggal bukan karena penyakit tetapi karena perasaan depresi dan tertekan. Hari ini mari bangkit, apapun masalahmu serahkan pada Tuhan dan jangan engkau memikulnya sendiri, Yesus telah berkata: "Marilah kepada-Ku, hai kamu yang letih lesu dan berbeban berat..."

SERINGKALI KEMATIAN BUKAN DISEBABKAN OLEH PENYAKIT TETAPI OLEH PERASAAN TERTEKAN.

~ Halaman ke-1 ~

1 PRIA, 1 WANITA
Penulis Pdt. Dr. Paul Gunadi

Ada satu fenomena baru yang sedang menggejala di kalangan orang Kristen, yakni, beristrikan lebih dari satu. Sudah tentu fenomena beristrikan lebih dari satu bukanlah sesuatu yang baru; yang baru adalah argumentasi para pria ini yang mengatakan bahwa Alkitab sendiri tidak pernah melarang kita untuk beristrikan lebih dari satu. Di bawah ini saya akan memaparkan argumentasi saya untuk menjawab masalah ini.

Memang benar Alkitab tidak secara eksplisit melarang suami menikah lagi dan Tuhan tidak memberikan teguran atau larangan secara langsung kepada hamba-hamba- Nya yang mempunyai istri lebih dari satu Sebagaimana kita ketahui, Abraham, Yakub, Daud, dan Solomo beristrikan lebih dari satu. Pertanyaannya adalah, apakah Tuhan menghendaki mereka beristrikan lebih dari satu ataukah Tuhan membiarkan mereka beristrikan lebih dari satu.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengetahui desain atau rencana Tuhan tentang pernikahan pada awalnya. Mari kita lihat Kejadian 2:24: ‘Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging.’ Pada pernikahan pertama ini, dengan jelas kita dapat melihat bahwa Tuhan mendesain pernikahan antara satu pria dan satu wanita. Sama sekali tidak tersirat adanya desain pernikahan ganda atau majemuk yakni beristrikan atau bersuamikan lebih dari satu.

Berikutnya, istilah ’satu daging’ merujuk kepada kesatuan yang sempurna dan tidak terpisahkan. Alkitab tidak menggunakan istilah ‘keduanya berpasangan’ atau ‘keduanya berdampingan.’ Alkitab memakai istilah, ‘keduanya menjadi satu daging’ ibarat sirup dan air yang telah larut bersama. Atau, jika kita tetap menggunakan konsep daging, kita dapat menyamakannya dengan daging seorang anak yang merupakan perpaduan darah dan daging ayah dan ibunya. Dapatkah kita memilah-milah daging anak dan mengatakan bahwa bagian daging ini dari ibunya dan bagian daging itu dari ayahnya? Jawabannya sudah tentu, tidak.

Konsep kesatuan ini diulang oleh Paulus di Efesus 5:28, ‘Siapa yang mengasihi istrinya, mengasihi dirinya sendiri.’ Mengapakah mengasihi istri identik dengan mengasihi diri sendiri? Tepat pada ayat yang sama, Paulus menjelaskan, ‘Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri.’ Dengan kata lain, suami dan istri telah menjadi suatu kesatuan yang sempurna sehingga keduanya telah larut dan melebur menjadi satu. Itu sebabnya Firman Allah menegaskan bahwa suami yang mengasihi istrinya sebenarnya mengasihi dirinya sendiri.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah mungkin kesatuan itu dipisahkan kembali dan dileburkan dengan perempuan lainnya? Kalau ada yang menjawab, mungkin, itu sama dengan mengatakan bahwa kita dapat memilah-milah daging seorang anak dan membedakan mana yang dari ayahnya dan mana yang dari ibunya. Saya kira jawabannya jelas, tidak mungkin! Itu sebabnya konsep pernikahan yang Tuhan tetapkan pada awalnya adalah antara satu pria dengan satu wanita. Tidak ada penjelasan atau keterangan tentang pernikahan berikutnya karena memang Tuhan tidak pernah mendesain atau merancang pernikahan selanjutnya. Beristrikan lebih dari satu berlawanan dengan konsep satu daging!

Selain di Kejadian 2, kita hanya dapat menemukan pembahasan spesifik mengenai pernikahan di Perjanjian baru yakni di Efesus 5:22-33, Kolose 3:18-19, 1 Petrus 3:1-7. Pada semua ayat ini, Tuhan selalu menyebut satu suami dan satu istri (bentuk tunggal); tidak ada satu ayat pun yang menyebut ‘istri-istri’ (bentuk jamak). Jadi, pada setiap kesempatan, tatkala Alkitab membicarakan tentang pernikahan, Alkitab selalu konsisten yaitu pernikahan adalah antara satu pria dengan satu wanita.

Pertanyaan yang mungkin timbul adalah, mengapa para tokoh Alkitab itu mempunyai lebih dari satu istri? Jawabannya jelas, yakni pada mulanya Tuhan tidak menghendaki manusia beristrikan lebih dari satu, namun karena kekerasan hati manusia dan nafsu dagingnya, Tuhan membiarkan manusia beristrikan lebih dari satu!

Adakalanya manusia melanggar kehendak Tuhan, adakalanya manusia menyimpang dari kehendak Tuhan. beristrikan lebih dari satu masuk dalam kategori yang kedua, yakni manusia menyimpang dari kehendak Tuhan. Baik melanggar maupun menyimpang, keduanya memiliki satu kesamaan yaitu keduanya tidak berada dalam kehendak Tuhan.

Lepas dari kehendak Tuhan yang tersurat di Alkitab, sebenarnya Tuhan sudah memberikan pelita-Nya di dalam hati nurani kita sekalian. Itu sebabnya sejarah manusia memperlihatkan bahwa perjalanan pernikahan bukannya menuju ke arah beristrikan majemuk melainkan beristrikan tunggal. Pada masa lampau hak asasi wanita begitu tertindas sehingga wanita tidak berdaya menyuarakan pilihannya yaitu tidak ingin dimadu. Sekarang, tatkala hak asasi wanita mulai mendapat pengakuan, wanita dengan suara bulat berseru, Kami tidak ingin dimadu!

Dengan kata lain, pada mulanya wanita tidak pernah dan tidak akan mengizinkan suaminya beristrikan lebih dari satu. Namun dalam kondisi tertindas, wanita terpaksa menerima keputusan suaminya yang ingin beristrikan lebih dari satu. Bukankah kita yang pria juga akan merasa sangat tidak bahagia jika anak perempuan kita dijadikan istri kedua atau menantu laki-laki kita ternyata mempunyai istri lain?

Firman Tuhan memerintahkan, Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya (Efesus
5:25) Bagaimanakah Tuhan mengasihi jemaat-Nya? Pertama, Tuhan Yesus tidak menduakan jemaat-Nya dan kedua, Ia menyerahkan diri-Nya bagi jemaat. Implikasinya, suami tidak boleh menduakan istrinya dan suami harus menyerahkan dirinya kepada istrinya, bukan menyerahkan dirinya kepada wanita atu istri yang lain. Suami yang mengasihi istrinya tidak akan menikahi perempuan lain karena perbuatan itu sangat melukai hati istrinya. Sebagai pria, hati kita pun akan sama hancurnya bila istri kita berganti-ganti pelukan: malam ini dengan kita, besok dengan pria yang lain. Firman Tuhan berkata, Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. (Matius 7:12)

Sebagai penutup, saya ingin mengutip dari Matius
6:24, Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Pernikahan merupakan suatu pengabdian; kita tidak bisa, tidak mungkin, dan tidak boleh mengabdi kepada dua tuan.

~ Halaman ke-2 ~

BEBEK ATAU AYAM
Sepasang pengantin baru tengah berjalan bergandengan tangan di sebuah hutan pada suatu malam musim panas yang indah. Mereka sedang menikmati kebersamaan yang menakjubkan tatkala mereka mendengar suara dikejauhan: "Kuek! Kuek!"

"Dengar," kata si istri, "Itu pasti suara ayam."

"Bukan, bukan. Itu suara bebek," kata si suami.

"Nggak, aku yakin itu ayam," si istri bersikeras.

"Mustahil. Suara ayam itu 'kukuruyuuuk!', bebek itu 'kuek! kuek!' Itu bebek, Sayang," kata si suami dengan disertai gejala-gejala awal kejengkelan.

"Kuek! Kuek!" terdengar lagi.

"Nah, tuh! Itu suara bebek," kata si suami.

"Bukan, Sayang. Itu ayam. Aku yakin betul," tandas si istri, sembari menghentakkan kaki.

"Dengar ya! Itu adalah bebek, B-E-B-E-K. Bebek! Mengerti?" si suami berkata dengan gusar.

"Tapi itu ayam," masih saja si istri bersikeras.

"Itu jelas-jelas bue bek, kamu kamu."

Terdengar lagi suara, "Kwek! Kwek!" sebelum si suami mengatakan sesuatu yang sebaiknya tak dikatakannya.

Si istri sudah hampir menangis, "Tapi itu ayam."

Si suami melihat air mata yang mengambang di pelupuk mata istrinya, dan akhirnya, ingat kenapa dia menikahinya. Wajahnya melembut dan katanya dengan mesra, "Maafkan aku, Sayang. Kurasa kamu benar. Itu memang suara ayam kok."

"Terima kasih, Sayang," kata si istri sambil menggenggam tangan suaminya.

"Kwek! Kwek!" terdengar lagi suara di hutan, mengiringi mereka berjalan bersama dalam cinta.

Maksud dari cerita bahwa si suami akhirnya sadar adalah: siapa sih yang peduli itu ayam atau bebek? Yang lebih penting adalah keharmonisan mereka, yang membuat mereka dapat menikmati kebersamaan pada malam yang indah itu.

Berapa banyak pernikahan yang hancur hanya gara-gara persoalan sepele?
Berapa banyak perceraian terjadi karena hal-hal "ayam atau bebek"?

Ketika kita memahami cerita tersebut, kita akan ingat apa yang menjadi prioritas kita. Banyak hal jauh lebih penting ketimbang mencari siapa yang benar tentang apakah itu ayam atau bebek. Lagi pula, betapa sering kita merasa yakin, amat sangat mantap, mutlak bahwa kita benar, namun belakangan ternyata kita salah? Lho, siapa tahu? Mungkin saja itu adalah ayam yang direkayasa genetik sehingga bersuara seperti bebek!

14] Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.
15] Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah.
18] Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.
19] Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.
[ Kolose 3:14-15,18-19 ]

~ Halaman ke-3 ~

GOD WILL MAKE A WAY (DIA BUKA JALAN)
Lagu ini diciptakan oleh Don Moen setelah tragedi yang dialami keluarganya. Di suatu larut malam Don Moen menerima telpon yang memberitakan berita menyedihkan bahwa adik iparnya telah kehilangan putra sulungnya dalam suatu kecelakaan mobil.

Craig dan Susan Phelps dan keempat anak mereka sedang melakukan perjalanan dari Texas ke Colorado saat mobil mereka ditabrak oleh truk peti kemas. Pada saat tabrakan terjadi semua anak mereka terlempar keluar dari mobil, hanya mereka berdua saja yang masih di dalam mobil. Dengan susah payah mereka berdua mencari keempat anak mereka dan mengumpulkannya di suatu tempat. Keempat anak mereka mengalami luka parah,tapi sewaktu Craig ( ia seorang dokter) mendapati Jeremy, anak itu telah meninggal karena patah leher, sehingga tak ada lagi yang dapat dilakukan untuk menolongnya.

Sewaktu Don Moen menerima kabar tersebut beberapa jam kemudian ia berkata, “Saya merasa terguncang, tapi besok saya harus terbang ke kota lain untuk melakukan rekaman sesuai dengan jadwal yang telah diatur beberapa minggu sebelumnya. Sekalipun saya tahu mereka berduka, saya tak dapat bersama mereka sampai satu hari sebelum pemakaman.

Dalam penerbangan pagi itu Tuhan memberinya suatu inspirasi baginya satu lagu baru dengan syair sebagai berikut , “God will make a way where there seems to be no way. He works in ways we cannot see. He will make a way for me. (Dia buka jalan saat tiada jalan, dengan cara yang ajaib Dia buka jalan ku)”

Dasar dari lagu ini adalah Yesaya 43:19,”Lihat, Aku hendak membuat membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya?” Ya, aku hendak mebuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara.”

Di kemudian hari Susan menulis,”Kami melihat kebenaran dari ayat tersebut.” Sewaktu teman-teman Jeremy mengetahui bahwa ia telah menerima Kristus sebelum ia meninggal, mereka mulai bertanya-tanya kepada orangtuanya masing-masing tentang suatu jaminan bahwa mereka dapat ke surga sewaktu mereka meninggal. Kecelakaan itu juga membawa berkat terselubung bagi Craig dan Susan, karena sejak peristiwa itu hubungan mereka dengan Tuhan semakin meningkat dan mereka masuk ke dalam pelayanan yang lebih lagi padaNya.

Susan juga menceritakan,” Di hari kecelakaan itu sewaktu saya keluar dari mobil untuk menolong anak saya, saya merasa bahwa putra sulung saya telah meninggal. Dan saya mempunyai pilihan untuk marah dan mengalami kepahitan atau secara total menerima semua rencanaNya pada saya. Dan saya pun melihat buah dari semua pilihan saya itu, dan pilihan yang saya ambil, akan berulang secara terus menerus. Saya merasa bahwa kematian putra saya tak sia-sia, begitu saya mengetahui di kemudian hari begitu banyak jiwa yang datang pada Tuhan karena tragedi ini. Benar ! Ia telah membuka jalan bagi kami sekeluarga.”

Segera setelah “God Will Make Away” masuk dapur rekaman, Don Moen menerima begitu banyak telpon, surat dan sharing yang menceritakan tentang tragedi yang mereka alami. Semua telpon dan surat yang masuk mempunyai tema yang sama bahwa Tuhan telah membuka jalan bagi mereka, saat mereka dalam keadaan putus harapan. Betapa Tuhan telah membawa mereka keluar dari situasi mereka yang tak ada harapan dengan memberi mereka kekuatan, iman dan harapan baru untuk menghadapi kehilangan yang mereka alami.

Kesaksian ini membuktikan sekali lagi bahwa Tuhan akan membuka jalan bagi mereka yang menaruh harapan kepadaNya, dan hal ini bukanlah suatu hal yang sia-sia.

~ Halaman ke-4 ~

THE ROOM
Cerita di bawah ini tentang Brian Moore yang berusia 17 tahun, ditulis olehnya sebagai tugas sekolah. Pokok bahasannya tentang sorga itu seperti apa. “Aku membuat mereka terperangah,” kata Brian kepada ayahnya, Bruce. “Cerita itu bikin heboh. Tulisan itu seperti sebuah bom saja. Itulah yang terbaik yang pernah aku tulis.” Dan itu juga merupakan tulisannya yang terakhir.


Orangtua Brian telah melupakan esai yang ditulis Brian ini sampai seorang saudara sepupu menemukannya ketika ia membersihkan kotak loker milik remaja itu di SMA Teays Valley,
Pickaway County, Ohio.

Brian baru saja meninggal beberapa jam yang lalu, namun orangtuanya mati-matian mencari setiap barang peninggalan Brian: surat-surat dari teman-teman sekolah dan gurunya, dan PR-nya. Hanya dua bulan sebelumnya, ia telah menulis sebuah esai tentang pertemuannya dengan Tuhan Yesus di suatu ruang arsip yang penuh kartu-kartu yang isinya memerinci setiap saat dalam kehidupan remaja itu. Tetapi baru setelah kematian Brian, Bruce dan Beth, mengetahui bahwa anaknya telah menerangkan pandangannya tentang sorga.

Tulisan itu menimbulkan suatu dampak besar sehingga orang-orang ingin membagikannya. “Anda merasa seperti ada di
sana,” kata pak Bruce Moore. Brian meninggal pada tanggal 27 Mei, 1997, satu hari setelah Hari Pahlawan Amerika Serikat. Ia sedang mengendarai mobilnya pulang ke rumah dari rumah seorang teman ketika mobil itu keluar jalur Jalan Bulen Pierce di Pickaway County dan menabrak suatu tiang. Ia keluar dari mobilnya yang ringsek tanpa cedera namun ia menginjak kabel listrik bawah tanah dan kesetrum.

Keluarga Moore membingkai satu salinan esai yang ditulis Brian dan menggantungkannya pada dinding di ruang keluarga mereka. “Aku pikir Tuhan telah memakai Brian untuk menjelaskan suatu hal. Aku kira kita harus menemukan makna dari tulisan itu dan memetik manfaat darinya,” kata Nyonya Beth Moore tentang esai itu.

Nyonya Moore dan suaminya ingin membagikan penglihatan anak mereka tentang kehidupan setelah kematian. “Aku bahagia karena Brian. Aku tahu dia telah ada di sorga. Aku tahu aku akan bertemu lagi dengannya.”

Inilah esai Brian yang berjudul “Ruangan”.

Di antara sadar dan mimpi, aku menemukan diriku di sebuah ruangan. Tidak ada ciri yang mencolok di dalam ruangan ini kecuali dindingnya penuh dengan kartu-kartu arsip yang kecil. Kartu-kartu arsip itu seperti yang ada di perpustakaan yang isinya memuat judul buku menurut pengarangnya atau topik buku menurut abjad.

Tetapi arsip-arsip ini, yang membentang dari dasar lantai ke atas sampai ke langit-langit dan nampaknya tidak ada habis-habisnya di sekeliling dinding itu, memiliki judul yang berbeda-beda.

Pada saat aku mendekati dinding arsip ini, arsip yang pertama kali menarik perhatianku berjudul “Cewek-cewek yang Aku Suka”. Aku mulai membuka arsip itu dan membuka kartu-kartu itu. Aku cepat-cepat menutupnya, karena terkejut melihat semua nama-nama yang tertulis di dalam arsip itu. Dan tanpa diberitahu siapapun, aku segera menyadari dengan pasti aku ada dimana.

Ruangan tanpa kehidupan ini dengan kartu-kartu arsip yang kecil-kecil merupakan sistem katalog bagi garis besar kehidupanku. Di sini tertulis tindakan-tindakan setiap saat dalam kehidupanku, besar atau kecil, dengan rincian yang tidak dapat dibandingkan dengan daya ingatku. Dengan perasaan kagum dan ingin tahu, digabungkan dengan rasa ngeri, berkecamuk di dalam diriku ketika aku mulai membuka kartu-kartu arsip itu secara acak, menyelidiki isi arsip ini. Beberapa arsip membawa sukacita dan kenangan yang manis; yang lainnya membuat aku malu dan menyesal sedemikian hebat sehingga aku melirik lewat bahu aku apakah ada orang lain yang melihat arsip ini.

Arsip berjudul “Teman-Teman” ada di sebelah arsip yang bertanda “Teman-teman yang Aku Khianati”. Judul arsip-arsip itu berkisar dari hal-hal biasa yang membosankan sampai hal-hal yang aneh. “Buku-buku Yang Aku Telah Baca”. “Dusta-dusta yang Aku Katakan”. “Penghiburan yang Aku Berikan”. “Lelucon yang Aku Tertawakan”. Beberapa judul ada yang sangat tepat menjelaskan kekonyolannya: “Makian Buat Saudara-saudaraku”.

Arsip lain memuat judul yang sama sekali tak membuat aku tertawa: “Hal-hal yang Aku Perbuat dalam Kemarahanku.”, “Gerutuanku terhadap Orangtuaku”. Aku tak pernah berhenti dikejutkan oleh isi arsip-arsip ini. Seringkali di
sana ada lebih banyak lagi kartu arsip tentang suatu hal daripada yang aku bayangkan. Kadang-kadang ada yang lebih sedikit dari yang aku harapkan. Aku terpana melihat seluruh isi kehidupanku yang telah aku jalani seperti yang direkam di dalam arsip ini.

Mungkinkah aku memiliki waktu untuk mengisi masing-masing arsip ini yang berjumlah ribuan bahkan jutaan kartu? Namun setiap kartu arsip itu menegaskan kenyataan itu. Setiap kartu itu tertulis dengan tulisan tanganku sendiri. Setiap kartu itu ditanda-tangani dengan tanda tanganku sendiri.

Ketika aku menarik kartu arsip bertanda “Pertunjukan-pertunjukan TV yang Aku Tonton”, aku menyadari bahwa arsip ini semakin bertambah memuat isinya. Kartu-kartu arsip tentang acara TV yang kutonton itu disusun dengan padat, dan setelah dua atau tiga yard, aku tak dapat menemukan ujung arsip itu. Aku menutupnya, merasa malu, bukan karena kualitas tontonan TV itu, tetapi karena betapa banyaknya waktu yang telah aku habiskan di depan TV seperti yang ditunjukkan di dalam arsip ini.

Ketika aku sampai pada arsip yang bertanda “Pikiran-Pikiran yang Ngeres”, aku merasa merinding di sekujur tubuhku. Aku menarik arsip ini hanya satu inci, tak mau melihat seberapa banyak isinya, dan menarik sebuah kartu arsip. Aku terperangah melihat isinya yang lengkap dan persis. Aku merasa mual mengetahui bahwa ada saat di hidupku yang pernah memikirkan hal-hal kotor seperti yang dicatat di kartu itu. Aku merasa marah.

Satu pikiran menguasai otakku: Tak ada seorangpun yang boleh melihat isi kartu-kartu arsip in! Tak ada seorangpun yang boleh memasuki ruangan ini! Aku harus menghancurkan arsip-arsip ini! Dengan mengamuk bagai orang gila aku mengacak-acak dan melemparkan kartu-kartu arsip ini. Tak peduli berapa banyaknya kartu arsip ini, aku harus mengosongkannya dan membakarnya. Namun pada saat aku mengambil dan menaruhnya di suatu sisi dan menumpuknya di lantai, aku tak dapat menghancurkan satu kartupun. Aku mulai menjadi putus asa dan menarik sebuah kartu arsip, hanya mendapati bahwa kartu itu sekuat baja ketika aku mencoba merobeknya. Merasa kalah dan tak berdaya, aku mengembalikan kartu arsip itu ke tempatnya. Sambil menyandarkan kepalaku di dinding, aku mengeluarkan keluhan panjang yang mengasihani diri sendiri.

Dan kemudian aku melihatnya. Kartu itu berjudul “Orang-orang yang Pernah Aku Bagikan Injil”. Kotak arsip ini lebih bercahaya dibandingkan kotak arsip di sekitarnya, lebih baru, dan hampir kosong isinya. Aku tarik kotak arsip ini dan sangat pendek, tidak lebih dari tiga inci panjangnya. Aku dapat menghitung jumlah kartu-kartu itu dengan jari di satu tangan. Dan kemudian mengalirlah air mataku. Aku mulai menangis. Sesenggukan begitu dalam sehingga sampai terasa sakit. Rasa sakit itu menjalar dari dalam perutku dan mengguncang seluruh tubuhku. Aku jatuh tersungkur, berlutut, dan menangis. Aku menangis karena malu, dikuasai perasaan yang memalukan karena perbuatanku. Jajaran kotak arsip ini membayang di antara air mataku. Tak ada seorangpun yang boleh melihat ruangan ini, tak seorangpun boleh.

Aku harus mengunci ruangan ini dan menyembunyikan kuncinya. Namun ketika aku menghapus air mata ini, aku melihat Dia.

Oh, jangan! Jangan Dia! Jangan di sini. Oh, yang lain boleh asalkan jangan Yesus! Aku memandang tanpa daya ketika Ia mulai membuka arsip-arsip itu dan membaca kartu-kartunya. Aku tak tahan melihat bagaimana reaksi-Nya. Dan pada saat aku memberanikan diri memandang wajah-Nya, aku melihat dukacita yang lebih dalam dari pada dukacitaku. Ia nampaknya dengan intuisi yang kuat mendapati kotak-kotak arsip yang paling buruk.

Mengapa Ia harus membaca setiap arsip ini? Akhirnya Ia berbalik dan memandangku dari seberang di ruangan itu. Ia memandangku dengan rasa iba di mata-Nya. Namun itu rasa iba, bukan rasa marah terhadapku. Aku menundukkan kepalaku, menutupi wajahku dengan tanganku, dan mulai menangis lagi. Ia berjalan mendekat dan merangkulku. Ia seharusnya dapat mengatakan banyak hal. Namun Ia tidak berkata sepatah katapun. Ia hanya menangis bersamaku.

Kemudian Ia berdiri dan berjalan kembali ke arah dinding arsip-arsip. Mulai dari ujung yang satu di ruangan itu, Ia mengambil satu arsip dan, satu demi satu, mulai menandatangani nama-Nya di atas tanda tanganku pada masing-masing kartu arsip. “Jangan!” seruku bergegas ke arah-Nya. Apa yang dapat aku katakan hanyalah “Jangan, jangan!” ketika aku merebut kartu itu dari tangan-Nya. Nama-Nya jangan sampai ada di kartu-kartu arsip itu. Namun demikian tanpa dapat kucegah, tertulis di semua kartu itu nama-Nya dengan tinta merah, begitu jelas, dan begitu hidup. Nama Yesus menutupi namaku. Kartu itu ditulisi dengan darah Yesus! Ia dengan lembut mengambil kembali kartu-kartu arsip yang aku rebut tadi. Ia tersenyum dengan sedih dan mulai menandatangani kartu-kartu itu. Aku kira aku tidak akan pernah mengerti bagaimana Ia melakukannya dengan demikian cepat, namun kemudian segera menyelesaikan kartu terakhir dan berjalan mendekatiku. Ia menaruh tangan-Nya di pundakku dan berkata, “Sudah selesai!”

Aku bangkit berdiri, dan Ia menuntunku ke luar ruangan itu. Tidak ada kunci di pintu ruangan itu. Masih ada kartu-kartu yang akan ditulis dalam sisa kehidupanku.

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”
(Yohanes 3:16)

~ Halaman ke-5 ~

AKU TAHU AKU BERHARGA
Saya teringat dengan salah satu cerita anak-anak yang pernah saya baca. Ada seekor buaya yang berwarna merah muda. Buaya ini tidak disukai oleh buaya-buaya yang lain. Tidak ada yang mau bergaul dengan dia. Semua buaya suka mengejeknya dan menganggapnya aneh dikarenakan warna tubuhnya yang berbeda. Hal ini membuat si buaya merah muda ini sedih dan terluka hatinya. Dia tidak bisa merubah dirinya menjadi seperti yang lain. Bahkan dia sendiri tidak tahu mengapa warna tubuhnya harus berbeda. Dia selalu sendirian. Hidupnya kesepian karena tidak ada teman bermain.

Suatu ketika, saat dia sedang berjalan-jalan di sebuah taman, dari kejauhan tampak olehnya seorang anak perempuan yang sedang asyik menyiram bunga-bunga di taman tersebut. Dia ingin mendekati anak perempuan itu. Jadi cepat-cepat dia melumuri tubuhnya dengan lumpur. Dan dia mendekati si anak perempuan itu. Namun tiba-tiba turun gerimis kecil yang membuat lumpur ditubuhnya luntur sehingga anak perempuan itu ketakutan dan berlari menjauhi si buaya merah muda itu.

Buaya merah muda semakin bertambah sedih, karena tidak dapat berteman dengan anak perempuan itu. Di hari lain, buaya ini bertemu lagi dengan anak perempuan itu. Dan sekarang, dia tidak berusaha untuk merubah warna tubuhnya lagi. Lalu, tak disangka-sangka, anak perempuan itu tersenyum manis sekali pada buaya ini. Anak perempuan itu mendekati dia, mengamati-amati dia dan tiba-tiba memeluk dia dan berkata bahwa dia adalah buaya paling cantik. Wah, buaya ini bahagia sekali. Ternyata anak perempuan ini tidak takut padanya, tidak menganggap dia aneh. Lalu anak perempuan ini membawanya pulang dan diperkenalkan kepada siapa saja yang ditemuinya. Buaya ini gembira karena dia diterima menjadi teman oleh semua orang dan anak perempuan itu pun bangga kepadanya karena ia adalah buaya merah muda yang baik dan lucu. Mereka pun bersahabat dan kemana anak perempuan ini pergi, dia selalu mengajak si buaya merah jambu.

Saya akui saya pernah dan masih sering merasa kalau saya seperti buaya merah muda itu. Saya juga pernah mengalami apa itu kesepian, sendirian, ditinggalkan, dijauhi, tidak diperdulikan. Dan sering saya berbuat sesuatu yang membuat orang lain bisa melihat saya bukan hanya kejelekkan saya saja tapi juga bahwa ada hal baik yang saya punya dan bisa saya lakukan. Seringkali juga tanpa sadar saya sudah bertindak diluar batas saking inginnya ada orang yang menghargai dan memandang saya. Tapi yang saya dapat malah sebaliknya dan mungkin lebih parah. Mereka semakin menjauhi saya. Dan itu membuat saya jatuh dalam kepahitan yang luar biasa, tanpa sadar bahwa ada satu orang yang perduli dan sangat mengerti siapa saya. Sudah terlalu lama Dia menunggu saya datang kepada-Nya, menyerahkan diri saya apa adanya. Dia adalah Yesus. Yang sangat mengasihi saya.

Saat orang lain meninggalkan saya, Dia justru menghampiri saya. Karena itu saya menyebut Dia : Sahabat. Sahabat yang sejati. Yang datang justru disaat yang lain pergi. Saya menyadari selama ini menyembunyikan diri saya dari-Nya. Karena saya berpikir kalau orang saja meninggalkan saya, apalagi Dia yang adalah Tuhan. Saya sadar, terlalu banyak luka yang saya torehkan ditubuh-Nya hanya karena saya ingin penghargaan dari manusia. Padahal Tuhan sudah begitu menderita, membuat diri-Nya tidak dihargai hanya untuk saya yang sangat berharga bagi-Nya.

Yesus tidak pernah menuntut kita untuk menjadi sempurna. Yesus tidak pernah menyuruh kita memakai topeng hanya supaya dipandang baik dan bagus oleh manusia. Dia ingin kita apa adanya, sejujurnya kita, tidak berpura-pura, tidak munafik. Ia sangat mengerti dan memahami kita. Yesus tidak pernah memandang kita rendah, hina, kotor, karena dosa yang telah kita lakukan. Dia sudah membersihkan semuanya dengan airmata dan darah-Nya. Yesus meyakinkan kita bahwa bahkan dosa pun tidak dapat menggagalkan rencana-Nya atas hidup kita.

Terima kasih Tuhan Yesus.. Mulai saat ini saya pun mau untuk melihat orang lain seperti Engkau memandang mereka. Dan melihat diri saya sendiri seperti Engkau memandang saya. Karena hidup kami berharga di mata-Mu.


No matter how badly we have failed,we can always get up and begin again.Our God is the God of new beginnings.

~ Halaman ke-6 ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar